Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Sinyal Bahaya Utang Negara

Pengelolaan utang negara sudah masuk area bahaya. Pembayaran bunga utang menyedot banyak anggaran.

26 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ALARM utang negara telah menyala. Rasio pembayaran utang (debt-to-service ratio) yang telah mencapai 39 persen merupakan tanda keuangan pemerintah berada dalam mode gali lubang tutup lubang. Jika pemerintah mengabaikan tanda bahaya ini, kita bisa sampai pada situasi mengerikan: membuat utang baru untuk membayar bunga dan cicilan, bukan untuk membiayai program ataupun keperluan rutin lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepanjang dua bulan pertama 2024 saja, pemerintah harus merogoh Rp 69 triliun untuk membayar bunga utang. Angka itu naik 37 persen dibanding pada periode yang sama 2023, atau mencapai rekor tertinggi dalam lima tahun terakhir. Sebagai pembanding, pembayaran bunga utang pada periode yang sama 2023 sebesar Rp 50,3 triliun. Peningkatan pembayaran bunga terjadi karena utang negara terus membengkak. Per Desember 2023, total utang pemerintah Rp 8.145 triliun. Adapun per Februari tercatat Rp 8.319,22 triliun.

Selama tujuh tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, 2015-2022, rasio beban bunga utang dan cicilan pokok jatuh tempo rata-rata 47,4 persen dari penerimaan pajak setiap tahun. Nilai itu melampaui angka rasio pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 2005-2014, sebesar 32,9 persen. 

Tahun ini, pemerintah mengalokasikan pembayaran bunga utang Rp 497 triliun, jauh di atas anggaran kesehatan sebesar Rp 187,5 triliun. Ini merupakan indikasi negatif karena negara menghabiskan lebih banyak dana untuk membayar bunga utang ketimbang membiayai program kesehatan masyarakat.

Data Debt Service Watch yang diluncurkan Development Finance International (DFI) memasukkan Indonesia, bersama sejumlah negara selatan dunia, ke dalam daftar merah karena angka rasio pembayaran utangnya mencapai 36,16 persen. 

Masalahnya, pemerintah menggunakan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) sebagai parameter utama. Bila mengacu pada indikator ini, hingga Maret 2024, posisi utang pemerintah terhadap PDB masih 38,8 persen, lebih rendah atau lebih baik ketimbang Jepang yang rasio utang terhadap PDB-nya mencapai 264 persen; Amerika Serikat (129 persen); atau negara-negara ASEAN, seperti Thailand, Filipina, dan Malaysia yang berkisar 60 persen. 

Semestinya pemerintah tak memakai rasio utang terhadap PDB sebagai patokan dalam membuat kebijakan pinjaman. Sebab, parameter ini kurang akurat dalam mencerminkan posisi utang kita. Rasio utang terhadap PDB memberikan rasa aman palsu.

Sinyal kuning pengelolaan utang pernah disentil Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Hasil Reviu atas Kesinambungan Fiskal Tahun 2020. BPK menyebutkan tiga indikator kerentanan utang yang telah melampaui ambang batas rekomendasi IMF. Ketiganya adalah rasio pembayaran utang terhadap penerimaan negara (debt service-to-revenue), rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan negara (interest-to-revenue), dan rasio utang terhadap penerimaan negara (debt-to-revenue).

BPK menemukan rasio pembayaran utang terhadap penerimaan negara pada masa pemerintahan Jokowi berada di rentang 25,35-46,77 persen. Angka itu telah melampaui ambang batas yang ditetapkan IMF sebesar 35 persen. Rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan negara juga menunjukkan kenaikan yang konsisten.

Pada 2015, angkanya 10,35 persen, sedangkan pada 2020 melonjak menjadi 19,06 persen, jauh di atas ambang batas yang ditetapkan IMF, yakni 10 persen. Begitu pula tren rasio utang terhadap penerimaan negara yang terus naik. Pada 2015-2020, angkanya berada pada rentang 210-369 persen, melebihi ambang batas yang ditetapkan IMF sebesar 92-167 persen.

Tren kenaikan rasio pembayaran utang terhadap penerimaan negara menunjukkan saldo utang melonjak lebih cepat ketimbang pertumbuhan penerimaan negara. Makin tinggi angkanya, makin besar porsi penerimaan negara untuk membayar utang pada masa depan. Nasihat BPK empat tahun lalu seolah-olah masuk telinga kanan pemerintah, lalu keluar telinga kiri saat itu juga.

Kesalahan pemerintah berikutnya: gencar menerbitkan surat utang negara dengan imbal hasil tinggi. Akibatnya, pasar menganggap investasi di Indonesia berisiko lebih besar ketimbang negara berkembang lain sehingga pemilik modal menuntut bunga lebih tinggi. Imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia berjangka 10 tahun, misalnya, mencapai 7,2 persen. Bandingkan dengan yield obligasi pemerintah Vietnam bertenor 10 tahun yang cuma 2,85 persen. 

Rentetan kekisruhan mengelola utang itu menuntun kita ke tubir jebakan utang. Negara bisa betul-betul terjerumus jika pemerintah terus berkeyakinan bahwa situasi masih aman sehingga semena-mena mendatangkan utang baru. Apalagi bila utang tersebut dipakai untuk membiayai proyek mercusuar, seperti pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara ataupun belanja alat utama sistem persenjataan. Atau juga kelak: program makan siang gratis yang bisa membuat anggaran jebol. 

Dengan beban utang yang terus membengkak, pemerintah mesti menyetop program-program yang tidak mendesak dan tak logis.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus