SEBUAH magnet raksasa sedang aktif di sebelah utara: Cina, yang bangkit melepaskan diri dari zaman ''jahiliah'' ekonomi, kini menarik deras para penanam modal dari seluruh dunia. Apalagi para taipan yang punya hubungan darah atau sejarah dengan bangsa yang sedang demam uang itu. Hampir 1.000 orang di antaranya, Senin hingga Rabu pekan ini, sedang berkumpul di Hong Kong. Tujuan: memenuhi panggilan untuk datang dan menanam modal -- atas nama negeri leluhur ataupun margin laba. Ini kali kedua para pengusaha keturunan Cina dari seluruh dunia berkumpul setelah konferensi mereka yang pertama di Singapura, Agustus 1991. Bedanya: sederet nama besar terlibat dalam konferensi ini, misalnya Robert Kuok, raja gula Malaysia yang baru membeli koran South China Morning Post di Hong Kong, Chatri Sophonpanich, bos Bangkok Bank dari Thailand, juga Li Ka Shing, raja properti Hong Kong. Juga akan hadir Lee Kuan Yew, menteri senior Singapura, sebagai pembicara utama yang akan berbicara tentang ''Menggalang Jaringan untuk Mencapai Beberapa Tujuan''. Dan para taipan Indonesia? Dalam daftar peserta yang ada pada panitia, ada 34 pengusaha kelas kakap Indonesia tercantum namanya, antara lain Teddy Djuhar, Halim Tanoto, Adil Nurimba. Juga Hari Dharmawan, bos jaringan Toserba Matahari. Namun, para pengusaha ini terkesan agak malu-malu ketika ditanya perihal keberangkatan mereka ke Hong Kong. Maklum, soal ini masih terasa sensitif di Indonesia. Hari Dharmawan, misalnya, ''Ah, saya cuma lihat-lihat, kepingin tahu ada apa di sana.'' Ada yang malah batal pergi. Seperti Adil Nurimba, Presiden Komisaris Gesuri Lloyd Group, ''Saya tak jadi berangkat, ada kesibukan lain di Jakarta.'' Tak bisa dihindari, kegiatan ini memang menimbulkan dilema. Ada faktor ikatan ras yang berbeda dengan ikatan kebangsaan ketika The Chinese General Chamber of Commerce, panitia penyelenggara kongres, menyatakan bahwa tujuan konferensi ini adalah untuk menggalang kerja sama antarpengusaha keturunan Cina di seluruh dunia. Tentu saja kerja sama itu berarti: tanam uang. Bau promosi sebab itu tercium keras dalam konferensi ini. Berbagai aspek investasi di Cina dibahas dengan rinci. Bahkan sebuah tur ke kawasan delta Sungai Mutiara sudah dijadwalkan bagi sebagian peserta. Delta Sungai Mutiara, yang mencakup Shenzen, Guangzhou, dan Panyu, adalah kawasan pertumbuhan yang terpanas di Cina kini. Cina memang raksasa yang sedang haus investasi asing. Zaman Mao sudah diganti dengan zaman modal. Bahkan untuk pembangunan infrastruktur pun ia mengandalkan pemodal luar. Itu yang dimanfaatkan Mochtar Riady, pemilik Lippo Group, Indonesia, yang ikut menanam saham dalam pembangunan pelabuhan di Provinsi Fujian. Keppel Corp., sebuah BUMN dari Singapura, malah membangun sebuah kota baru di Suzhou, lengkap dengan pengelolaannya, dan dijuluki ''Singapura kedua''. Sejak Cina membuka diri pada tahun 1979, investasi asing kian deras. Dalam dua tahun terakhir bahkan mirip air bah. Berdasarkan angka 1992, RRC adalah negara berkembang penerima investasi asing terbesar di dunia, dengan nilai kontrak mencapai US$ 58 miliar. Ini data dari UNCTAD yang didapat dari Menteri Perdagangan Luar Negeri dan Kerja Sama Ekonomi RRC, Wu Yi. Hasilnya spektakuler. Rata-rata, dari tahun 1979 hingga 1991, ekonomi RRC tumbuh 9% setahun. Angka pertumbuhan ini bahkan melejit dalam dua tahun terakhir. Tahun 1992, angkanya 12,8%, dan untuk 1993 ini diperkirakan tak bakal lebih rendah dari 13%. Ini tak ada bandingannya di mana pun pada saat ini. Bahkan pada tahun 2002 nanti, ekonomi Cina akan menyebabkan orang menyebutnya sebagai kesatuan ekonomi yang terbesar di dunia. Gerak gigantis ini juga terlihat dari menurunnya jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Pada tahun 1978, diperkirakan ada 270 juta jiwa yang hidup di bawah garis kemiskinan -- atau kurang makan. Pada tahun 1992, angka ini merosot drastis menjadi sekitar 100 juta saja. Ironisnya, resep Cina bukanlah resep orang yang tergesa-gesa. Cina dalam reformasi ekonomi dan politik lebih berhati-hati daripada Rusia, dengan semboyan ''menyeberangi sungai sembari merasakan kerikil di telapak kaki''. Maksudnya, untuk menyeberangi sungai, orang mesti bertelanjang kaki untuk mencoba apakah batu yang dipijaknya labil dan berbahaya. Zhu Rongji, Gubernur Bank Sentral Cina yang kini mengarsiteki perubahan ekonomi, mengakui bahwa reformasi ini adalah pekerjaan mahasulit. ''Belum ada model yang bisa dicontoh,'' tuturnya dalam pidato jarak jauh lewat layar video raksasa yang di tayangkan dalam Konferensi Lingkar Pasifik di Bali, September lalu. Maka, tarik-menarik antara reformis dan penganut garis konservatif mewarnai berbagai perubahan kebijakan. Tiap kali terjadi gejolak, misalnya inflasi tinggi yang memang selalu menyertai pertumbuhan ekonomi, rem segera diinjak. Pertumbuhan diperlambat, dan biasanya ada tokoh reformis yang dipecat karena dianggap sebagai biang kerok. Tahun 1985, ketika inflasi membubung, Hu Yaobang terpaksa menyingkir. Pada 1988 giliran Zhao Ziyang yang terdepak ke luar. Tanda-tanda gejolak juga terlihat pada pertengahan tahun 1993 ini. Tingkat inflasi di 35 kota besar mencapai 21%. Akibatnya, rem kembali diinjak. Pemerintah pusat melakukan pengetatan pemberian kredit. Pemerintah daerah dilarang menerima investasi baru untuk mendinginkan ekonomi. Kawasan khusus ekonomi yang jumlahnya menggelembung menjadi 1.200 area di sepanjang pantai timur dibabat habis menjadi 200. Tapi agaknya rem ekonomi Cina sudah blong. Kebijakan pengetatan yang dijalankan sejak Juli lalu itu sekarang pelan- pelan, dan diam-diam, sudah dikendurkan lagi kendati ekonomi masih terasa panas. Pemerintah daerah yang sudah menikmati sedapnya kapitalisme tak bersedia melangkah mundur. Apalagi ada soal lain yang serius. Gerakan pengetatan mengakibatkan 1,3 juta penganggur baru di kota-kota besar. Mereka adalah bekas pegawai BUMN yang terpaksa dicopot. Ini mencemaskan. ''Jika dipaksa memilih inflasi tinggi atau pengangguran yang bisa menimbulkan keresahan di kota besar, Cina bakal memilih inflasi,'' kata seorang ekonom Jepang yang dikutip kantor berita Reuters. Itu sebabnya kebijakan pengetatan tak bisa berjalan lama. Pertanda untuk itu juga bisa dibaca di ibu kota. Dalam gejolak kali ini yang terpental bukan lagi tokoh reformis. Yang terdepak ke luar naga-naganya malah Li Peng, tokoh konservatif yang juga penggerak pembantaian di Tiananmen, Juni 1989. Li Peng resminya masih perdana menteri, tapi ia sudah jarang muncul di depan umum belakangan ini. Maka, iklim investasi di Cina tetap akan ingar-bingar. Cina tetap haus. Dalam situasi seperti ini konferensi di Hong Kong menjadi sangat penting, sebab sejauh ini para pengusaha keturunan Cina adalah sumber dana terbesar untuk membiayai pembangunan ekonomi Cina. Dua pertiga investasi asing di Cina berasal dari Hong Kong dan Taiwan. Lima belas persen lagi berasal dari pengusaha Cina di Asia Tenggara. Maka, hampir 85% investasi asing yang ada di Cina berasal dari pengusaha keturunan Cina. Dalam diri para pengusaha itu, motivasi mencari untung memang mengedepan. Namun, tak mudah disangkal bahwa kesamaan kultur dan bahasa lebih memperderas arus dana yang masuk ke Cina. Di kalangan pengusaha Cina, soal koneksi, alias guanxi, merupakan faktor terpenting untuk berbisnis. Tengok saja Provinsi Guangdong. Hampir semua investasi di sana berasal dari Hong Kong. Di sanalah kebanyakan sanak saudara dan teman-teman orang Guangdong tinggal. Sedangkan di Provinsi Fujian, dengan alasan yang sama, hampir semua investasi berasal dari Taiwan. Liem Sioe Liong dan Mochtar Riady adalah orang Fujian, dan mereka berinvestasi ke sana. Dalam situasi seperti ini, tak mengherankan jika kegiatan konferensi di Hong Kong itu bakal mengerutkan kening para petinggi di negara-negara Asia Tenggara. Kawasan ini juga amat haus akan investasi asing. Hampir semua negara di kawasan ini, seperti halnya Korea dan juga Cina sekarang, menempuh strategi yang sama untuk tumbuh dengan cepat, yakni dengan industrialisasi yang berorientasi ke pasaran ekspor. Untuk itu diperlukan modal yang tak sedikit, yang tak bisa dicukupi oleh sumber-sumber di dalam negeri. Cina, dengan memanfaatkan garis keturunan, dengan demikian bukan saja akan bisa dianggap mengganggu loyalitas para pengusaha lokal dan sekaligus juga menjadi pesaing yang tak kepalang tanggung. Bagaimana akibat politiknya nanti, ke dalam dan ke luar negeri, itulah yang belum dikaji di Indonesia.Yopie Hidayat TB: ------------------------------- Etni Cina di: Indonesia 7.2 Thailand 5.8 Malaysia 5.2 Singapura 2.0 Myanmar 1.5 Vietnam 0.8 Filipina 0.8 Asia lainnya dan Australia sekitarnya 1.8 Amerika Serikat 1.8 Kanada 0.6 Amerika Latin 1.0 Eropa 0.6 Afrika 0.1 . dalam jutaan Sumber: The Economist
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini