Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MESTINYA, sesuai dengan hukum undang-undang darurat, tentara bisa saja langsung menyerbu ke Tiananmen, menyapu barisan mahasiwa yang oleh PM Li Peng disebut sebagai perusuh itu. Tapi sampai awal pekan ini itu tidak, atau belum, terjadi. Dalam kemelut di Cina kali ini tentara rupanya tak sepakat bulat. Suatu perpecahan dalam tubuh TPR (Tentara Pembebasan Rakyat) -- yang sebagian besar anggotanya berstatus wajib militer, berusia antara 18 dan 22 tahun -- tampaknya tak sulit diduga. Pembangkangan paling mengejutkan datang dari Divisi ke-38, satuan elite yang bermarkas di pinggir Beijing. Ini mudah dimengerti karena sebagian besar wajib militer di kesatuan itu adalah pemuda-pemuda Beijing. "Para mahasiswa Beijing sebagian besar pernah menjalani wajib militer di Divisi ke-38 itu," kata Paul Goldwin, profesor di National Defence University. Washington -- sebagaimana yang dilaporkan Yusril Djalinus dari AS. Tambahan lagi Menteri Pertahanan Jenderal Qin Jiwei yang pernah menjadi komandan di kesatuan tersebut, terang-terangan tak mendukung pemberlakuan keadaan darurat. Jenderal ini pun tak setuju tentara digunakan untuk menertibkan mahasiswa. Ini tentu merupakan dukungan moril bagi Divisi ke-38. Qin bersedia mengorbankan persahahatannya yang erat dengan Deng Xiaoping yang pernah diselamatkan dua kali sewaktu perang melawan pendudukan Jepang. Agaknya, itu demi menjaga prinsip profesionalisme dalam TPR, yang kini beranggotakan sekitar 3,5 juta tentara. Prinsip profesionalisme itu dulu memang tak disukai oleh Mao, yang menganggap bahwa tentara sekadar alat politik partai. Tapi oleh Deng Xiaoping profesionalisme dihidupkan lagi. Deng mengharamkan tentara ikut menentukan arah politik. Hal ini ia rintis sejak awal reformasinya. Maka, boleh dikata kasus yang sekarang ini bak senjata makan tuan. Kendati Deng resminya Ketua Komisi Militer Pusat, tidak seluruh TPR setia pada garis politiknya. Tentara memang boleh kecewa pada Deng atau para pengambil keputusan di Beijing karena para politikus itu, kata tentara, menciutkan anggaran militer. Tadinya, pada 1980, anggaran itu 17,2 dari APBN. Pada 1988 lalu menjadi hanya 7,5 %. Maka kini menjadi tentara bukan sesuatu yang bisa membuat bahagia. Padahal, sebelumnya, terutama bagai para pemuda daerah, menjadi tentara adalah salah satu cara untuk lari dari kemiskinan. Kini banyak serdadu yang ingin segera keluar dari tugas untuk kemudian berwiraswasta, agar kehidupan mereka bisa lebih baik. Gaji di ketentaraan, kata mereka, tak memadai. Konon, banyak keluarga yang menyuap agar anak lelaki mereka tak usah menjalani wajib militer. Dalam reformasi Deng pertahanan berada di urutan terakhir, sesudah pertanian, industri, dan ilmu pengetahuan. Semua itu masih diperburuk dengan pekanya tentara terhadap persaingan kekuasaan di pusat pemerintahan. Kepemimpinan kolektif, yang dijalankan Deng sebagai bentuk komprominya dengan kelompok yang enggan bereformasi, telah pula menciptakan lebih dari satu jalur komando terhadap TPR. Itu semua -- dari soal wajib militer sampai komando yang lebih dari satu -- menjelaskan mengapa perintah Deng, atau Li Peng, kepada tentara tak segera dilaksanakan. Maka itulah, menurut kabar terakhir, akhirnya yang diterjunkan ke Tiananmen adalah pasukan dari daerah kelahiran Deng dan Li Peng. Diharapkan mereka, yang belum mengenal mahasiswi Beijing secara pribadi, bisa bertindak tegas. Maka para pengamat Barat meramalkan dalam waktu dekat akan jatuh korban di antara mahasiwa. Di situ, kewibawaan Zhao Ziyang, Qin Jiwei, dan pihak reformis diuji. Bila tentara tetap pasif, reformasi total di RRC memang dikehendaki oleh sebagian besar rakyat -- termasuk militer -- dan bukan cuma oleh para reformis.Mohamad Cholid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo