Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rendahnya jumlah kasus positif Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) di permukiman padat Jakarta jangan sampai membuat pemerintah dan warga setempat lengah. Sekali menyebar, virus corona tak pernah pandang bulu atau memilih-milih korban berdasarkan kelas sosial-ekonominya. Siapa pun bisa terkena serangan virus mematikan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan pemetaan sebaran Covid-19 di Ibu Kota, di Kelurahan Sunter Agung, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara, misalnya, tercatat adanya 58 kasus positif Covid-19. Pada 2019, kepadatan penduduk di kelurahan ini adalah 12,5 ribu jiwa per kilometer persegi. Bandingkan dengan Kelurahan Kali Anyar, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Di wilayah dengan kepadatan penduduk 95,6 ribu jiwa per kilometer persegi ini baru tercatat adanya 2 kasus positif Covid-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan data yang sangat kontras ini, tentu tak bisa disimpulkan bahwa penduduk di kawasan padat kebal serangan corona. Penjelasan yang lebih masuk akal, penduduk di kawasan kumuh dan padat boleh jadi sudah banyak yang terjangkit Covid-19, tapi kesempatan mereka untuk memeriksakan kesehatan tidak seleluasa penduduk di permukiman kelas menengah ke atas.
Pemerintah seharusnya menganggap kesenjangan kasus ini sebagai alarm tentang rendahnya intensitas pengawasan dan pengetesan massal di kawasan kumuh dan padat Ibu Kota. Sebab, selama ini, prioritas lokasi pengujian cepat Covid-19 di Ibu Kota tak didasari tingkat kepadatan penduduk. Pengujian massal dilakukan berdasarkan penelusuran atas kontak pasien Covid-19 yang, boleh jadi, sebagian besar tinggal di kawasan yang tidak terlalu padat.
Sekali wabah merebak di permukiman padat, pengendaliannya akan sangat sulit. Kampanye menjaga jarak fisik antarwarga di kawasan padat tak akan mudah berjalan. Sirkulasi udara dan sanitasi yang buruk bisa mempercepat penyebaran virus. Permukiman kumuh dan padat pun tak punya fasilitas memadai untuk tempat karantina mandiri bagi penduduknya yang tanpa gejala tapi diduga terjangkit corona.
Pengalaman sejumlah negara seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah kita. Pertengahan bulan ini, Singapura mencatat lonjakan tertinggi angka kasus baru Covid-19. Hanya dalam waktu sehari, Negeri Singa mencatatkan adanya 942 penderita baru Covid-19. Sebagian besar di antaranya adalah pekerja migran yang tinggal berdempetan di asrama. Pemerintah Singapura lalu memperketat pemberlakuan circuit breaker atau karantina spasial. Ada sanksi denda bagi pelanggar dengan nilai bervariasi, berkisar Sin$ 300-1.000 , atau setara dengan Rp 3,5-11 juta. Tapi denda selangit itu pun belum terbukti keampuhannya.
Di India, permukiman kumuh dan padat di kota besar, seperti Mumbai, juga menjadi zona merah penyebaran wabah Covid-19. Di Rio de Janeiro, Brasil, wabah corona pun mulai merambah ke wilayah-wilayah miskin yang padat penduduknya. Ketika wabah melanda area padat itu, pemerintah setempat tak punya pilihan selain mengunci rapat-rapat wilayah tersebut dalam pelbagai zona.
Pemerintah Indonesia tak boleh berharap pada keberuntungan bahwa wabah corona tak akan mampir ke permukiman padat di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Sebelum benar-benar terlambat, pemerintah harus memprioritaskan pengawasan dan pengetesan terhadap warga di wilayah itu. Jika tidak, kasus Covid-19 di permukiman padat bisa menjadi bom dengan daya ledak yang kian dahsyat.