Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Dera Bertubi ke Malaysiakini

Setelah situs berita Malaysiakini divonis bersalah dalam kasus penghinaan pengadilan, Pemimpin Redaksi Steven Gan diselidiki atas dugaan penghasutan. Ancaman terhadap kebebasan pers dan berpendapat.

27 Februari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Malaysiakini didenda Rp 1,7 miliar karena bersalah dalam kasus penghinaan.

  • Masyarakat menggalang dana agar mereka dapat membayar denda.

  • Pemimpin redaksi Steven Gan malah kemudian diselidiki atas dugaan penghasutan.

DALAM waktu kurang dari lima jam, penggalangan dana yang dilakukan media independen Malaysiakini sudah melampaui target sebesar 500 ribu ringgit atau sekitar Rp 1,7 miliar. Pengumpulan dana itu dilakukan untuk membayar denda yang ditetapkan Pengadilan Federal Malaysia, yang memutuskan media daring tersebut bersalah dalam kasus penghinaan pengadilan pada Jumat, 19 Februari lalu. “Kami bisa membayar denda lebih cepat dan itu luar biasa,” kata Pemimpin Redaksi Malaysiakini Steven Gan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengumpulan dana itu dibuka setengah jam setelah putusan pengadilan keluar pada pukul 11 pagi. Pada pukul 16.31, pengumpulan dana ditutup karena sudah melampaui target. Alat penghitung di situs Malaysiakini mencatat sumbangan yang terkumpul mencapai 544.524 ringgit. Premesh Chandran, Direktur Eksekutif Mkini Dotcom Sdn Bhd, perusahaan yang menaungi Malaysiakini, datang ke pengadilan dan membayar dendanya pada Selasa, 23 Februari lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Steven menyatakan kagum terhadap aksi cepat para pembaca dan pendukung Malaysiakini dalam memberikan donasi. Apalagi jumlah denda yang dijatuhkan pengadilan jauh lebih besar dari tuntutan jaksa sebelumnya, yakni 200 ribu ringgit. Pengadilan memberi tenggat tiga hari kerja bagi Malaysiakini untuk melunasi dendanya. “Kami kaget dengan keputusannya dan sempat berpikir bakal kesulitan membayar denda sebesar itu,” ujar Steven kepada Tempo, Rabu, 24 Februari lalu.

Lewat penggalangan dana itu, Steven sadar bahwa banyak orang masih mendukung Malaysiakini. Bantuan ini menambah rasa percaya diri medianya. “Kami bangga kepada mereka dan bantuan ini membuat kami bersemangat untuk meneruskan tugas sebagai jurnalis.”

Malaysiakini adalah situs berita Malaysia yang sudah beroperasi selama 20 tahun. Media yang menyediakan berita dalam empat bahasa itu kerap mengkritik pemerintah dan beberapa kali digerebek polisi. Ia menjadi salah satu media yang berperan besar dalam peliputan pemilihan umum 2018, ketika Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO) yang sudah 60 tahun berkuasa akhirnya kalah.

Kasus dugaan penghinaan pengadilan yang menjerat Malaysiakini berawal dari gugatan Jaksa Agung Idrus Harun pada pertengahan Juni tahun lalu. Steven Gan digugat dalam kasus yang sama. Ini kasus pidana kedua yang mendera media itu. Sebelumnya mereka dijerat kasus dugaan penghinaan terhadap Jaksa Agung Mohamed Apandi Ali pada 2018, tapi kasus ini tak berlanjut dan hakim membebaskan Steven dari dakwaan.

Dalam kasus sekarang, Malaysiakini dan Steven dinilai bertanggung jawab atas komentar dari lima pembaca terhadap sebuah berita yang terbit pada 9 Juni 2020. Berita itu berisi pengumuman Ketua Hakim Negara Tengku Maimun Tuan Mat yang menginstruksikan semua pengadilan beroperasi setelah negara masuk ke tahap pemulihan dari pandemi Covid-19. Pada saat yang bersamaan, ada berita bahwa Kejaksaan Agung menghentikan penuntutan terhadap Musa Aman, politikus yang sebelumnya terjerat kasus korupsi. Berita kedua itu langsung memantik kritik masyarakat yang kecewa karena ada terduga koruptor yang bisa lepas dari jerat hukum. “Beberapa pembaca ternyata memberikan kritik ke target yang salah, malah ke lembaga peradilan, bukan ke Kejaksaan Agung,” tutur Steven.

Terdapat puluhan komentar dari pembaca dengan akun anonim terhadap berita pertama. Beberapa komentar itu lalu menjadi dasar bagi Jaksa Agung untuk menyeret Malaysiakini dan Steven ke meja hijau. Tim Malaysiakini sebenarnya sudah menghapus komentar-komentar yang dinilai bermasalah di berita tersebut setelah mendapat peringatan dari polisi.

Menurut Steven, sistem Malaysiakini memungkinkan pembaca menulis langsung komentarnya tanpa harus melewati moderator. Berdasarkan Undang-Undang Komunikasi dan Multimedia, media juga bisa menghapus komentar yang dinilai bermasalah atau jika ada yang menyampaikan keberatan. Penegak hukum bisa menggugat bila media itu tidak mau menghapus komentar tersebut. “Mereka tidak menerima argumentasi itu dan menyebut pengelola situs web juga harus bertanggung jawab atas komentar pembacanya.”

Dakwaan penghinaan pengadilan memanfaatkan Pasal 114A Undang-Undang Bukti yang menyatakan penerbit bertanggung jawab atas seluruh isi penerbitan, termasuk komentar pembaca. Aturan ini dibikin di masa pemerintahan Najib Razak pada 2012. Meski aturan itu ditolak masyarakat dan media massa, pemerintah tetap mempertahankannya. Kini aturan tersebut dipakai untuk menekan media yang kritis.

Sejumlah lembaga sipil, seperti Centre of Independent Journalism dan Human Rights Watch, mengecam cara yang digunakan pemerintah untuk menekan media seperti Malaysiakini. Penggunaan pasal tersebut dinilai bermasalah. “Aturan itu mengekang kebebasan berpendapat,” ucap Direktur Eksekutif Centre of Independent Journalism Wathshlah G. Naidu.

Adapun Gerakan Media Merdeka menyebutkan vonis terhadap Malaysiakini akan berdampak negatif pada kebebasan pers. Vonis itu juga bisa berdampak buruk pada model bisnis media yang saat ini sedang merosot. “Ada potensi menutup kolom komentar yang ujungnya mengikis kebebasan berekspresi,” demikian pernyataan organisasi advokasi media di Malaysia itu.

Malaysiakini tak bisa mengajukan permintaan banding atas kasusnya karena vonis sudah dijatuhkan oleh pengadilan tertinggi. Namun mereka berpeluang meminta peninjauan kembali. Untuk itu, mereka harus bisa meyakinkan panel tujuh hakim federal. Menurut Steven, Malaysiakini masih menunggu putusan lengkap pengadilan. “Kami juga menunggu kabar dari tim pengacara setelah melihat putusan lengkap itu, apakah ada cukup bahan untuk meminta peninjauan kembali,” katanya.

Meski denda telah lunas, masalah kembali mendera mereka. Sepekan setelah vonis untuk Malaysiakini jatuh, Steven dibayang-bayangi kasus baru tentang dugaan penghasutan. Dia diselidiki polisi karena komentarnya terhadap putusan pengadilan tersebut. Kasus baru ini berpangkal pada laporan seseorang dari sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berbasis di Gurun, Kedah. Investigasi serupa menyasar Charles Santiago, anggota parlemen asal Kota Klang.

Laporan Malaysiakini pada Selasa, 22 Februari lalu, polisi menggelar investigasi berdasarkan Undang-Undang Penghasutan serta Undang-Undang Komunikasi dan Multimedia. Steven mengaku tak tahu mengapa dia sampai dilaporkan ke polisi. “Saya tak tahu siapa yang melaporkan itu. Saya juga belum mendapat kabar detailnya.”

Menurut Steven, ada kejanggalan jika polisi menyelidikinya karena dia merasa tak pernah mengeluarkan pernyataan yang menghasut. Meski demikian, dia tak merasa aneh jika masih ada yang berusaha menjatuhkannya dan Malaysiakini. Dia menegaskan bahwa Malaysiakini akan tetap mendukung kebebasan berpendapat dan berekspresi meski terus mendapat tekanan. “Kami pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya, tapi kami tak akan terintimidasi,” ujarnya.

Adapun Charles menyatakan, sebagai warga negara, dia memiliki kebebasan dalam menyatakan pendapat dan berekspresi yang dilindungi konstitusi. “Saya seharusnya malah dapat menyampaikan pandangan atas putusan pengadilan tanpa harus khawatir dilaporkan ke polisi karena dinilai telah melakukan penghinaan,” tuturnya seperti dikutip Free Malaysia Today.

Sekretaris Jenderal Partai Aksi Demokratik Lim Guan Eng mengaku terkejut mengetahui investigasi polisi terhadap Steven dan Charles. Dia memberikan dukungan penuh bagi keduanya. Menurut dia, mengkritik putusan pengadilan dan mempertanyakan integritas lembaga peradilan bukanlah penghasutan. “Berusaha membungkam opini yang berbeda itu sama saja melumpuhkan perbedaan pendapat dan kebebasan menyatakan pendapat,” katanya.

Lim mempertanyakan apakah polisi bakal menginvestigasi komentar dan kritik serupa lain yang muncul setelah Pengadilan Federal mengeluarkan putusan. Menurut dia, investigasi itu bisa mencoreng citra pemerintah. Apalagi pemerintah di bawah kendali Perdana Menteri Muhyiddin Yassin tengah gamang karena kehilangan dukungan suara mayoritas di parlemen. “Apakah membatasi kebebasan pers dan berpendapat menjadi gaya baru setelah deklarasi keadaan darurat dan pembekuan parlemen?” ujar Lim. “Tanpa parlemen yang berfungsi, pemerintah bisa memiliki kekuasaan seperti diktator.”

GABRIEL WAHYU TITIYOGA (MALAY MAIL, FREE MALAYSIA TODAY, BERNAMA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus