Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Dua Sisi Fenomena War Takjil

Fenomena war takjil pada Ramadan kemarin dianggap sebuah bentuk kerukunan. Jangan lupakan dampak lingkungannya.

12 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BULAN suci Ramadan yang baru saja berlalu diwarnai sebuah fenomena sosial unik yang muncul dari "gurauan" di dunia maya: war takjil. Melalui ribuan konten yang berseliweran di berbagai platform media sosial, kita menyaksikan aneka menu khas berbuka puasa, seperti gorengan, kolak, dan jajanan lain, ikut diburu oleh mereka yang bukan umat Islam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salah satu konten video mengenai war takjil itu, misalnya, menggambarkan perempuan berkerudung yang sedang membeli takjil. Lepas dari pandangan pembeli yang lain, dia kemudian menyingkap kerudungnya seperti sengaja memperlihatkan liontin salib yang terkalung di lehernya. Pada konten video lain, seorang pemuka agama juga berkelakar membahas tren ini yang diikuti gelak tawa jemaahnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fenomena yang menyamakan takjil seperti tiket konser atau karcis pertandingan sepak bola—yang kerap cepat habis dan harus dibeli dengan cara berebutan (disebut dengan istilah war)—ini hampir tak menuai komentar negatif. Justru para pemuka agama menanggapi tren ini dengan positif dan menganggapnya sebagai wujud kerukunan antarumat beragama di Indonesia.

Kerukunan yang tergambar dari tren war takjil itu pada dasarnya dibangun media sosial dan media massa. Potongan-potongan video konten tersebut ditayangkan dengan narasi lucu dan penuh kegembiraan. Dari fenomena ini, kita merasakan aktivitas sesederhana membeli takjil menjadi sebuah kegiatan yang mempertemukan kaum muslim dan nonmuslim dalam suasana menyejukkan.

Memang ada juga sebagian kecil orang yang berpendapat, terlalu jauh menganggap tren war takjil sebagai bentuk kerukunan antarumat beragama. Dalam pandangan mereka, wajar saja setiap Ramadan aneka makanan yang dijajakan untuk berbuka juga diburu dan dinikmati mereka yang tak menjalankan ibadah puasa. Sebab, memang setiap Ramadan penjual takjil bermunculan di mana-mana.

Peleburan Budaya 

Meski demikian, aktivitas ini secara alamiah memperlihatkan perlawanan terhadap gejala pemisahan "kelas sosial" dalam konteks Ramadan. Dalam budaya kita, kehadiran bulan suci saban tahun selalu menempatkan umat Islam sebagai obyek utama dalam lingkup dan sistem sosial yang lebih luas.

Takjil menjadi semacam seleksi terhadap kelas sosial dan makanan pada Ramadan. Menu khas buka puasa ini seolah-olah memperlihatkan aktualisasi kelas: takjil ada karena Ramadan dan yang merayakan Ramadan adalah umat Islam. Kehadiran fenomena war takjil melunturkan hal itu dan akhirnya inklusi sosial tercipta. Takjil tidak hanya menjadi milik umat yang berpuasa, tapi juga mereka yang tidak berpuasa.

Takjil sebagai produk budaya kuliner Indonesia juga menggambarkan sebuah proses sublimasi kebudayaan. Fenomena semacam ini pernah ditulis Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dalam kolom berjudul "Lagu Jawa di Restoran Padang" yang diterbitkan Tempo edisi 7 April 1984. Dalam kolomnya, Gus Dur memandang restoran Padang sebagai contoh sublimasi kebudayaan.

Suatu ketika, Gus Dur masuk ke sebuah restoran Padang di bilangan Pasar Senen, Jakarta Pusat. Pemilik restoran itu dan semua pramusajinya adalah orang Minang. Namun lagu yang diputar melalui kaset untuk menghibur tamu di restoran itu justru lagu-lagu pop Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Seperti dijelaskan Gus Dur dalam kolom tersebut, lagu Jawa yang diputar di restoran Padang itu merupakan sebuah bentuk kemampuan sang pemilik restoran mengantisipasi, menyerap, dan mempergunakan aspek-aspek usaha yang berorientasi pada pasar. Hal inilah yang menjadi rahasia sukses restoran Padang. Sang pemilik restoran sadar pelanggannya kebanyakan orang Jawa.

Dalam konteks takjil, yang merupakan makanan khas Ramadan, tamsil serupa berlaku. Meski identik dengan Ramadan, siapa pun, termasuk mereka yang bukan umat Islam, bisa menikmati aneka menu khas buka puasa: kolak, kurma, dan lainnya.

Mafsadah Ekologis

Dari sudut pandang lain, fenomena war takjil, selain bisa dilihat sebagai bentuk bergeraknya perekonomian rakyat sekaligus mendorong tumbuhnya inklusi sosial, perlu diletakkan secara hati-hati. Meminjam istilah Kimberly Creeshaw, selalu ada intersectionality dalam isu-isu yang mapan. Kita perlu mempertimbangkan faktor dan akibat lain yang bisa ditimbulkan dari gejala war takjil.

Aneka makanan yang dijajakan sebagai takjil selama Ramadan hampir pasti akan dibawa pulang oleh pembelinya ke tempat tinggal atau kantor mereka. Beruntung jika pembeli membawa wadah dan tas sendiri. Tapi bisa jadi lebih banyak konsumen yang menerima makanan itu serta membawanya dengan wadah plastik dan kantong kresek dari penjual. Di sinilah sisi buruknya.

Merujuk pada Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional, pada tahun lalu saja, secara nasional kita menghasilkan timbunan sampah mencapai 12,2 juta ton. Dari jumlah itu, 33,25 persen, atau lebih dari empat juta ton tak terkelola. Data yang dihimpun dari 100 kabupaten/kota se-Indonesia ini juga menyebutkan empat jenis sampah yang mendominasi adalah sisa makanan (41,9 persen), plastik (18,5 persen), kayu/ranting/daun (11,4 persen), dan kertas/karton (10,6 persen). Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga menyatakan, pada Ramadan tahun lalu, terjadi peningkatan timbulan sampah sebesar 20 persen dari bulan-bulan sebelumnya.

Melihat kondisi tersebut, dan mengamati betapa tingkat konsumsi kita selama Ramadan yang selalu meningkat, ditambah lagi ada tren war takjil, dapat dibayangkan bahwa timbunan yang kita hasilkan pada Ramadan kali ini kian bertambah besar. Ia melahirkan tambahan sampah yang berasal dari sisa makanan yang tidak habis, bungkus kertas, plastik, dan sejenisnya. Artinya, kendati mendorong inklusivitas sosial, tren war takjil juga berdampak buruk bagi lingkungan.

Justru atas nama merayakan semangat Ramadan—yang tergambar dalam tren war takjil—tanpa sadar kita sedang melakukan dosa lingkungan. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran M. Faizi dalam bukunya yang berjudul Merusak Bumi dari Meja Makan. Secara pelan-pelan manusia menjadi terbiasa—atas nama kebahagiaan atau niat jahat sekalipun—memusnahkan bumi, menghancurkan lingkungannya, melalui remah-remah makanan yang disantapnya.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo

Kolom Hijau merupakan kolaborasi Tempo dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil di bidang lingkungan. Kolom Hijau terbit setiap pekan.

Ahmad Riyadi

Ahmad Riyadi

Pegiat Literasi Akademi Ansor, bekerja di Komisi Penyiaran Indonesia Pusat

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus