Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Tak melayu hilang di singapura

Puak melayu di singapura makin tertinggal oleh etnis lain. kendati merasa nasionalis, mereka tak mendapat posisi kunci di pemerintahan. sejak pemerintahan kolonial inggris keturunan melayu disisihkan.

10 September 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEREKA adalah minoritas di rumah sendiri. Jumlah mereka cuma sekitar 400.000 jiwa -- seperempat dari jumlah etnis pendatang Cina. Itulah puak Melayu yang mukim di Singapura. Tapi mereka, kecuali beberapa gelintir orang, tenang-tenang saja. Mereka ikut tenggelam dalam sukses ekonomi yang dicapai Negara Pulau berpenduduk 2.600.000 jiwa itu. Dalam beberapa tahun terakhir ini, hubungan antargolongan, terutama Cina dan Melayu, di negeri multirasial Singapura boleh dikatakan baik. Tapi akhir November 1986 lalu, kedudukan orang Melayu dan hubungan antarras kembali menjadi gunjingan, bersamaan dengan kunjungan Presiden Israel Haim Herzog ke Singapura. Soalnya, kunjungan Herzog itu diprotes oleh Malaysia, tetangga dekat Singapura. Malaysia menganggap kesediaan Singapura menerima pemimpin Yahudi itu sebagai bukti ketaksensitifan tuan rumah terhadap negara-negara tetangga. Bahkan Bapak Malaysia Tunku Abdul Rahman menyebutnya sebagai penghinaan terhadap umat Islam. Padahal, Tunku adalah tokoh yang selama ini dikenal bersikap moderat dalam masalah hubungan antarkaum. Keberatan Malaysia itu tak begitu digubris pemerintahan Lee Kuan Yew. Alasannya: Singapura punya hak menentukan kebijaksanaan sendiri. Tapi yang membuat Lee terkejut justru reaksi yang datang dari kalangan puak Melayu Singapura. Mereka unjuk rasa sebagai protes terhadap kedatangan Herzog. Sehingga, timbul kecurigaan di kalangan para pemuka Cina terhadap kesetiaan orang-orang Melayu. "Hati mereka ada di seberang teluk sana," tutur seorang pemuka keturunan Cina. Tempat yang dimaksud adalah Malaysia. Brigjen. Lee Hsien Loong, putra Lee Kuan Yew, yang sering disebut-sebut sebagai "putra mahkota" dinasti Lee, dalam suatu seminar di Universitas Singapura, 23 Februari tahun lalu, bahkan terang-terang mengatakan orang Melayu tak bakal mendapat posisi penting dalam angkatan bersenjata Singapura. Alasannya: pemerintah tak mau menempatkan tentara keturunan Melayu dalam dilema antara kewajiban membela negara dan perasaan agama bila suatu "konflik regional" muncul. Pendek kata, menurut Brigjen. Lee, karena faktor agama dan ras, orang Melayu tak patut menjadi perwira. Betulkah? Orang-orang Melayu Singapura memprotes keras kecemasan Lee, dengan mengatakan kesetiaan mereka kepada negara tidak perlu diragukan. Keislaman orang-orang Melayu, tambah mereka, tak akan mengurangi kesetiaan mereka terhadap negara. Kecurigaan terhadap keturunan Melayu sesungguhnya sudah lama berakar di Singapura. Dulu, agar mereka tetap terbelakang, pemerintah kolonial Inggris tak memperkenankan mereka aktif di sektor perdagangan, industri, dan perkebunan. Akibatnya: ketika Malaya dan Singapura beranjak ke bidang industri dan perdagangan modern, orang-orang Melayu ketinggalan jauh oleh ras-ras lain. Serba ketinggalan itu, menurut Tham Seong Chee, guru besar pengkajian Melayu pada Universitas Nasional Singapura, bukan semata-mata disebabkan oleh peninggalan pemerintah jajahan, tapi juga karena faktor mereka sendiri. Usaha-usaha mengikutsertakan orang Melayu ke dalam kegiatan kewiraswastaan selalu gagal. Itu, kata Tham, terutama lantaran nilai-nilai tradisi dan kelompok selalu membayangi dan membatasi gerak langkah mereka. Harus diakui, orang Melayu Singapura masih harus banyak mengejar sukses-sukses ras lain. Tapi tak berarti mereka tak ada kemajuan. Dalam lima tahun terakhir jumlah mahasiswa keturunan Melayu makin banyak. Tahun ini, ada sekitar 200 mahasiswa menuntut pelajaran di berbagai perguruan tinggi. Angka itu merupakan lonjakan besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Lonjakan besar di puak Melayu juga terjadi dalam penyalahgunaan narkotik. Menurut angka-angka yang diungkapkan Menteri Urusan Lingkungan Ahmad Mattar, persentase anak-anak muda Melayu yang ketagihan dadah (narkotik) jauh melebihi persentase penduduk Melayu di Singapura. Sebelum 1987, kata Mattar, hanya 30-35% dari mereka yang ketagihan narkotik berasal dari keturunan Melayu. Tahun lalu, angka baru pengidap narkotik di kalangan Melayu: 40%. Malah, sampai pertengahan 1988, 400 orang dari 750 pecandu narkotik baru yang diciduk polisi adalah pemuda-pemudi Melayu. Adakah politik pembedaan terselubung yang membuat mereka mencari jalan pintas untuk memuaskan diri? Pertanyaan yang sukar dijawab. Yang jelas, orang-orang Melayu, sebagai ras kedua terbesar, setelah Cina, tak tergambar pada formasi elite Singapura dewasa ini. Dari sekitar 17 kursi, mulai dari jabatan presiden, perdana menteri, sampai menteri, hanya ada satu menteri keturunan Melayu. Sisanya, 10 untuk keturunan Cina, tiga keturunan India, dan satu menteri keturunan Indo. Ada yang mengatakan, perimbangan itu terjadi karena sistem politik Singapura didasarkan pada sistem meritokrasi. Artinya, hanya mereka yang berprestasi yang bisa terangkat menjadi elite. Tapi ada tokoh oposisi -- sayang namanya tak mau disebutkan -- yang mengatakan, kalau asas meritokrasi benar-benar diikuti, bukan tak mungkin ada orang Melayu lain, di samping Mattar, menjadi anggota kabinet. Di samping itu, ada ketidakpuasan lain lagi dari orang-orang Melayu terhadap kebijaksanaan pemerintah. Mereka, kabarnya, tidak puas dengan kebijaksanaan pemerintah mengenai bahasa. Walau bahasa Melayu diakui sebagai bahasa nasional, bahasa yang dipakai sehari-hari dalam pemerintahan dan bisnis adalah bahasa Inggris. Kekecewaan mereka terhadap kebijaksanaan pemerintah mengenai bahasa makin meluap setelah beberapa tahun terakhir pemerintah menggalakkan kampanye untuk menggunakan bahasa Cina Mandarin (Goyu) di kalangan penduduk Cina. Sedangkan kampanye untuk menggunakan bahasa Melayu hanya sekali dua kali diadakan. Perbedaan perlakuan terhadap golongan itu dituding kelompok oposisi sebagai penyebab memperbesar jurang pemisah antar golongan. Sebagai contoh, dan diakui pihak posisi, dikatakan bahwa sistem Group Representative (GRC) yang didasarkan pada asumsi pemerintah bahwa rakyat Singapura cenderung memilih wakil yang berasal dari golongannya. Ini berarti bahwa para pemilih Cina akan memilih calon Cina, Melayu akan memilih Melayu, dan India akan memilih calon India. Menurut pemerintah, GRC justru diadakan untuk menjamin agar golongan minoritas Melayu dan India terwakili dalam parlemen. Pada hemat pihak oposisi, kalau memang pemerintah mau agar suatu nasion Singapura tercipta, politik yang membeda-bedakan golongan itu mesti dihapus. Ada atau tidak ada hubungan antar ras yang harmonis memang suatu pertanyaan yang berbau ilmiah. Kalau ditanyakan pada orang di jalanan, baik itu orang Melayu, India, maupun Cina, hampir semuanya akan menjawab bahwa rasa kebanggaan sebagai orang Singapura sudah mengakar. Bahkan ada kecenderungan bahwa orang Singapura yang Melayu pun punya rasa setingkat lebih tinggi ketimbang saudara-saudara mereka yang ada di Malaysia ataupun di Indonesia. "Penyakit tinggi hati" Cina Singapura sedikitnya juga telah menular pada orang Melayunya. Paling tidak itulah perasaan beberapa orang Malaysia yang diwawancarai TEMPO di Singapura. Benarkah tidak ada lagi ketegangan rasial di Singapura? Seorang ahli ilmu politik, Chan Heng Chee, yang memimpin Institute of Policy Studies, mengatakan bahwa hubungan antarras dewasa ini pada umumnya baik. Itu dikatakannya dalam batasan tak adanya ketegangan dan kecilnya kemungkinan terjadinya perang antarkaum. Tapi, katanya lagi, karena Singapura merupakan negeri multirasial, kemungkinan konflik atau paling tidak kesalahpengertian pasti ada. Khusus mengenai orang Melayu, dikatakan oleh Guru Besar Chan, mereka memiliki kecenderungan untuk "menarik diri" (sense of withdrawal). Persoalannya sekarang adalah bagaimana mengintegrasikan mereka ke dalam masyarakat Singapura yang sedang berubah dengan cepat. Salah satu kelemahan, kata Chan lagi, orang Melayu, terutama yang kurang berhasil, cenderung menyalahkan etnisitas mereka sebagai penyebab kegagalan mereka. Pada orang Cina, sikap ini tak didapatkan. Chan mendapat kesimpulan bahwa akhir-akhir ini sudah lebih banyak orang Melayu yang sukses baik dalam bidang pendidikan maupun bisnis. Persoalannya, masalah waktu. Tapi, melihat keterbelakangan orang-orang Melayu Singapura di segala bidang, tampaknya jalan yang harus mereka tempuh masih jauh. A. Dahana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus