Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kompromi Orang-orang Revolusioner

Sinn Féin mendukung polisi Irlandia Utara sebagai aparat hukum. Langkah awal mengembalikan pemerintahan bersama Katolik-Protestan.

5 Februari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aktivis partai Sinn Féin kini punya pekerjaan tambahan. Mereka harus mencetak ribuan selebaran seukuran koran yang rencananya akan diselipkan dalam harian Belfast Telegraph pada Jumat pekan lalu. Selebaran sayap politik Pasukan Republik Irlandia (IRA) kali ini juga berbeda. Bukan lagi hasutan agar rakyat Irlandia mengenyahkan Inggris dari bumi Irlandia Utara, sebaliknya pesan damai Sinn Féin mendukung Kepolisian Irlandia Utara (PSNI). Judul besar tercetak dalam warna hijau: ”Satu Awal Baru untuk Menjaga Ketertiban”.

Ya, suatu perkembangan baru dalam sejarah panjang konflik berdarah separatisme di Irlandia. Sebab, sejak gerilyawan IRA mengangkat senjata melawan kehadiran Inggris di Irlandia, polisi Irlandia Utara berada di barisan depan mewakili aparat hukum Inggris. Perang selama tiga dekade merampas nyawa 3.600 warga dan 300 anggota polisi. Maka menerima PSNI sebagai aparat hukum adalah membalikkan posisi sejarah yang luar biasa. ”Kemarin kita melihat sepenggal sejarah telah dibuat,” ujar analis politik Harry McGee.

Sejarah itu ditorehkan dalam pertemuan khusus Sinn Féin di Dublin, Ahad 28 Januari silam, yang dihadiri 2.500 anggota. Pertemuan yang disebut Ard Fheis itu membicarakan mosi yang memberi pemimpin Sinn Féin kekuasaan berpartisipasi dalam kepolisian dan struktur hukum Irlandia Utara. Mayoritas, 90 persen suara, mendukung mosi, sisanya menolak. ”Hari ini Anda menciptakan kekuatan mengubah lanskap politik di pulau ini selamanya,” ujar Gerry Adam, Presiden Sinn Féin, di hadapan anggota delegasi.

Namun, bagi penentang mosi, keputusan ini justru merupakan legitimasi kehadiran Inggris di Irlandia. ”Jika kami menyetujui mosi itu, kami hanya akan menjadi revolusioner di atas kertas,” ujar Luighaidan MacGiolla Bhrighde. Saudara laki-lakinya tewas di ujung peluru pasukan khusus Inggris SAS pada 1984. “Mengesahkan keterlibatan dalam kepolisian adalah mengesahkan pendudukan Inggris di tanah Irlandia,” katanya.

Sebagian umat Katolik Irlandia tak mempercayai kepolisian, pengadilan, dan penjara sebagai institusi pemerintah Inggris. Mereka memboikot kepolisian, misalnya menolak menjadi polisi dan bahkan ogah melaporkan tindak kriminal. Kepolisian dianggap bersekongkol dengan milisi Protestan. Bahkan lembaga ombudsman independen dua pekan lalu masih mencatat praktek kolutif polisi dengan milisi Protestan; seraya melindungi mereka meski terlibat dalam pembunuhan atau kejahatan lainnya.

Maka keputusan Sinn Féin mendukung dinas kepolisian merupakan pil pahit yang harus ditelan anggota partai demi perdamaian. Paul Butler, misalnya. Meski mendukung mosi itu, ia mengaku mengambil keputusan yang sulit, karena ia korban tindakan brutal polisi Irlandia Utara. ”Siapa yang ingin perubahan maksimal harus siap mengambil risiko maksimal,” kata anggota Sinn Féin ini.

Risiko terbesar Sinn Féin adalah melepas cita-cita menjadikan Irlandia Utara sebagai republik merdeka dari kekuasaan Inggris, yang mulai tampak lewat kesepakatan damai Good Friday pada 1998. Kesepakatan itu merekomendasikan kelompok Katolik dan Protestan menyelenggarakan pemerintahan bersama. Tapi perdamaian ambruk pada 2002, yang diperburuk dengan sikap skeptis partai politik Protestan, Partai Persatuan Demokratik (DUP).

Toh Sinn Féin tak kapok meretas jalan damai dengan pernyataan IRA pada 2005 yang meletakkan senjata secara permanen dan melepas cara-cara kekerasan sebagai solusi politik. Kini Sinn Féin bergerak lagi, dengan masuk dalam sistem hukum Irlandia Utara untuk memulihkan pemerintahan bersama Katolik-Protestan.

Perdana Menteri Inggris Tony Blair menilai mosi Sinn Féin sebagai langkah nyata penyelesaian konflik di Irlandia. Tapi kubu partai Protestan DUP yang dipimpin Pendeta Ian Paisley belum merespons. Arlene Foster, salah satu politisi DUP, menyatakan bahwa partainya masih menunggu tindakan nyata Sinn Féin. ”Tak ada yang baru (mosi Sinn Féin). Tak lebih hanya kata-kata,” kata Foster.

Masalahnya, pemerintah Inggris telah mengultimatum Sinn Féin dan Partai Persatuan Demokrat agar membentuk pemerintahan lokal hingga batas waktu 26 Maret tahun ini. Jika gagal, Irlandia Utara tetap menjadi provinsi yang dikontrol langsung oleh pemerintah London. Elemen radikal dalam kelompok Katolik dan Protestan pun akan kembali membanjiri tanah Irlandia dengan darah.

Raihul Fadjri (Belfast Telegraph, Irish Examiner, BBC, The Guardian)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus