Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Teguh Prawiro
Dosen UIN Jakarta dan Ketua Rukun Tetangga Corona
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indonesia memang negeri yang lucu. Bukan hanya masyarakatnya, melainkan juga pemerintahnya. Tepat setelah Presiden Joko Widodo menyampaikan informasi resmi tentang pasien positif corona Covid-19 pertama di Indonesia, mungkin baru kali ini ketua rukun tetangga menjadi rujukan sumber informasi bagi pemerintah di daerah, yang semestinya menjadi kepanjangan tangan pemerintah pusat. Terkesan ada rangkaian sanad informasi Presiden yang terputus, sehingga koordinasi di lapangan terkesan kedodoran dan babak belur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada hari itu, media massa, berbagai macam dinas, hingga tim gegana tumpah ruah di perumahan lokasi tempat tinggal pasien. Warga perumahan dibuat tercekam dan saya yakin sebagian besar masyarakat Indonesia yang mengikuti peristiwa itu merasakan hal yang sama. Seakan-akan kiamat sudah menghampiri kita semua. Dan perumahan kami menjadi awal dari kiamat di Indonesia.
Para pejabat banyak berbicara di hadapan publik, yang mungkin kita tidak pernah tahu signifikansinya atau memang jangan-jangan pernyataan mereka tak ada manfaatnya. Tapi, bagi kami, jelas pernyataan-pernyataan mereka secara langsung berdampak buruk bagi masyarakat yang sudah kadung dianggap potensial terjangkit corona. Sepertinya mereka suka berbicara tentang kami hanya dari kejauhan. Pak Menteri Kesehatan mungkin lupa bahwa pernyataannya tentang pasien corona yang terus bertambah bukan sekadar angka, melainkan manusia yang punya hati dan perasaan. Mereka juga punya keluarga, punya anak-anak kecil yang masih dalam buaian.
Hal serupa dialami oleh pasien pertama positif corona. Tak ada informasi resmi yang menghampirinya, hanya dari media massa yang banyak memberitakan pernyataan Presiden tentangnya. Padahal dampak dari ucapan Presiden semestinya dapat diantisipasi secara nasional, minimal bagi pasien dan anggota keluarganya. Terlebih lagi banyak berita yang berseliweran dan terus-menerus mengabarkan hal yang menyeramkan daripada yang menenteramkan masyarakat. Hanya karena komunikasi yang terus terjalin dengan pasien yang membuat kami lebih tenang menghadapi semua ini.
Masyarakat Indonesia terkenal sebagai masyarakat yang religius. Seperti biasa, semua masalah selalu dikait-kaitkan dengan agama meskipun tak berkaitan. Tak terkecuali corona, yang konon sempat dianggap sebagai "pasukan ilahi". Pendekatan agama yang cenderung naif dan dogmatis sering diterima sebagai solusi ampuh mengatasi corona dan sudah dapat ditebak hasilnya. Kemudian muncul-lah para juru bicara Tuhan yang menawarkan solusi cara Tuhan menghadapi corona. Banyak doa dan japa yang mesti dihafal dan diamalkan untuk menangkal virus ini agar tidak menjadi bumerang bagi mereka yang mengaku religius tersebut.
Agama selalu dianggap sebagai satu-satunya jawaban. Bila tidak segera kita akhiri cara pandang demikian, kita semua akan terus terjebak dalam waham beragama yang menjerumuskan kita dalam lumpur kebodohan dan celaka. Kita mesti berani jujur bahwa agama tidak selalu dapat menjawab setiap masalah, termasuk soal corona. Mari kita sudahi perilaku bodoh kita dalam beragama selama ini. Kita perlu segera melakukan ijtihad agar segera mampu menyelesaikan masalah corona.
Setelah lebih dari seminggu Presiden mengumumkan soal corona, belum tampak ada upaya pemerintah yang mencerdaskan. Saya tidak tahu apakah ini ada hubungannya dengan visi Menteri Pendidikan yang terlalu jenius sehingga tidak segera tampil para ilmuwan dan peneliti untuk memberikan penjelasan yang logis dan ilmiah tentang virus corona.
Tolong, Pak Presiden, beri ruang kepada para ilmuwan dan peneliti seluas-luasnya agar masyarakat melek dan memiliki pengetahuan yang cukup soal virus corona. Jangan jerat mereka dengan beban administrasi akademi yang dapat menumpulkan nalar mereka sebagai ilmuwan dan peneliti. Beri kesempatan bagi mereka untuk berdialektika, menguji setiap argumen yang dihadirkan. Saya yakin bangsa ini tidak kekurangan orang-orang pintar. Tapi saya tidak yakin mereka yang pintar mendapat tempat dan habitat yang semestinya di negeri ini.
Setelah dijejali berita tentang corona yang banyak negatifnya dan protokol penanganan yang menambah ketakutan, akhirnya kami me mbuka ruang dialog dengan peneliti virus yang secara sukarela datang ke perumahan kami. Paparan dan penjelasan peneliti itu soal virus corona menjadi ilmu bagi kami untuk mengenal dan bagaimana menghadapi virus corona.
Kami menjadi lebih tenang dengan bekal ilmu tersebut setelah menerima begitu banyak hoaks soal virus corona. Tak ada yang perlu ditakutkan secara berlebihan soal virus corona karena tubuh kita punya mekanisme untuk melawannya. Kita akan terus hidup berdampingan dengan berbagai macam virus sebagai sesama organisme hidup.
Pada akhirnya, kami harus segera sadar bahwa tak ada gunanya menunggu kehadiran presiden, menteri kesehatan, atau wali kota untuk menyapa dan merangkul kami sebagai wujud empati mereka. Yang mesti kami lakukan adalah memulihkan kehidupan yang sempat berantakan karena pemberitaan dan kebijakan pemerintah yang tidak bijak. Kami harus bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tidak mungkin terus-menerus kami rela menjadi obyek dan tersandera oleh arus pemberitaan dan kebijakan soal virus corona. Maka mari kita semua lebih bijak menghadapinya.