Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Rektor Universitas Lampung Karomani terkena operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Karomani diduga menerima suap dengan total nilai Rp 5 miliar dari para orang tua calon mahasiswa baru yang ingin lulus seleksi masuk jalur mandiri.
Pengawasan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi lemah.
PENANGKAPAN Rektor Unila atau Universitas Lampung Karomani karena kedapatan menerima suap dari calon mahasiswa baru makin menegaskan rusaknya sistem pendidikan tinggi kita. Kampus yang sejatinya berfungsi sebagai wadah pendidikan calon pemimpin dan pusat pengembangan ilmu pengetahuan telah bersalin rupa menjadi tempat korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karomani tertangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi karena menerima suap Rp 5 miliar pada Jumat, 19 Agustus lalu. Dia bersama empat bawahan memungut masing-masing Rp 100 juta hingga Rp 350 juta dari sejumlah orang tua mahasiswa baru yang ingin lulus lewat jalur mandiri tahun ini. Seperti organisasi mafia, Karomani memakai jejaring dalam memperdagangkan kursi mahasiswa baru dan menyembunyikan duit haram dalam bentuk deposito dan emas batangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Praktik suap Rektor Unila ini merupakan buah lemahnya pengawasan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi selaku penanggung jawab penyelenggaraan pendidikan tinggi. Tanggung jawab tersebut mencakup pengaturan, perencanaan, pengawasan, dan evaluasi serta pembinaan dan koordinasi. Pada tingkat perguruan tinggi, pengelolaan bidang nonakademik diawasi Satuan Pengawas Internal.
Di Universitas Lampung, Satuan Pengawas Internal tidak bekerja sama sekali. Terbukti Karomani leluasa menerima suap dari jual-beli kursi, dan mengangkangi amanat Undang-Undang Pendidikan Tinggi yang menegaskan penerimaan mahasiswa baru merupakan seleksi akademis dan dilarang dikaitkan dengan tujuan komersial.
Jual-beli kursi di perguruan tinggi negeri ditengarai juga terjadi di banyak perguruan tinggi lain. Makin favorit kampus, makin mahal harga kursi dan makin besar pula peluang pengelolanya menyalahgunakan wewenang. Status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH), seperti yang disandang Universitas Lampung, mengizinkan pengelola kampus mencari dana sendiri. Salah satunya dengan jalur mandiri. Status ini kemudian membuka terjadinya praktik lancung penyalahgunaan kewenangan pengelola kampus.
Alih-alih menyiapkan sistem yang baik, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim justru mendorong makin banyak perguruan tinggi negeri mendapat status PTNBH. Lewat program Kampus Merdeka, Kementerian menghapus persyaratan penting, seperti mayoritas program studi harus berakreditasi A. Sekarang kampus negeri bisa mengajukan permohonan status PTNBH kapan saja jika merasa sudah siap.
Padahal berfokus pada kebijakan Kampus Merdeka tidak serta-merta mengendurkan pengawasan pengelolaan pendidikan tinggi menjadi lemah dan memberikan kewenangan superbesar kepada rektor. Namun, bagi Nadiem, pengawasan tidak terlalu menjadi prioritas. Terbukti, sejak 2019, Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencanangkan perubahan paradigma dalam tata kelola pendidikan tinggi, yakni dari sebelumnya memperkuat upaya penindakan menjadi lebih meningkatkan pencegahan.
Setelah obral gelar doctor honoris causa dan guru besar kehormatan kepada politikus, pejabat negara, dan pengusaha, kursi untuk calon mahasiswa meraih gelar sarjana pun diperdagangkan di dalam tembok besar bernama kampus. Komersialisasi membuat kampus kehilangan integritas dan tidak lagi berpihak kepada masyarakat, melainkan hanya mereka yang berduit.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo