Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kerumitan tata kelola BPJS Kesehatan yang melibatkan banyak kementerian menyebabkan timbulnya dugaan pemborosan dan defisit.
Kementerian Kesehatan memiliki andil besar menyumbang potensi defisit karena tak ketat menjalankan pekerjaan rumah.
BPJS Kesehatan dianggap lemah dalam mengelola kepesertaan.
BETAPA masygul Hadi Siswanto ketika ia hendak menjalani cuci darah di Rumah Sakit Umum Pusat Dr Soeradji Tirtonegoro, Klaten, Jawa Tengah, pada 2 Mei lalu. Sudah delapan bulan laki-laki 35 tahun itu dua kali sepekan datang ke rumah sakit tersebut untuk melakukan cuci darah akibat ginjal yang tak lagi berfungsi baik. Hari itu ia tertegun di meja pendaftaran pasien. Petugas tak mengizinkannya masuk ruang perawatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Petugas itu menjelaskan bahwa Hadi sudah tak lagi terdaftar sebagai peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Ia tak lagi berhak mendapatkan fasilitas perawatan. Petugas tersebut memberi tahu bahwa Hadi bisa menjalani cuci darah hari itu jika membayar ongkos Rp 800 ribu. Karena tak membawa uang sebesar itu, Hadi pulang. “Kaki saya bengkak karena tak cuci darah sepekan,” katanya kepada Tempo, Senin, 1 Juni lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak dokter memvonis ginjalnya rusak, Hadi berhenti bekerja. Buruh bangunan dengan dua anak ini mengandalkan hidup dari penghasilan istrinya yang menjadi buruh pabrik dengan pendapatan Rp 1,9 juta per bulan. Uang itu habis untuk biaya hidup sehari-hari dan anggaran buat sekolah anak-anak mereka.
Aktivitas pelayanan di Kantor BPJS kesehatan Jakarta Pusat, Selasa (2/10). TEMPO/Tony Hartawan
Karena itu, Hadi bersyukur mendapat layanan kesehatan BPJS di segmen penerima bantuan iuran (PBI), yang seluruh biaya pengobatannya ditanggung pemerintah. Namun hari itu ia kaget karena tiba-tiba tak lagi tercatat sebagai anggota BPJS. Kisah Hadi kemudian didengar anggota Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia yang mengadvokasinya. Sepekan setelah libur cuci darah, keanggotaan Hadi aktif kembali.
Cerita Hadi juga dialami Usman Edi nun di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Laki-laki 53 tahun ini tak bisa memakai layanan BPJS pada 3 Desember 2019 karena sudah dinyatakan meninggal pada 2 November 2017. Sama seperti Hadi, Usman anggota BPJS segmen PBI yang hendak berobat karena nyeri prostat ke pusat kesehatan masyarakat di dekat rumahnya. “Datanya dipalsukan calo,” ujar Rudy Tanjung, pengacara yang mengadvokasi Usman, pada 17 Maret lalu.
Setelah dilacak, rupanya nama Usman dipakai seorang pasien yang memiliki penyakit kritis sehingga butuh berobat lumayan sering. Berkat calo yang memiliki akses ke data PBI, pasien ini bisa berobat di banyak rumah sakit memakai data anggota BPJS PBI di Desa Tanjung Morawa, Deli Serdang. Ia meninggal ketika sedang dirawat di Rumah Sakit Umum Grand Medica atas nama Usman Edi. Dengan alasan sedang diselidiki polisi resor Deli Serdang, Rudy meminta nama calo yang bekerja di sebuah instansi pemerintah itu tak ditulis.
Pahala Nainggolan. TEMPO/Imam Sukamto
Apa yang dialami Hadi dan Usman menguak kusutnya data penerima bantuan iuran asuransi kesehatan nasional. Dalam rapat gabungan pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat pada 18 Februari lalu, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan mengungkap 27,44 juta pasien yang datanya kacau. Menteri Sosial Juliari Batubara menyebutkan jumlahnya lebih banyak. Menurut dia, ada 30 juta peserta PBI yang belum sinkron dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
DTKS merupakan basis data yang menjadi acuan pemerintah memberikan bantuan iuran melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Agar akurat, data terpadu diintegrasikan dengan nomor induk kependudukan (NIK). Namun, karena prosesnya kacau, integrasi itu membuat banyak pasien tiba-tiba terhenti menjadi anggota BPJS atau sistem tak mendeteksi pemalsuan data seperti yang dialami Usman di Deli Serdang.
Menurut Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakrulloh, kekacauan data itu terjadi karena DTKS dari Kementerian Sosial tak lengkap. Sebanyak 99 juta nama hanya berupa tanggal lahir atau cuma nama panggilan sehingga datanya sulit disatukan dengan NIK. “Sudah kami kembalikan data itu ke Kementerian Sosial agar diverifikasi ulang,” kata Zudan.
Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin disebutkan kementerian seharusnya memverifikasi data rakyat miskin secara berkala sekurang-kurangnya dua tahun sekali. Verifikasi dan validasi dilakukan oleh desa, kelurahan, dan kecamatan, lalu diserahkan kepada bupati atau wali kota, yang diteruskan ke gubernur, baru kemudian diserahkan ke menteri. Menteri Sosial kemudian menetapkan data tersebut sebagai dasar pemberian bantuan.
Terawan Agus Putranto. TEMPO/M Taufan Rengganis
Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial Hartono Laras mengatakan pembersihan data penduduk sedang berlangsung dengan melibatkan pemerintah kabupaten dan kota. “Sudah 92 persen,” ucapnya. Dari 514 pemerintah kabupaten dan kota, kata dia, hanya 60 daerah yang verifikasinya belum optimal karena anggaran untuk verifikasi dan validasi habis.
Komisi Pemberantasan Korupsi, yang meneliti kekacauan data ini, menemukan masih ada sekitar 24 juta data penerima PBI yang bermasalah dari 40-an juta nama yang sudah terdaftar sebagai anggota BPJS. Akibatnya, menurut Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan, ada potensi pemborosan anggaran BPJS yang membuat lembaga ini selalu mengalami defisit sejak didirikan pada 2014.
Akibat defisit itu, pemerintah hendak menaikkan tarif iuran hampir 100 persen di segmen pekerja informal dan bukan penerima upah menjadi Rp 160 ribu per bulan untuk kelas I, Rp 110 ribu untuk kelas II, dan Rp 42 ribu untuk kelas III. Namun Mahkamah Agung membatalkannya pada April lalu. Sebulan kemudian, pemerintah menaikkan kembali tarifnya dengan mengurangi Rp 10 ribu untuk kelas I dan II serta menambah subsidi buat kelas III sehingga beban peserta hanya Rp 25 ribu.
Masalahnya, kendati kelas I dan II paling besar klaimnya dibanding iuran yang disetorkan, di kelas orang miskin, yang seluruhnya ditanggung negara, anggaran juga bocor besar. KPK menghitung, dari tarif Rp 42 ribu untuk 24 juta nama yang bermasalah saja potensi kebocoran mencapai Rp 12 triliun. Angka ini hampir separuh tunggakan kelas I dan II di segmen pekerja informal sebesar Rp 7,3 triliun.
Menurut Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar, data bermasalah itu membuat bantuan BPJS tidak tepat sasaran. Dari verifikasi sederhana untuk kelas peserta yang mendapat subsidi pemerintah, ditemukan banyak peserta yang sebenarnya lebih layak masuk kelas peserta mandiri, yang membayar penuh iuran. Artinya, banyak dari penerima PBI adalah kelas menengah yang mampu membayar iuran BPJS.
Dalam rekomendasi kepada Presiden Joko Widodo pada 30 Maret lalu, KPK meminta pemerintah membereskan kekacauan data ini agar defisit BPJS bisa direm. Rekomendasi itu juga dibuat KPK agar pemerintah membatalkan kenaikan tarif karena problem defisit bukan lantaran tunggakan peserta pekerja informal, melainkan adanya pemborosan dan tak efisiennya skema asuransi.
Rekomendasi utama KPK kepada Presiden adalah segera memerintahkan Menteri Kesehatan menerbitkan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK). Dari 74 PNPK, selama enam tahun Kementerian Kesehatan baru menyelesaikan 40. PNPK menjadi standar BPJS dalam membayar klaim rumah sakit dan rujukan dokter dalam menangani pasien. Ketiadaan PNPK, menurut KPK, membuat BPJS membayar tagihan untuk tindakan tak perlu (unnecessary treatment).
Nilainya besar. Tahun lalu, dengan nilai klaim Rp 109 triliun, BPJS membayar tindakan tak perlu itu sebesar 5-10 persen. Ketiadaan PNPK juga membuat rumah sakit dan dokter memanipulasi tagihan untuk mendapatkan bayaran besar dengan cara mengubah diagnosis atau menaikkan layanan yang lebih tinggi dari kelas pasien seharusnya. Kebocoran paling banyak dari kecurangan ini ada di kelas I dan II pekerja informal dan bukan penerima upah—mereka yang membayar penuh iurannya.
Segmen ini lebih banyak diisi kelas menengah. Namun mereka selalu menunggak pembayaran. Dari tunggakan Rp 7,3 triliun pada tahun lalu, iuran yang masuk dari segmen ini hanya Rp 12,4 triliun, sementara klaim kepada BPJS mencapai Rp 39,8 triliun. Pembengkakan itu akibat tindakan medis lebih tinggi dari kelas peserta karena penyakit yang diobati kategori katastropik, seperti penyakit jantung, kanker paru-paru, dan stroke. Penyakit-penyakit ini umumnya disebabkan oleh gaya hidup tidak sehat, seperti merokok. Tahun lalu klaim pengobatan penyakit katastropik mencapai Rp 20,28 triliun.
Menurut Direktur Utama BPJS Fachmi Idris, sistem jaminan kesehatan nasional bersifat universal dan wajib. Setiap penduduk Indonesia harus menjadi anggota BPJS untuk mendapat layanan kesehatan dasar. Peserta dibagi dalam lima kelas: orang miskin, yang iuran seluruhnya ditanggung negara sebesar Rp 42 ribu sebulan; pegawai negeri, tentara, polisi, yang iurannya menggunakan skema 3:2 (3 persen ditanggung pemerintah sebagai pemberi kerja); dan pegawai swasta, yang iurannya dipotong 5 persen dari gaji (1 persen dari karyawan); serta segmen pekerja informal dan bukan penerima upah. Segmen terakhir ini dibagi tiga kelas dengan kelas III yang disubsidi pemerintah sebesar Rp 16.500 dari tarif Rp 42 ribu.
Meski hanya layanan kesehatan dasar, BPJS menanggung hampir semua penyakit yang tercatat. Ada 144 jenis penyakit yang penanganannya bisa diklaimkan ke BPJS tanpa membedakan sebab-sebabnya. Mereka yang hidup penuh risiko punya hak sama mendapat layanan kesehatan dengan mereka yang hidup tertib dan melakukan pola hidup sehat. “Skemanya gotong-royong,” tutur Fachmi. “Yang sehat membantu yang sakit, yang kaya menolong yang miskin, dan orang muda membantu yang tua.”
Selain merugikan BPJS karena mesti membayar klaim dari tindakan tak perlu, ketiadaan PNPK merugikan pasien. Cici Sutarsih, warga Tangerang, Banten, harus kehilangan mata kanan akibat operasi katarak di Rumah Sakit Mulya, Tangerang, tahun lalu. “Sebetulnya tak perlu operasi karena mata ibu saya masih bisa melihat,” kata Undang Tahayudin, anak Cici Sutarsih.
Dokter mata di Rumah Sakit Mulya, Tangerang, tempat Cici berobat pertama, merujuknya ke RSCM karena menemukan perdarahan dan kerusakan jaringan sel mata yang mengancam otak. Mendapat rujukan seperti itu, dokter di RSCM lalu mengambil bola mata Cici. Kini perempuan itu memasangkan bola mata palsu di kelopak kanannya yang kopong.
Padahal pedoman penanganan katarak sudah ada. PNPK menyebutkan, jika derajat katarak masih dikategorikan ringan, mata masih bisa melihat, dokter cukup mengobati dan tak perlu mengoperasinya. “Ada PNPK saja unnecessary treatment masih besar,” ujar Pahala Nainggolan. “Bayangkan klaim penyakit lain yang belum diatur PNPK.”
PNPK Katarak terbit pada 2018. Menteri Kesehatan 2014-2019 Nila F. Moeloek mengatakan PNPK diatur melalui peraturan Menteri Kesehatan yang disahkan Menteri Kesehatan. “Prosesnya panjang dan melibatkan multiprofesi,” ucapnya.
Satu PNPK, kata Nila, memerlukan empat-lima kali pertemuan dengan asosiasi profesi dokter. Pembahasan pedoman sebuah penyakit melibatkan banyak asosiasi dokter spesialis karena membutuhkan banyak pertimbangan lantaran penanganan penyakit lintas spesialis. Setelah mendapat pengakuan Menteri Kesehatan pun asosiasi dokter masih harus menelaah pedoman tersebut sebelum diberlakukan.
Karena itu, menurut Nila, baru separuh PNPK yang terbit selama ia menjabat menteri. Dua tahun lalu, BPJS berinisiatif menerbitkan aturan semacam PNPK agar tindakan dokter punya dasar untuk mempermudah kategori pembayaran klaim. “Tapi digugat ke MK (Mahkamah Konstitusi) karena kami tidak berhak membuat aturan semacam itu,” ujar Fachmi Idris.
Keruwetan itu yang membuat biaya tagihan membengkak. Rumah sakit bisa leluasa menangani pasien dengan memilih tindakan paling mahal dalam klaim sebuah penyakit. Apa yang dilakukan Rumah Sakit Mulya, Tangerang, kepada Cici Sutarsih adalah salah satu contohnya. Kepala Humas dan Marketing Rumah Sakit Mulya, Ade Suhendi, menolak menjelaskan kasus Cici. “Kami sedang berfokus menangani Covid,” katanya.
Kekacauan penanganan pasien paling banyak ada di persalinan. Pada 2019, operasi caesar menempati klaim paling tinggi dalam pembayaran tagihan melahirkan sebesar Rp 3,9 triliun dengan total tindakan sebanyak 724.502 kali. Sementara itu, persalinan normal sebanyak 515.626 kali dengan klaim sebesar Rp 953 miliar. Rumah sakit lebih senang melakukan bedah caesar dalam persalinan karena ongkosnya paling mahal, Rp 5-7 juta, dibanding melahirkan secara normal yang hanya Rp 600 ribu.
Penyakit yang belum memiliki PNPK lebih gawat lagi. KPK, menurut Pahala, menemukan kasus ada seorang pasien yang tercatat memanfaatkan layanan rehabilitasi klinik sebanyak 29 kali dalam sebulan. Tentu saja layanan itu akal-akalan rumah sakit belaka. KPK menduga laporan klaim itu fiktif. Rumah sakit bisa melakukannya dan BPJS terus membayar klaimnya karena PNPK rehabilitasi medik belum ada.
Upaya KPK mendorong Kementerian Kesehatan segera membuat PNPK makin sulit ketika Nila Moeloek lengser dan diganti Terawan Agus Putranto pada Oktober 2019. Sebulan setelah Terawan dilantik menjadi menteri, KPK menemui dokter tentara yang terkenal karena menciptakan metode tembak pembuluh darah untuk pasien stroke ini agar segera menyusun PNPK untuk puluhan penyakit lain. “PNPK itu apa?” ujar Pahala, menirukan Terawan.
Menurut Pahala, Terawan cenderung menolak sistem BPJS yang berlaku dalam undang-undang. Menurut dia, BPJS Kesehatan seharusnya hanya melayani kesehatan dasar, tak semua pengobatan penyakit harus ditanggung negara. Karena itu, Terawan menganggap PNPK tak diperlukan. Perselisihan klaim antara BPJS dan rumah sakit, menurut dia, bisa diselesaikan oleh Direktur Utama BPJS dengan menerbitkan memo agar tak membayar tagihan tersebut.
Terawan tak bisa dimintai komentar soal ini. Ia menunda wawancara hingga waktu yang tak jelas. “Permohonan wawancara sudah disampaikan dan pimpinan menghendaki di-pending,” ucap Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan Widyawati. Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Oscar Primadi mengatakan sudah banyak PNPK yang diterbitkan Kementerian dan menjadi rujukan dokter dalam menangani penyakit. Kini, kata Oscar, ada 14 PNPK yang tengah disusun.
Menurut Pahala, Menteri Terawan juga tak terdengar melanjutkan evaluasi terhadap 898 rumah sakit yang diduga menaikkan kelas untuk mendapatkan klaim lebih besar. Padahal evaluasi ini penting karena, dalam perhitungan KPK, ada Rp 6 triliun anggaran mubazir yang dibayarkan BPJS untuk 898 rumah sakit yang mengklaim pembayaran dengan kelas lebih tinggi dari yang semestinya.
Di zaman Nila Moeloek, evaluasi terhadap ratusan rumah sakit yang menaikkan tarif rutin ia lakukan. Hasilnya, 615 rumah sakit terdeteksi menaikkan kelas. Dari jumlah itu, 109 rumah sakit tak menyanggah permintaan Kementerian Kesehatan, dan hanya 85 rumah sakit yang mengajukan protes, yang masih diberikan kesempatan memperbaiki diri. Menurut Fachmi Idris, urusan kelas rumah sakit menjadi kewenangan kepala daerah dan Kementerian Kesehatan. “Soal ini kami serahkan kepada Kementerian Kesehatan,” ujarnya.
Menteri Kesehatan periode 2014-2019 Nila Djuwita F Moeloek (kiri) dan Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Fachmi Idris melakukan konferensi pers terkait dengan pelayanan rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan di Kemenkes RI, Jakarta, Senin, 7 Januari 2019. TEMPO/Subekti
Bolong lain sistem asuransi kesehatan nasional yang membuat BPJS tekor ada pada sistem kepesertaan. Jumlah peserta BPJS per Februari 2020 sebanyak 223 juta jiwa atau 85 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Fachmi mengakui kolektabilitas belum maksimal karena BPJS belum mau menerapkan sanksi pengurangan pelayanan umum bagi mereka yang belum atau tidak mau menjadi peserta BPJS, sehingga tak ada paksaan agar masyarakat menjadi anggotanya.
Badan Pemeriksa Keuangan, melalui uji petik, menemukan bahwa banyak peserta iuran PBI yang seharusnya berpindah ke segmen penerima upah karena mereka sudah bekerja sehingga wajib dipotong 1 persen dari gaji dan 4 persen sisanya dibayar perusahaan. Menurut anggota BPK, Harry Azhar Azis, dari 18 orang peserta yang ditemukan para auditor di satu daerah, seharusnya mereka menyumbang Rp 2 juta per bulan kepada BPJS karena pindah segmen. “Bayangkan jika seluruh Indonesia,” tuturnya. “Kepesertaan ini dinamis.”
Ada juga karena kenakalan perusahaan yang tak mendaftarkan karyawan lama ataupun baru menjadi peserta BPJS. Menurut laporan BPJS Kesehatan sampai Februari 2020, ada 9.643 badan usaha yang tidak menyampaikan data perseroan dengan lengkap dan benar. “Banyak badan usaha tak melaporkan penghasilan karyawan dengan benar,” ucap Fachmi.
Inefisiensi di kantor BPJS, seperti kelebihan pembayaran tagihan telepon, pengadaan kendaraan dinas cadangan, dan iklan yang tidak efektif, adalah bocor lain yang membuat defisit. BPK menghitung inefisiensi di BPJS ini sebesar Rp 1 triliun. Meski begitu, meski defisit berulang tiap tahun, BPK menemukan insentif untuk direksi tetap berjalan. Tahun 2017 nilainya Rp 285,2 miliar. “Tak ada sama sekali sense of crisis,” kata Timboel Siregar.
Jika semua kebocoran itu dibereskan, menurut Timboel, tarif tak perlu naik. Ia memprediksi kebijakan tarif melalui Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 itu akan makin membuat defisit BPJS menganga karena peserta makin kesulitan keuangan akibat pandemi virus corona. Timboel memprediksi 60 persen peserta mandiri akan berhenti membayar iuran dan hengkang dari keanggotaan BPJS kendati kini aturan baru menerapkan sanksi pengurangan pelayanan umum.
TIM INVESTIGASI
Kepala Proyek: Dini Pramita
Penanggung Jawab: Bagja Hidayat
Penulis: Dini Pramita, Agung Sedayu, Erwan Hermawan
Penyumbang Bahan: Dini Pramita (Jakarta, Klaten), Agung Sedayu, Erwan Hermawan, Mei Leandha Rosyanti (Medan), Nurhadi (Sidoarjo), Joniansyah (Tangerang), Abdi Purmono (Malang)
Penyunting Bahasa: Hardian Putra Pratama, Iyan Bastian
Desainer: Djunaedi
Liputan ini mendapat dukungan Tempo Institute dan Free Press Unlimited dalam program Investigasi Bersama Tempo.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo