Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bob Lowry
Kolonel purnawirawan angkatan darat Australia, Penulis buku The Armed Forces of Indonesia dan tamatan Seskoad 1983-84
BERPISAHNYA Timor Timur dari Indonesia dan peran Australia dalam proses tersebut telah mencuatkan ketegangan antara Jakarta dan Canberra. Bahkan telah terdengar tudingan bahwa kejadian ini merupakan bagian dari persekongkolan terselubung untuk memecah belah Indonesia. Menurut teori konspirasi ini, terpisahnya Timor Timur merupakan awal yang selanjutkan akan diikuti oleh wilayah Papua, Aceh, dan seterusnya. Sejauh manakah kebenaran tudingan ini dan apa keuntungannya bagi Australia?
Pemerintah Australia telah berkali-kali menyatakan keinginannya untuk melihat Indonesia yang aman, makmur, dan bersatu dalam sistem pemerintahan yang demokratis. Sudah bertahun-tahun Canberra berupaya meningkatkan hubungan kerja sama dengan Jakarta di berbagai bidang. Seharusnya, dengan terjadinya transisi menuju demokrasi di Indonesia dan tuntasnya masalah Timor Timur, tidak ada alasan lagi untuk menghambat semakin eratnya hubungan kedua negara. Adalah suatu hal yang mustahil bahwa di masa depan tak akan ada lagi perbedaan pendapat antara dua pemerintahan bertetangga ini. Namun, yang lebih penting, sudah tak ada lagi perbedaan pokok yang menghalangi persahabatan kedua bangsa. Pemerintah Australia telah lama mengakui berlakunya wilayah Indonesia atas dasar bekas jajahan Belanda, termasuk Papua. Kendati demikian, tidak berarti pemerintah Australia berwenang melarang atau membungkam warga negaranya yang mendukung gerakan Papua Merdeka, selama mereka tidak melanggar hukum. Sikap ini terbukti dengan telah diajukannya ke pengadilan Australiabeberapa kaliorang-orang yang berupaya menyelundupkan senjata api dari Australia ke Papua. Tidak seperti kasus Timor Timur, legitimasi Papua sebagai wilayah kedaulatan Indonesia diakui dunia internasional, termasuk PBB. Selain itu, tidak seperti dituduhkan sebagian kalangan, pemerintah Australia tak pernah mengubah pengakuan atas kedaulatan Indonesia di Timor Timur sebelum jajak pendapat diberlakukan di Bumi Loro Sa'e, melainkan terbatas pada menyarankan suatu jalan keluar dari masalah internasional di wilayah itu. Adalah pemerintah Indonesia yang membuat perjanjian dengan PBB dan Portugal untuk mengadakan jajak pendapat tersebut. Pemerintah Indonesia pula yang mengundang pasukan internasional di bawah naungan PBB untuk masuk Timor Timur setelah hasil pengumpulan pendapat diumumkan dan Polri serta TNI gagal memenuhi tanggung jawabnya sesuai dengan perjanjian tripartit Indonesia, PBB, dan Portugal. Dari segi kepentingan pertahanan dan keamanan Australia, adalah lebih baik jika di bagian utaranya terdapat negara yang makmur, stabil, dan mampu mempertahankan serta mengamankan wilayahnya sendiri. Dengan demikian, ancaman terhadap Australia yang berasal dari para pelanggar hukum maupun kekuatan militer dari negara lain dapat dikurangi. Bahkan, kemampuan pertahanan dan keamanan kedua negara dapat diperkuat melalui kerja sama di bidang tersebut. Sebaliknya, jika Indonesia terpecah menjadi beberapa negara merdeka baru, jelas itu akan menimbulkan ketidakpastian bagi keamanan Australia. Sebab, perpecahbelahan itu pasti akan diikuti oleh sengketa bersenjata yang berkepanjangan di antara negara-negara baru. Juga dapat dipastikan negara yang baru muncul itu tak akan mampu mempertahankan dan mengamankan wilayahnya dari kegiatan bajak laut, terutama di kawasan yang kaya sumber daya alam. Ini berarti kegiatan usaha dan penanaman modal Australia di kawasan itu terancam lenyap. Kendati jumlahnya tidak terlalu besar, kehilangan itu akan dirasakan di Australia. Juga peluang bisnis yang terbuka lebar dalam pertumbuhan perekonomian Indonesia yang aman dan bersatu akan hilang bila terjadi proses disintegrasi di Indonesia. Sangkaan bahwa gerakan kemerdekaan Papua akan mendapat dukungan Australia karena faktor solidaritas agama juga tak beralasan. Kebanyakan warga Australia adalah penganut agama Kristen KTP saja. Sebagai negara yang penduduknya berasal dari lebih dari seratus negara dan menganut beragam agama termasuk Islam, Hindu, dan Buddha, pemerintah Australia tak punya pilihan kecuali menumbuhkan rasa saling hormat di antara keanekaragaman budaya dan agama itu. Pasti ada segelintir orang yang sulit menerima kebijakan ini tapi tetap harus menaati berlakunya undang-undang yang melarang diskriminasi serta penghasutan atas dasar kebencian terhadap golongan ataupun kepercayaan yang berbeda. Itu sebabnya tidak mungkin timbul gerakan massal yang menuntut pemerintah Australia mendukung gerakan kemerdekaan di Papua atas dasar kesamaan agama. Kendati demikian, tak ada larangan bagi setiap warga maupun kelompok Kristen yang ingin mendukung gerakan orang Papua secara damai. Agaknya, inilah ciri era global saat ini yang diwarnai oleh munculnya perbedaan antara kepentingan pemerintah dan aspirasi masyarakatnya. Tak ada pilihan lain bagi kedua negara selain menerima kenyataan tersebut dan menyesuaikan hubungan bilateralnya untuk meminimalkan dampak perbedaan aspirasi masyarakatnya itu. Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |