Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAYA menatap kembali foto tua itu: Wahidin Sudirohusodo di tengah 22 pria berjas beskap putih dengan kerah tinggi. Mereka—atau lebih akurat, hampir semua dari mereka—mengenakan blangkon, destar orang Jawa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Duduk di tengah dokter Wahidin. Ia satu-satunya yang mengenakan baju surjan dan kain batik warna gelap, motif parang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Foto itu diambil di tahun 1908. Kini kita mengenangnya sebagai tahun “kebangkitan nasional”. Saya tak tahu pasti apakah itu berarti bahwa di tahun itu timbul kesadaran akan adanya sesuatu yang bisa disebut “bangsa” dalam kolektivitas yang ada.
Benedict Anderson merumuskan “bangsa”, nation, sebagai imagined community. Saya gemar menerjemahkannya sebagai “komunitas yang dianggit”.
Kata “menganggit” bagi saya lebih pas. Sementara dalam bahasa Inggris kata imagine hanya menyugestikan satu proses mental—kegiatan yang berlangsung dalam pikiran—dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “menganggit” berarti “menyusun sesuatu, misalnya lalang atau bilah, berangkai-rangkai dengan dicocok tali”. Juga berarti “memasang kulit”, misalnya pada gendang. Arti lain: “menggubah”, misalnya “menganggit puisi”.
Kita tahu sebuah bangsa tak dibentuk hanya dengan sebuah rancangan “otak”, buah pikiran seorang atau beberapa jenius. “Menganggit” tak juga mencipta dari ruang hampa. Para pelopor kesadaran kebangsaan tak pernah mengklaim bangsanya lahir tanpa sejarah. Tiap bangsa punya genealogi. Ada hal-hal yang mendahuluinya, meskipun riwayatnya tak membentuk satu garis lurus yang jelas.
Tapi orang bisa melihat genealogi itu dengan semangat yang salah. “Bangsa”—“Indonesia”, “Ukraina”, “Cina”, dan lain-lain—sering dianggap ada sejak dahulu kala. “Kebangkitan nasional” diartikan sekadar menengok kembali unsur yang “asali” dan “alami” itu.
Pandangan ini sebut saja “primordialisme”.
Primordialisme yakin ada sifat asal yang tak berubah pada sekelompok manusia. Sifat itu dianggap mudah dikenali dan berlanjut dalam satuan yang homogen. Semangat kebangsaan “primordialis” mengagungkan sifat asali-alami itu—sambil melihat sifat negatif orang lain sebagai sesuatu yang permanen.
Maka dengan gampang primordialisme bisa mengarahkan “kebangkitan nasional” ke arah ideologi yang menolak mereka-yang-bukan-kita—mereka yang kita tetapkan secara hakiki berbeda dan najis selama-lamanya.
Nasionalisme yang bergaung di Jerman di masa Hitler adalah contohnya; demikian juga nasionalisme yang kita temukan di Burma ketika orang-orang Rohingya disingkirkan.
Primordialisme mudah melahirkan “pemurnian rasial”.
Kita kembali ke potret dokter Wahidin dan rekan-rekannya: di antara mereka ada yang memakai peci; ada juga yang duduk seraya memegang topi panama—indikasi Budi Utomo tak berniat membentuk sesuatu yang homogen, apalagi yang sepenuhnya “murni”. Ia tak menolak apa yang campuran. Wahidin sendiri anak seorang Jawa keturunan Daeng Kraeng Nobo dari Makassar.
Budi Utomo—yang didirikan pada 20 Mei 1908 untuk memperluas kesempatan rakyat untuk mendapatkan pendidikan Barat—menandai sesuatu yang penting: dengan atau tanpa blangkon, ia membawa semangat nasionalisme modern. Nasionalisme ini pernah tumbuh di Prancis. Pemikir utamanya Ernest Renan (1823-1892).
Esai Renan, Qu’est-ce qu’une nation? (Apa yang disebut “bangsa”), di tahun 1882 dimulai dengan pernyataan yang di zaman itu menggugah: sebuah “kesalahan gawat”, katanya, ketika orang mencampuradukkan gagasan kebangsaan dengan pengelompokan ras ataupun bahasa ibu. Bangsa justru dibangun dengan “melupakan” (l’oubli) yang asali.
Bagi Renan—juga kemudian bagi Wahidin, Douwes Dekker, Tjipto, Bung Karno, dan Bung Hatta—bangsa tak punya akar primordial. Identitas bisa berubah, terpengaruh sejarah politik dan administrasi. Identitas “Melayu” dalam sejarah Malaya (Malaysia), misalnya. Dalam sensus tahun 1921, “orang Melayu” berarti imigran dari Sumatra yang bahasa pertamanya Melayu. Tapi, dalam sensus 1931, “orang Melayu” hanyalah mereka yang lahir di Semenanjung.
Dalam Imperial Alchemy: Nationalism and Political Identity in Southeast Asia, sejarawan Anthony Reid menunjukkan rumitnya merumuskan identitas di wilayah ini—juga ketika penduduk diminta menyebut ke etnis mana mereka mengelompokkan diri. Dalam sensus 1931, menurut pengelompokan orang Burma sendiri, ada 135 “ras pribumi”.
C.A. Vlieland, yang mengurus sensus 1931 di Semenanjung, mengakui usaha klasifikasi yang dicobanya atas penduduk gagal. Kesimpulannya: “Kebanyakan bangsa Timur sendiri tak punya konsep yang jelas tentang ras.”
Di Indonesia, pemerintah kolonial yang tak mau repot meringkasnya jadi “jelas” dengan hanya menyebut tiga “ras”: “Eropa”, “Timur Asing”, “Pribumi”.
Budi Utomo adalah suara alternatif. Membaca penerbitannya yang diproduksi dalam bahasa Melayu, Jawa, dan Belanda, kita melihat tanda awal kebangsaan yang diam-diam melupakan akar yang “asali”, awal yang “alami”.
Dengan itu “Indonesia” melaju. Terkadang memang ada rasa kehilangan, tapi sejarah adalah menemukan dan kehilangan.
Goenawan Mohamad
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo