Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Barry Rosen gusar ketika mendengar kabar Hamid Aboutalebi akan menempati pos barunya di New York, Amerika Serikat. Rosen, bekas atase pers Kedutaan Amerika Serikat di Teheran, tak setuju diplomat Iran itu memasuki negaranya. Ia pun meminta pemerintah Amerika menolak permohonan visa Aboutalebi. "Dia tidak boleh menginjakkan kaki di tanah Amerika," ujar pria 70 tahun itu kepada Fox News, Senin dua pekan lalu.
Rosen punya kenangan pahit selama bertugas di Iran. Ia adalah satu dari 52 warga Amerika yang disandera kelompok Mahasiswa Muslim Pengikut Garis Imam di dalam Kedutaan Amerika selama 444 hari sejak 4 November 1979. Para korban, termasuk Rosen, menuding Aboutelabi bagian dari penyandera karena kala itu ia menjadi penerjemah kelompok mahasiswa.
Tak mengherankan bila Rosen menolak kedatangan Aboutalebi, yang dua pekan lalu ditunjuk Presiden Iran Hassan Rouhani sebagai duta besar Iran untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa. "Jika Presiden dan Kongres tak mengutuk tindakan Iran ini, penyanderaan dan penderitaan kami sia-sia," kata Rosen.
Bukan cuma Rosen yang marah terhadap penunjukan Aboutalebi. Sejumlah senator menggalang dukungan untuk menggagalkan kedatangan pria 56 tahun itu di New York. Selasa pekan lalu, Senat menyetujui rancangan undang-undang yang diajukan Ted Cruz, senator Partai Republik dari Texas. Jika disetujui DPR, aturan itu akan melarang Aboutalebi memasuki wilayah Amerika. "Penunjukan itu disengaja dan jelas-jelas menghina Amerika Serikat," ujar Cruz di depan Senat.
Aboutalebi, yang ketika penyanderaan terjadi berusia 22 tahun, membantah tudingan itu. Ia mengaku hanya menjadi penerjemah dalam jumpa pers pelepasan dua sandera pada 19 November 1979. Ia mengatakan tak berada di Teheran ketika sekelompok mahasiswa menduduki kedutaan Amerika. "Saya berada di Ahwaz. Saya menjadi penerjemah mereka satu-dua kali ketika mereka membutuhkan terjemahan dari bahasa Inggris ke Prancis untuk berkomunikasi dengan dunia luar," tuturnya.
Aboutalebi, yang memulai karier sebagai diplomat dua tahun setelah penyanderaan itu, heran terhadap reaksi Rosen dan para senator. Sebab, kata dia, selama 15 tahun terakhir ia menjadi duta besar di sejumlah negara sekutu Amerika, seperti Australia, Belgia, Italia, dan Uni Eropa. "Bahkan pada 1994, ketika saya ke Amerika sebagai anggota delegasi Iran di Majelis Umum PBB, tidak ada yang mempersoalkan masa lalu saya," ujar penasihat politik Presiden Rouhani itu kepada Khabar Online.
Sejauh ini memang tak ada bukti Aboutalebi bagian dari penyandera. Kepada BBC, perancang pendudukan Kedutaan Amerika, Ibrahim Asgharzadeh, mengatakan ada kelompok beranggotakan lima orang yang memutuskan menduduki Kedutaan Amerika. Sepuluh mahasiswa lain bergabung tak lama kemudian, dan Aboutalebi tidak termasuk di antara mereka.
Menurut dia, klaim bahwa Aboutalebi terlibat penyanderaan disebarkan oleh kelompok konservatif di Teheran untuk menyabotase upaya Presiden Rouhani mendekati Barat. "Saya pikir garis keras berusaha menciptakan hambatan dengan membuat cerita Aboutalebi adalah salah seorang dari kami, para penyandera," kata Asgharzadeh kepada The Times, Jumat dua pekan lalu.
Asgharzadeh dan sebagian orang di lingkaran peristiwa penyanderaan belakangan memang berubah haluan. Lebih dari dua dekade terakhir, mereka justru menjadi pelopor gerakan reformasi dan gencar mempromosikan pemulihan hubungan Iran dan Barat. Mereka antara lain Mohsen Mirdamadi, Habibullah Bitaraf (yang menjabat menteri energi di pemerintahan Presiden Khatami), Abbas Abdi, dan Massoumeh Ebtekar.
Ketika peristiwa penyanderaan terjadi, Asgharzadeh adalah mahasiswa Universitas Teknologi Sharif, Teheran, berusia 24 tahun. Ia kemudian menjadi pemimpin organisasi mahasiswa Biro untuk Memperkuat Kesatuan. Kelompok yang dibentuk Ayatullah Mohammad Beheshti, orang kepercayaan pemimpin tertinggi Iran, Ayatullah Khomeini, ini untuk melawan pengaruh organisasi sayap kiri Mojahedin-e Khalq di kalangan mahasiswa.
Selama enam tahun sejak 1982 hingga 1988, ia dekat dengan Muhammad Khatami, yang menjadi presiden pada 1997-2005. Namun, setelah 1988, ia mulai menuntut keterbukaan dan berani menentang kebijakan para ulama. Tahun itu pula ia terpilih menjadi anggota parlemen mewakili wilayah Teheran. Pada 1992, ia didiskualifikasi dari parlemen dan dikirim ke penjara selama sebulan karena melawan Dewan Wali yang konservatif. Pada 2001, ia mencalonkan diri sebagai presiden melawan Khatami. Ia kemudian ditahan karena menerbitkan surat kabar Salam, yang mengkritik pemerintah.
Pada 2004, dalam wawancara dengan Mark Bowden, penulis buku Guests of the Ayatollah, Asgharzadeh mengatakan usulnya menduduki Kedutaan Amerika langsung didukung Mirdamadi dan Bitaraf. Namun usul itu ditolak oleh dua pemimpin mahasiswa lainnya. Salah satunya Mahmud Ahmadinejad, yang kelak menjadi Presiden Iran (2005-2013). Ahmadinejad kala itu beranggapan ancaman lebih besar bagi Revolusi Islam justru datang dari Uni Soviet.
Kisah hidup Asgharzadeh mirip dengan kisah Mirdamadi, 59 tahun. Khomeini memuji Mirdamadi sebagai pahlawan karena ikut membantu memimpin pendudukan Kedutaan Amerika. Namun perjalanan hidupnya berubah total dua dekade kemudian. Ketika terjun ke politik dan menjadi anggota parlemen pada 2000-2004, ia bergabung dengan gerakan reformasi. Setelah dilarang mencalonkan diri lagi oleh Dewan Wali, ia dipilih menjadi sekretaris jenderal partai pro-reformasi, Front Partisipasi Islam Iran, sejak 2006.
Organisasi Human Rights Watch melaporkan dia ditahan pada Juni 2009 dengan tuduhan terkait dengan unjuk rasa pasca-pemilu yang dimenangi dengan mutlak oleh Ahmadinejad. Ia dijebloskan ke ruangan isolasi selama 110 hari dan sedang menjalani hukuman selama enam tahun di penjara Evin, Teheran.
Nasib serupa dialami Abbas Abdi. Ketika masih muda, pria yang kini berusia 56 tahun itu berpikir Syah Iran harus digulingkan dan Amerika perlu dihukum karena mendukung rezimnya. Jadi ia memutuskan ikut ambil bagian dalam menduduki kedutaan Amerika. Tapi bertahun-tahun kemudian ia kecewa kepada pemerintah dan membantu melahirkan gerakan reformasi.
Akibatnya, pada 2003, ia dihukum lima tahun penjara gara-gara menggelar sebuah survei bekerja sama dengan perusahaan Amerika. Ia dibebaskan pada Mei 2005, setelah Mahkamah Agung menolak dakwan spionase yang ditujukan kepadanya.
Dari para tokoh mahasiswa itu, nasib Ebtekar terbilang paling baik. Perempuan yang fasih berbahasa Inggris karena pernah tinggal di pinggiran Philadelphia pada 1960-an itu kini menjabat wakil presiden merangkap menteri lingkungan. Media yang dekat dengan para ulama mengecamnya ketika Presiden Rouhani menunjuknya sebagai menteri pada September tahun lalu. Apalagi, seperti dikutip The Guardian, ia mengatakan terpilihnya Rouhani sebagai presiden membuka peluang Iran memperbaiki hubungan dengan dunia internasional, termasuk Amerika dan sekutunya, setelah kebijakan-kebijakan yang tak rasional dan kontraproduktif dari pemerintahan Ahmadinejad.
Mengenai penyanderaan, ia bercerita dalam buku Takeover in Tehran bahwa para mahasiswa kala itu ingin menukar para sandera dengan Syah Iran Mohammad Reza Pahlavi, yang terguling dalam revolusi 11 Februari 1979. Mereka khawatir Syah akan kembali berkuasa melalui kudeta yang didukung badan intelijen Amerika, Central Intelligence Agency (CIA).
Setelah lebih dari 34 tahun berlalu, krisis penyanderaan itu rupanya belum lekang dari ingatan warga Amerika. Tapi, menurut sejumlah pengamat, tak selayaknya Amerika bersikap reaktif terhadap penunjukan Aboutalebi. Barbara Slavin dari Atlantic Council's South Asia Center mengatakan Aboutalebi, yang dekat dengan Presiden Rouhani, dapat menjadi lawan bicara yang sepadan bagi Amerika untuk menyelesaikan permusuhan akibat krisis penyanderaan. "Menolak dia seperti memberikan amunisi kepada oposisi yang anti-Amerika."
Sapto Yunus
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo