Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putu Setia
@mpujayaprema
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cemas tentu berbeda dengan panik. Orang cemas bisa panik, tapi tidak selamanya demikian. Banyak yang cemas melihat situasi pada saat kita secara bersama-sama melawan viros corona atau Covid-19. Orang salut melihat aparat yang sudah bekerja keras mengatasi wabah Covid-19, namun cemas karena yang terjadi di masyarakat justru berbagai kesulitan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebijakan yang diambil pemerintah kadang tak nyambung dengan apa yang terjadi di masyarakat. Presiden Jokowi memperkenalkan apa yang disebut pembatasan sosial atau bahasa kerennya social distancing. Menghindari kerumunan dan keramaian dengan pulang ke rumah. Belajar di rumah, bekerja di rumah, beribadah juga di rumah. Sekolah ditutup dan guru memberi tugas pekerjaan rumah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga menyediakan berbagai aplikasi yang mendukung belajar di rumah. Beribadah di rumah juga dipatuhi, apalagi tempat ibadah dibersihkan dari virus. Namun, bekerja di rumah? Ada berbagai jenis pekerjaan yang tak bisa dilakukan di rumah, apalagi bagi mereka yang memang mencari nafkah di jalanan.
Ajakan Presiden Jokowi sampai membuat blunder bagi Gubernur Jakarta Anies Baswedan. Anies mungkin mengira rakyat akan patuh karena ajakan itu datang dari presiden. Dibuatlah kebijakan pembatasan armada Transjakarta. Ternyata banyak orang yang tak patuh dan tetap bekerja di luar rumah. Penumpang antre mengular. Lalu, kebijakan direvisi dengan cepat. Apa artinya? Masyarakat tidak siap dan pemerintah juga tak menyiapkan langkah apa yang harus ditempuh agar orang mau dan bisa bekerja dari rumah.
Masker menghilang dari pasaran. Orang-orang panik mencarinya karena menganggap masker itu kebutuhan untuk menangkal Covid-19. Setelah kepanikan, baru ada penjelasan bahwa orang sehat tak perlu memakai masker. Tapi kecemasan tetap muncul, karena masker sangat dibutuhkan oleh para perawat di rumah sakit, terutama yang terlibat langsung dengan pasien yang sudah positif. Perlindungan untuk petugas kesehatan di saat-saat wabah jahanam ini suatu hal yang tak bisa dianggap enteng.
Dipopulerkan gerakan cuci tangan di air yang mengalir. Kesannya amat sepele. Bagaimana kalau air yang disalurkan oleh perusahaan daerah air minum suka macet, suatu hal yang lumrah di kota-kota kecil? Maka hand sanitizer diborong sampai habis. Kepanikan berjeda ketika ada berbagai tayangan bahwa kita bisa membuatnya sendiri. Campurkan pemutih pakaian dengan alkohol, lalu ditambah air. Orang pun panik mencari alkohol dan tiba-tiba langka di pasaran. Panik hilang ketika ada penjelasan, alkohol bukan sesuatu yang penting amat.
Cara kita berkomunikasi tak bagus dalam gerakan bersama melawan corona ini. Bisa jadi karena terlalu banyak juru bicara. Kesannya jadi simpang-siur. Syukurlah Jokowi segera membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, yang diketuai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Doni Monardo. Tugas Kementerian Kesehatan jadi berkurang. Biarkan Kementerian berfokus pada soal kesehatan, sementara gugus tugas lebih ke masalah prasarana. Misalnya, mengupayakan masker dan alat pelindung petugas kesehatan, alat tes yang lebih canggih, termasuk menyulap wisma atlet jadi rumah sakit.
Ada baiknya juru bicara satu saja. Masyarakat perlu dibuat lebih tenang, betapa pun wabah ini sangat mencemaskan kita karena jumlah yang positif terkena virus semakin banyak. Dampak ekonominya pun sangat besar. Kini saatnya kita saling berbagi dan bukan saling menyalahkan. Ini yang akan menurunkan rasa cemas kita dan menguatkan imunitas kita melawan corona.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo