Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Momen

14 Oktober 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAKISTAN
Setahun Penembakan Malala

RABU pekan lalu, tepat setahun peluru Taliban berusaha membungkam perjuangan Malala Yousafzai agar setiap anak perempuan berhak atas pendidikan. Kini nama gadis 16 tahun asal Lembah Swat, Pakistan, itu kian mendunia. Selasa pekan lalu, ia menerbitkan buku biografi bertajuk I am Malala: The Girl Who Stood Up for Education and Was Shot by Taliban, yang bercerita tentang kehidupannya. Nama Malala juga masuk daftar calon penerima Hadiah Nobel Perdamaian tahun ini—calon termuda sepanjang sejarah.

Situasi berbeda justru terjadi di kampung halamannya. Di Kota Mingora, Distrik Swat, di barat laut Provinsi Khyber Pakhtunkhwa, tak ada lagi poster wajah Malala yang menandai sekolahnya dulu. Rekan-rekan hingga guru Malala menolak menyelenggarakan peringatan penembakan karena takut kepada Taliban. "Kami diancam dan mengalami banyak masalah. Situasi semakin genting bagi kami sejak Malala ditembak dan popularitasnya meningkat," kata Selma Naz, kepala sekolah tempat Malala pernah menuntut ilmu. Pemerintah setempat terpaksa menempatkan tentara untuk berjaga di depan sekolah itu.

Pelaku penembakan Malala, Attaula, hingga kini masih bebas. Polisi telah menutup kasus tersebut. Namun ancaman terhadap Malala masih berlaku jika ia kembali ke Pakistan. "Jika kami menemukan dia, kami akan membunuhnya dengan bangga," kata juru bicara Taliban Pakistan, Shahidullah Shahid.

MESIR
Mursi Diadili 4 November

KABAR mengenai Presiden Mesir terguling, Muhammad Mursi, akhirnya terkuak. Pengadilan Kairo, Rabu pekan lalu, menjadwalkan pengadilan terhadap Mursi dan 14 petinggi Al-Ikhwan al-Muslimun pada 4 November mendatang. Mursi akan diadili dengan dakwaan menghasut para pendukungnya untuk membunuh lawan politiknya, menggunakan kekerasan dan melakukan penahanan tak sah, serta menyiksa demonstran anti-Mursi semasa ia berkuasa pada Juni 2012- Juli 2013.

Mursi, 62 tahun, digulingkan dalam kudeta yang didukung oposisi dan militer pada 3 Juli lalu. Sejak itu, ia ditahan di tempat yang dirahasiakan oleh militer Mesir dan tak pernah terlihat di depan publik. Ia dilaporkan pernah berkomunikasi dengan keluarganya dua kali dan pernah dikunjungi oleh Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Catherine Ashton serta delegasi Uni Afrika.

"Ini seperti semua kasus lain. Ini adalah kasus yang dibuat-buat," kata Mostafa Atteyah, salah satu pengacara Mursi. Ia menambahkan, kebanyakan kasus pidana terhadap anggota Al-Ikhwan didasarkan pada penuntutan yang lemah. Dia mengatakan mantan kandidat presiden Salim al-Awa diharapkan memimpin tim pembela Mursi.

Pengumuman ini hanya dua hari setelah pengadilan Kairo memutuskan Partai Keadilan dan Kebebasan, sayap organisasi Al-Ikhwan, dibubarkan dan dinyatakan sebagai kelompok terlarang. Partai ini dibentuk Al-Ikhwan setelah Presiden Husni Mubarak jatuh pada 2011. Partai ini menang dan menguasai parlemen Mesir serta menempatkan Mursi sebagai presiden pada Juni 2012. Putusan ini juga berselang dua pekan dari putusan pengadilan yang melarang aktivitas Al-Ikhwan dan membekukan seluruh asetnya.

MALAYSIA
Menteri Dalam Negeri Malaysia Ancam Media

MENTERI Dalam Negeri Malaysia Datuk Seri Ahmad Zahid Hamidi terlibat perseteruan dengan media lokal, situs Malaysiakini. Ancaman terlontar saat seorang wartawan media online itu menanyakan perihal hilangnya senjata dan peralatan kepolisian senilai 1,3 juta ringgit di tengah angka kejahatan nasional yang meningkat, dalam sebuah pertemuan di Malaka.

Saat ditanya mengenai hal itu, Zahid berang. Ia menyebut Malaysiakini kerap membuat tulisan bohong dan memelintir ucapannya. "Saya tak percaya Malaysiakini. Kalian selalu menjelek-jelekkan saya," kata Zahid dalam video yang diunggah Malaysiakini dan YouTube itu, awal pekan lalu. Dalam bahasa Melayu, bahkan Zahid mengancam akan menutup situs yang didirikan pada 1999 itu.

Tindakan Hamidi memarahi wartawan Malaysiakini, Lawrence Young, itu langsung menjadi perbincangan di dunia maya. Situs yang didirikan oleh Premesh Chandran, bekas wartawan koran The Sun, dan Steven Gan, yang pernah bekerja di koran The Nation di Bangkok, Thailand, itu dikenal cukup berani melontarkan kritik kepada pemerintah.

Ketua Serikat Jurnalis Nasional Malaysia (NUJ), Chin Sung Chew, meminta semua media Malaysia bersatu menghadapi ancaman Zahid. Adapun pejabat eksekutif Pusat Jurnalis Independen Malaysia (CIJ) Masjaliza Hamzah mendesak agar Undang-Undang Pers dan Publikasi 1984 segera diamendemen. Undang-undang itu, menurut Masjaliza, memberi kekuasaan kepada menteri untuk memberangus media.

AMERIKA SERIKAT
Obama Tak Mau Kompromi

PRESIDEN Amerika Serikat Barack Obama tak mau menyerah dalam konfrontasinya dengan Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat. Ia meminta DPR menghentikan ancaman dan siap bernegosiasi jika penutupan berakhir. Obama, dalam konferensi pers pada Selasa pekan lalu, mengatakan ia tidak akan mengadakan pembicaraan mengakhiri kebuntuan fiskal jika tetap berada di bawah ancaman Partai Republik. Ia mengatakan hanya setuju untuk membahas apa saja, termasuk masalah Obamacare yang ditentang Partai Republik, jika mereka menyetujui anggaran dan menaikkan batas utang.

"Jika Partai Republik ingin membicarakan hal-hal itu lagi, saya siap," kata Obama kepada wartawan di Gedung Putih. "Tapi saya tidak akan melakukannya sampai bagian yang lebih ekstrem dari Partai Republik berhenti memaksa (Ketua DPR) John Boehner mengeluarkan ancaman tentang perekonomian kita. Kita tidak bisa membuat pemerasan rutin sebagai bagian dari demokrasi kita."

Amerika kian mendekati batas waktu kepastian soal kenaikan pagu utang pada Kamis, 17 Oktober, pekan depan. Kongres Amerika harus segera membuat keputusan untuk mencabut pagu utang. Jika batas waktu ini tidak dipenuhi, Amerika tidak bisa melanjutkan pembayaran cicilan dan bunga utang mereka untuk pertama kalinya dalam sejarah. Diperkirakan utang Amerika hingga pertengahan bulan ini mencapai US$ 16,7 triliun.

Terakhir kali penghentian sementara terjadi pada pemerintahan Bill Clinton selama 21 hari sejak 15 Desember 1995 hingga 6 Januari 1996. Saat itu, pemerintah kembali berjalan setelah Partai Republik di Kongres dan Clinton menyepakati bujet hasil kompromi.

Penutupan pemerintah Amerika ini menjadi bahan olok-olok kelompok Taliban Afganistan. Dalam pernyataan resminya yang dilansir pada Rabu pekan lalu, Taliban menyebut para politikus Amerika sedang mengisap darah rakyat mereka sendiri. Taliban, yang digulingkan dari pemerintahan di Afganistan pada 2001, menyebut pemerintahan Amerika lumpuh gara-gara ulah para politikus. "Rakyat Amerika seharusnya sadar bahwa para politikus mereka tengah mempermainkan nasib mereka, termasuk nasib negara-negara yang mereka tekan, demi kepentingan pribadi," demikian pernyataan Taliban, seperti dilansir situs Tribune.com.pk.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus