Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah membentuk induk holding gula bernama SugarCo.
Korporasi ini akan mengelola tujuh PTPN dan 35 pabrik gula.
Apakah kebijakan ini akan membuat pabrik gula BUMN menjadi efisien?
Khudori
Pegiat Komite Pendayagunaan Petani dan penulis buku Ekonomi Politik Industri Gula Rafinasi: Kontestasi Pemerintah, Importir, Pabrik Gula, dan Petani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Negara BUMN Erick Thohir tengah merestrukturisasi badan usaha milik negara (BUMN) secara besar-besaran. Salah satu sasarannya adalah BUMN yang bergerak di bisnis gula di bawah PT Perkebunan Nusantara (PTPN). Menteri Erick telah mengumumkan pembentukan perusahaan induk holding gula bernama PT Sinergi Gula Nusantara alias SugarCo. Korporasi ini akan mengelola bisnis gula dari tujuh PTPN dan menyatukan 35 pabrik gula.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Direktur Utama Holding PTPN III, Muh. Abdul Ghani, pembentukan SugarCo memerlukan investasi Rp 20 triliun. Setelah SugarCo memperoleh inbreng atau penyerahan saham 35 pabrik gula dari pemerintah, akan ada divestasi saham sebesar 49 persen untuk investor baru. Total nilai aset pabrik gula ini mencapai Rp 17 triliun. Sebetulnya, aset seluruhnya adalah 43 pabrik gula dengan kapasitas 116 ton tebu per hari. Tapi delapan pabrik tidak beroperasi. SugarCo juga memiliki aset lahan di berbagai daerah seluas 55 ribu hektare.
Saat ini proses valuasi dan uji tuntas pada calon investor tengah berjalan. Untuk menjadi investor, pemerintah memasang syarat: pemain di industri gula memiliki akses teknologi dan pendanaan serta punya jaringan hingga ke luar negeri. Jika berjalan mulus, suntikan dana segar itu akan digunakan untuk membangun lima pabrik gula dan merevitalisasi satu pabrik. Semua proses ini ditargetkan selesai pada akhir tahun ini.
Pembentukan SugarCo merupakan langkah maju dan bahkan berani. Selama ini, pelbagai upaya ditempuh untuk merestrukturisasi pabrik gula BUMN, terutama melalui revitalisasi. Meski dilakukan sejak awal reformasi, hasilnya belum tampak. Akibatnya, struktur industri pergulaan, terutama gula konsumsi, tidak berubah. Pabrik gula BUMN, yang sebagian besar tak efisien, versus pabrik gula swasta yang kompetitif. Inefisiensi ini terjadi karena pabrik gula BUMN miskin inovasi, teknologi absolete, berumur tua, dan berkapasitas giling kecil.
Akibat mesin tua, kinerja pabrik gula BUMN tidak optimal. Mesinnya bocor dan nira tebu banyak yang tidak terproses menjadi gula. Secara teoretis rendemen bisa mencapai 14-15 persen apabila prinsip efisiensi dilakukan dengan baik. Karena pabrik gula sudah tua, rendemen yang diraih hanya 6-7 persen, jauh di bawah capaian rendemen di era 1930-an yang 11-13 persen. Selain itu, inefisiensi ini disumbang oleh fakta lain, yakni hanya 10 persen pabrik gula BUMN yang punya lahan sendiri. Sisanya mengandalkan bahan baku tebu dari petani mitra.
Ini membuat usaha tani terpisah dari penggilingan. Keputusan menanam, seperti waktu tanam, varietas, pemupukan, dan pemeliharaan, berada di tangan petani, yang jumlahnya banyak serta dengan keterampilan dan modal beragam. Pabrik gula BUMN sulit mengatur jadwal tebang, angkut, dan giling. Kerumitan ini membuat pabrik sulit meningkatkan efisiensi, produktivitas tebu, dan rendemen gula. Kendala-kendala semacam ini tidak ditemukan pada pabrik gula swasta. Selain itu, produk utama pabrik gula BUMN adalah gula. Sedangkan pabrik gula swasta beragam.
Pembentukan SugarCo merupakan langkah progresif untuk merestrukturisasi industri gula domestik agar berdaya saing. Harapannya, jika daya saing reinkarnasi pabrik gula BUMN ini naik, pasar gula secara bertahap bisa disehatkan. Saat ini, karena produk gula pabrik gula BUMN kalah bersaing dengan swasta, pemerintah memberikan proteksi. Salah satunya dalam bentuk harga eceran tertinggi (HET) sebesar Rp 12.500 per kilogram gula. Di satu sisi, cara ini menjamin pabrik gula BUMN tetap hidup. Di sisi lain, langkah ini memberikan keuntungan luar biasa (windfall profit) kepada pabrik gula swasta dan membebani konsumen dengan harga tinggi.
Namun pembentukan SugarCo juga menyisakan sejumlah pertanyaan krusial. Pertama, dalam restrukturisasi ini, pemerintah tidak mengikutsertakan pabrik gula di bawah PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI). Saat ini, RNI menjadi holding BUMN kluster pangan. Mengecualikan RNI dalam pembentukan SugarCo membuat restrukturisasi tak tuntas dan bahkan menimbulkan pertanyaan: mengapa demikian. Kedua, haruskah menargetkan swasembada gula berbasis tebu? Menurut pemerintah, tujuan pembentukan SugarCo, salah satunya, untuk mencapai swasembada gula tebu pada 2025 dengan produksi 2 juta ton dari 0,8 juta ton saat ini.
Selama bertahun-tahun, produksi gula konsumsi domestik tak bergerak dari 2,1-2,4 juta ton dari kebutuhan sekitar 3 juta ton. Jika SugarCo bisa memproduksi 2 juta ton, kebutuhan gula konsumsi bisa dipenuhi dari produksi domestik. Masalahnya, di dunia saat ini tengah berlangsung gelombang mengurangi konsumsi gula. Hal ini dimanifestasikan dalam bentuk cukai minuman berpemanis. Gula diyakini sebagai biang diabetes dan obesitas, sehingga setidaknya 45 negara sudah memberlakukan pajak minuman berpemanis. Di ASEAN, Brunei, Malaysia, Thailand, Filipina, Singapura, Laos, dan Kamboja sudah menerapkannya.
Pemerintah sebenarnya sempat berencana mengutip cukai minuman berpemanis. Tapi rencana itu redup karena ditolak sejumlah pihak, terutama produsen minuman. Alasannya, kebijakan itu akan memukul produsen minuman, merugikan konsumen miskin, dan belum ada kajian ilmiah mengenai kaitan minuman berpemanis dengan obesitas dan diabetes. Bourke dan Veerman (2018) memprediksi, dalam 25 tahun ke depan, jika ada cukai gula, warga miskin membayar cukai US$ 0,5 miliar, lebih rendah dibanding yang kaya (US$ 15,1 miliar). Cukai mencegah lebih dari 1 juta kasus diabetes. Cukai juga diyakini akan menurunkan klaim BPJS Kesehatan untuk diabetes, yang saat ini memakan sepertiga pengeluaran lembaga tersebut.
Ketiga, swasembada gula berbasis tebu mustahil dicapai tanpa penambahan lahan baru. Dengan menguasai 55 ribu hektare lahan, amat tidak memadai bagi SugarCo untuk mengejar produksi 2 juta ton gula. Memang ada rencana mengkonversi lahan karet dan kakao milik PTPN menjadi lahan tebu. Tapi apakah tanahnya cocok dan lokasinya terkonsolidasi di satu hamparan? Di luar itu, bisa saja SugarCo tetap bermitra dengan petani. Masalahnya, jika tidak ada jaminan untung kala menanam tebu, akan sulit mengharapkan petani menanam tebu.
Dalam konteks inilah melirik potensi gula non-tebu menjadi relevan. Salah satu yang potensial adalah gula dari nira kelapa sawit. Dari 16,38 juta hektare lahan sawit saat ini, dengan asumsi siklus pertanaman 25 tahun, berarti tiap tahun ada 0,65 juta hektare yang harus diremajakan. Dari pohon sawit yang dirobohkan, tiap hari bisa menghasilkan 5-10 liter nira per pohon selama dua bulan. Dengan 330 pohon per hektare, berarti ada potensi 64,87 juta liter nira per tahun, yang setara dengan 12,87 juta ton gula merah. Kebutuhan gula konsumsi dan industri kita cuma 6 juta ton. Potensi ini belum banyak dilirik dan diteliti. Maukah SugarCo?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo