Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Regulasi Rasis Dari Knesset

Knesset mengesahkan undangundang yang menetapkan Israel sebagai negara Yahudi. Memberi keistimewaan untuk orang Yahudi dan mendiskriminasi minoritas.

28 Juli 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KERTAS putih dan ungkapan kekecewaan berhamburan di ruang sidang pleno Knesset setelah pengesahan UndangUndang Israel sebagai Negara Yahudi, Kamis dua pekan lalu. Knesset meloloskan rancangan undangundang itu dengan 62 suara dukungan, sementara 55 lainnya menolak. Seusai sidang pleno, Ahmad Tibi, anggota parlemen dari oposisi, Joint List, meneriaki Perdana Menteri Benjamin Netanyahu:"Anda meloloskan hukum apartheid, hukum rasis!"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Undangundang yang rancangannya disodorkan sejak tujuh tahun lalu itu, dan terus menjadi bahan perdebatan yang panjang serta panas di Knesset, akhirnya resmi menjadi hukum Israel. Regulasi baru ini antara lain menetapkan Israel sebagai tanah air bersejarah bangsa Yahudi, Yerusalem sebagai ibu kotanya, dan Ibrani sebagai bahasa resmi negara. Bahasa Arab, yang sebelumnya juga menjadi bahasa resmi, kini diturunkan menjadi"berstatus khusus".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketentuan lain dalam undangundang itu, yang redaksinya diubah dari konsep awal, mengatur permukiman khusus bagi orang Yahudi. Pasal yang bisa menimbulkan pemisahan antara permukiman Yahudi dan nonYahudi itu akhirnya diganti dengan bahasa yang lebih lunak,"pengembangan permukiman Yahudi sebagai nilai nasional".

Netanyahu, pemimpin partai sayap kanan Likud, menyebut pengesahan hukum baru itu sebagai hari bersejarah."Ini momen yang menentukan dalam sejarah Zionisme dan negara Israel," katanya. Avi Dichter, anggota Knesset dari Likud, mengatakan undangundang tersebut meneguhkan identitas Israel sebagai negara Yahudi serta"mencegah pemikiran dan upaya mengubah Israel menjadi negara bagi semua warga".

Hukum baru ini akan memberikan banyak prioritas dan keistimewaan kepada orang Yahudi. Ia sekaligus menomorduakan kaum nonYahuditerutama bangsa ArabIsrael, yang jumlahnya sekitar 1,8 juta orang atau 20 persen dari total populasi Israel. Ayman Odeh, kepala koalisi Joint List, menyebut pengesahan ini sebagai deklarasi perang terhadap warga ArabIsrael dan melegalkan diskriminasi yang terjadi selama ini."Hal ini berbahaya karena menetapkan dua kelas kewarganegaraan: Yahudi dan Arab," ujarnya.

Undangundang baru itu memicu polemik."Ini hukum rasis," ucap Dan Yakir, kepala penasihat hukum untuk Asosiasi Hak Sipil di Israel. Yohanan Plesner, presiden lembaga pemikir Institut Demokrasi Israel, mempertanyakan hilangnya semangat demokrasi yang diamanatkan Deklarasi Kemerdekaan Israel 1948 dalam regulasi ini.

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, dalam pidatonya di parlemen, mengatakan undangundang anyar Israel itu menunjukkan bahwa jiwa pemimpin Nazi pada beberapa pejabat Israel telah meningkat."Tidak ada perbedaan antara obsesi Hitler soal ras murni dan pemahaman bahwa tanah kuno ini hanya untuk orang Yahudi," tuturnya, mengacu pada Nazi pimpinan Adolf Hitler yang membantai 6 juta orang Yahudi dalam Perang Dunia II.

Uni Eropa juga menyayangkan perkembangan baru ini karena akan mempersulit upaya damai Israel dan Palestina melalui solusi dua negara."Sikap kami sudah sangat jelas soal solusi dua negara," tutur pejabat Uni Eropa, Federica Mogherini, Kamis pekan lalu."Langkah apa pun yang akan memperumit atau mencegah solusi ini menjadi kenyataan harus dihindari."

l l l

RANCANGAN undangundang ini awalnya diusung Avi Dichter. Anggota Knesset dari Likud ini lahir di Ashkelon, Israel, pada 14 Desember 1952. Kakeknya, Yehoshua, adalah salah satu orang yang tewas dalam Holocaust. Dichter punya karier panjang di bidang keamanan. Ia pernah menjadi Menteri Keamanan Publik, Menteri Pertahanan, dan Direktur Shin BetBadan Keamanan Israel. Ia mengusulkan rancangan itu pada 3 Agustus 2011.

Saat diperkenalkan di Knesset, draf regulasi itu mengundang banyak kritik. Media ternama Israel, Haaretz, dalam tajuk edisi 30 Oktober 2011, menyebutnya berusaha secara brutal menabrak Deklarasi Kemerdekaan Israel dan memperkuat supremasi mayoritas Yahudi dengan mengorbankan hakhak kelompok minoritas. Media itu mendesak anggota Knesset menentang rancangan undangundang yang akan melemahkan demokrasi Israel tersebut.

Pembahasan rancangan undangundang itu naikturun. Pada 2013, rancangan tersebut, dengan sejumlah perubahan, diusulkan lagi oleh dua anggota Knesset lain. Avi Dichter pun kembali mengusulkan pembahasannya di Knesset pada 2015. Usul kedua ini disambut baik oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, yang kemudian menunjuk sebuah komite di kementerian untuk mencapai konsensus tentang halhal yang harus dimasukkan.

Barulah pada 2017 ada kemajuan lebih berarti. Komite kementerian Israel setuju mengusulkan rancangan tersebut. Setelah melalui sejumlah pembahasan, rancangan itu dibawa ke sidang Knesset, 12 Juli lalu.

Rancangan yang sudah mengalami sejumlah perubahan redaksional itu dibahas di Komisi Dalam Negeri serta Komisi Konstitusi, Hukum, dan Keadilan Knesset. Pembahasan berlangsung panas. Anggota Knesset dari partai oposisi Yesh Atid, Yael German, menyatakan sikap Israel dalam soal rancangan ini sebanding dengan keheningan warga Polandia saat menghadapi kekejaman Holocaust."Rancangan ini melabrak semua jaminan yang kami miliki sejak saya lahir dan untuk generasi mendatang. Ini merugikan komunitas gay, reformasi Yudaisme. Mengapa kita ingin meloloskan undangundang yang merugikan banyak orang?" kata German.

"Sejarah telah memaksa kita tidak berdiam diri menghadapi ketidakadilan dan mempertahankan demokrasi yang memungkinkan kebebasan berekspresi setiap saat. Kita telah belajar di Majdanek tidak tinggal diam di hadapan ketidakadilandengan segala bentuknya," German menambahkan. Majdanek adalah kamp tahanan Jerman di Polandia tempat 120 ribu orang Yahudi tewas selama Perang Dunia II.

Avi Dichter marah atas komentar itu."Beraniberaninya Anda membuat perbandingan yang kasar seperti itu. Saya minta Anda menarik pernyataan itu," katanya. German membalasnya dengan balik menyatakan bahwa Dichter yang seharusnya malu karena mengusulkan rancangan yang sangat kontroversial seperti itu.

Perdebatan keras juga terjadi antara Dichter dan Yousef Jabareen, anggota Knesset dari Joint List. Jabareen dengan sarkastis mengusulkan agar nama rancangan itu diganti saja menjadi"Hukum Dasar: Apar_theid"."Mari bicara terus terang," ujar Jabareen."Alasan yang sama dapat juga digunakan oleh Dichter untuk memberlakukan (diskriminasi) pemisahan di rumah sakit, transportasi umum, dan mungkin di kamar mandi."

Dichter berusaha membela diri dengan mengatakan undangundang ini harus dilihat dengan perspektif yang lebih luas dari kacamata orang Yahudi."Kita hidup sebagai minoritas kecil Yahudi di antara 350 juta orang Arab dan muslim yang lebih dari 1,5 miliar," ucapnya."Lihatlah dari sudut pandang mata burung soal undangundang ini."

Bukan hanya partai oposisi yang tak sreg dengan rancangan itu. Organisasi Yahudi di luar negeri, termasuk Jewish Agency di Amerika Serikat, melihat bahaya dari rancangan tersebut. Dua keprihatinan utama mereka adalah soal diturunkannya status bahasa Arab dari bahasa resmi dan masalah permukiman."Di wilayah diaspora, kami tidak mengerti apa manfaat menghilangkan bahasa Arab sebagai bahasa resmi," tutur Josh Schwartz, sekretaris umum lembaga itu.

Schwartz juga risau akan dampaknya secara internasional terhadap Israel dan komunitas Yahudi."Kami di wilayah diaspora sadar bahwa gerakan BDS (Boycott, Divestment, and Sanctions) sangat kuat, yang melakukan apa saja untuk merugikan negara Israel dan Yahudi. Rancangan ini bisa menjadi amunisi untuk gerakan BDS," ujarnya. Boycott, Divestment, and Sanctions adalah kampanye global untuk memboikot Israel atas aksi pendudukannya di Palestina.

Perdebatan Avi Dichter, Yael German, dan Yousef Jabareen di Knesset itu mencerminkan polarisasi publik dalam merespons inisiatif menjadikan Israel sebagai negara Yahudi. Dalam sidang pleno pekan berikutnya, 19 Juli lalu, suara partai oposisi tak bisa menghadang laju regulasi yang dinilai rasis itu. Partaipartai sayap kanan butuh minimal 61 suara untuk bisa meloloskan rancangan undangundang itu, dan mereka mendapatkannya.

Abdul Manan (Ynet.news, Reuters, NBC News, Haaretz, Guardian)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus