Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Berita Top 3 Dunia kemarin dimulai dari Menteri Pertahanan AS yang mengaku terkejut dengan kekalahan pasukan Afghanistan terhadap Taliban. Dia mengakui ada kesalahan perhitungan dalam perang terpanjang Amerika Serikat tersebut.
Berita lainnya adalah kisah mahasiswa Indonesia di luar negeri yang terbuang setelah peristiwa 30 September 1965 (G30S). Terakhir adalah pesawat tempur Cina J-160D yang kian mematikan. Berikut berita selengkapnya:
1. Menhan AS Mengaku Terkejut Tentara Afghanistan Meleleh di Depan Taliban
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin di depan Kongres, mengatakan tidak menyangka tentara Afghanistan begitu gampang menyerah menghadapi Taliban dan ia mengakui ada kesalahan perhitungan dalam perang terpanjang Amerika termasuk korupsi dan moral yang rusak di jajaran pasukan Afghanistan.
"Fakta bahwa tentara Afghanistan yang kami dan mitra kami latih begitu saja meleleh - dalam banyak kasus tanpa melepaskan tembakan - mengejutkan kami semua," kata Austin kepada Komite Angkatan Bersenjata Senat, Selasa, 28 September 2021. "Akan tidak jujur untuk mengklaim sebaliknya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Austin menjelaskan pada Kongres tentang akhir kacau balau dari perang di Afghanistan, yang merenggut nyawa pasukan AS dan warga sipil serta membuat Taliban kembali berkuasa.
Ini berdasarkan pertanyaan serupa dua minggu lalu terhadap Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, yang dengan gigih membela pemerintah, bahkan ketika dia menghadapi seruan untuk pengunduran dirinya.
Austin memuji personel Amerika yang membantu mengangkut 124.000 warga Afghanistan ke luar negeri, sebuah operasi yang juga menelan korban 13 tentara AS dan sejumlah warga Afghanistan dalam sebuah bom bunuh diri di luar bandara Kabul.
"Apakah itu sempurna? Tentu saja tidak," kata Austin menyinggung adanya warga Afghanistan yang tewas saat mencoba memanjat sisi pesawat militer AS atau warga sipil yang tewas dalam serangan pesawat tak berawak AS terakhir dalam perang.
Senator James Inhofe, anggota Komite Angkatan Bersenjata Senat dari Partai Republik, secara terang-terangan menyalahkan pemerintahan Biden atas apa yang dikatakan para kritikus sebagai akhir yang memalukan dari upaya 20 tahun.
Inhofe mengatakan Biden mengabaikan rekomendasi para pemimpin militernya dan meninggalkan banyak orang Amerika setelah penarikan AS.
"Kita semua menyaksikan kengerian yang dibuat oleh presiden," kata Inhofe tentang Afghanistan.
Banyak pertanyaan tersulit mungkin jatuh ke dua komandan militer senior Amerika Serikat, yakni Jenderal Angkatan Darat Mark Milley sebagai ketua Kepala Staf Gabungan, dan Jenderal Marinir Frank McKenzie, kepala Komando Pusat AS.
2. Mereka yang Terasingkan di Negeri Orang usai G30S
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto banyak mahasiswa Indonesia yang terasingkan di luar negeri setelah peristiwa 30 September 1965 (G30S). Mereka dikenal dengan sebutan eksil 1965.
Presiden Soekarno mengirimkan ribuan pelajar ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikan di negara-negara komunis seperti Uni Soviet dan lainnya pada 1960-an. Bung Karno berharap mahasiswa ini bisa membangun Indonesia setelah kembali dari luar negeri.
Kepemimpinan Soeharto melarang segala aktivitas terkait komunisme dan menangkap, menahan, serta menghabisi orang-orang yang diduga terafiliasi dengan paham tersebut. Pemerintahan Orde Baru juga mencabut paspor-paspor mahasiswa tersebut yang memilih tidak pulang karena takut akan dipenjara. Para pelajar ini pun puluhan tahun menjadi pelarian di luar negeri
Berikut ini adalah beberapa dari mereka:
Soesilo Toer
Soesilo Toer adalah adik dari Pramoedya Ananta Toer. Soesilo Toer berhasil meraih gelar doktor di Uni Soviet. Setelah kejadian 1965, Soesilo Toer memutuskan untuk kembali ke Indonesia tahun 1973. Namun, setelah turun dari pesawat, Soesilo Toer langsung ditangkap dan ditahan tanpa proses pengadilan yang jelas. Akhirnya ia dibebaskan tahun 1978.
Umar Said
Umar Said adalah aktivis sekaligus jurnalis asal Indonesia yang bertatus stateless selepas 1965. Saat itu, Umar Said menghadiri Konferensi Trikontinental di Havana, Kuba. Dalam konferensi tersebut, Umar Said memaparkan tentang pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia.
Setelah konferensi tersebut, Umar Said dicabut paspornya oleh pemerintah saat itu. Setelah itu, Umar Said menuju Prancis dan berjuang bagi penegakan HAM di Indonesia dari Paris.
Waruno Mahdi
Waruno Mahdi adalah kimiawan yang berhasil mendapat gelarnya di Intitut Teknologi Kimia Mendeleyev. Situasi politik 1965 menjadi petaka bagi Waruno karena ia tidak mau menandatangani surat kesetiaan kepada Presiden Soeharto. Alhasil, paspor milik Waruno dicabut dan Waruno menjadi stateless.
Setelah itu, Waruno mengembara dari negara ke negara dan berhasil menjadi warga negara Jerman dan berhasil mendaptakn paspoir Jerman. Dengan paspor Jerman tersebut, Waruno berhasil kembali ke Indonesia di tahun 2000.
Selain ketiga orang di atas, masih banyak masyarakat Indonesia yang terasingkan di luar negeri setelah kejadian G30S. Kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa atau utusan Soekarno yang dikirim untuk menuntut ilmu.
3. J-16D, Pesawat Tempur Siluman Cina yang Semakin Mematikan
Pesawat tempur siluman Cina J-16D untuk pertama kalinya memamerkan perangkat pelacak dan rudal selama berlangsungnya Airshow China di Zhuhai pada 28 September-3 Oktober 2021.
Alat yang dikenal dengan sebutan jammer dan rudal terpasang di bawah sayap dan saluran masuk udara selain dua perangkat tempur elektronik di ujung sayap pesawat tempur ini.
Pesawat yang merupakan hasil pengembangan dari generasi pendahulunya J-16 tersebut memiliki kemampuan tempur yang komprehensif, baik mengintai, menyerang, maupun bertahan.
Shenyang J-16D diklaim mampu menangkal serangan lawan melalui sistem peringatan dini, komando, komunikasi, penghadangan, dan penyerangan.
“J-16D menunjukkan bahwa Cina sangat mementingkan dominasi dalam peperangan elektromagnetik,” kata mantan instruktur Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) Song Zhongping kepada South China Morning Post.
“Untuk memenangkan peperangan di masa depan, yang diperlukan tidak hanya mendominasi udara dan laut, tetapi juga proaktif dalam mendominasi informasi dan kekuatan elektromagnetik.”
Pesawat tempur baru itu akan meningkatkan kemampuan peperangan elektronik Angkatan Udara Tentara Pembebasan Rakyat Cina (PLA) dan menjadi bagian vital PLA dalam peperangan modern.
Peperangan elektronik atau electronic warfare menggunakan spektrum elektromagnetik atau energi untuk mengendalikan spektrum dalam menyerang dan menghalau serangan lawan.
Peperangan model ini bisa dilakukan melalui udara, laut, darat, dan luar angkasa, baik dengan alat yang berawak maupun tidak.
Perang ini menyasar manusia, sistem komunikasi, radar, atau aset yang lain. Di pesawat tempur Sukhoi versi mutakhir milik TNI Angkatan Udara juga telah terpasang jammer tersebut.