Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KANIBALISME bukan sesuatu yang baru. Penyimpangan mahaberat dari kepribadian seseorang ini terjadi di berbagai belahan dunia dan sudah disuguhkan dalam beberapa film. Di negeri kita, yang sebagian besar masyarakatnya masih percaya takhayul dan klenik, kanibalisme pun bukan sesuatu yang asing. Umumnya kanibal ini memakan sesamanya dalam kaitan menghilangkan jejak sebuah pembunuhan. Menurut takhayul yang banyak diyakini oleh pembunuh yang kalap itu, orang akan sulit melacak jejak sang pembunuh jika pembunuh itu sempat memakan bagian tubuh yang penting dari korbannya. Misalnya makan hati korban, atau jantungnya, atau matanya.
Tapi Sumanto, sang kanibal dari Purbalingga, Jawa Tengah, agak lain. Ia lebih sadistis dan dramatis. Ia makan manusia bukan dalam kaitan menghilangkan jejak setelah membunuh. Ia makan manusia yang telah mati, makan jenazah yang sudah bau amis, hanya untuk ilmu hitam yang dia yakini akan membawa hidup bahagia dan senang. Ia harus memakan tujuh mayat, begitulah menurut dia syarat minimal dari ilmu yang ia pelajari dari Taslim, gurunya. Yang belum ia jelaskan, apakah gurunya itu sudah mempraktekkan hal serupa sehingga bisa mengajarkan hal yang bagi orang waras sangat mengerikan ini.
Ada dua ilmu yang dipelajari Sumanto: ilmu kasugihan dan kesaktian. Kasugihan (mencari kekayaan) dirasakan penting oleh Sumanto untuk mengubah kehidupannya yang hanya mengandalkan kerja sebagai buruh serabutan. Kesaktian meliputi kekebalan tubuh dan kemampuan melakukan hal-hal spektakuler yang tak pernah dibayangkan oleh manusia normal. Sumanto memberi contoh, dengan ilmu ini, kalau berangkat dari Lampung menuju Purbalingga, ia hanya membutuhkan waktu lima menit. Jauh lebih cepat dari pesawat terbang jenis apa pun.
Obsesi Sumanto tentang manusia yang sakti, kebal, bisa terbang ke mana-mana, dan kaya raya bergelimang harta?biasanya ditambah lagi istri yang cantik-cantik?adalah obsesi para penganggur atau masyarakat kelas bawah yang putus asa dalam hidup. Mimpi-mimpi itu adalah sahabat setia yang selalu datang saat-saat mereka merenungkan nasibnya. Sebagian mimpi itu tersalurkan lewat film misteri yang banyak bertebaran di stasiun televisi swasta. Mimpi mereka itu pun seperti menjadi sah adanya tatkala masalah yang tak masuk akal ini?bagi manusia modern?ramai pula dimuat di majalah-majalah misteri. Jalan pintas versi Sumanto untuk mendapatkan kekayaan, dalam kadar yang lebih sopan tanpa harus melakukan kanibalisme, hampir saja terjadi tatkala situs Batutulis dibongkar untuk mendapatkan bongkahan emas berlian. Yang ini adalah mimpi seorang menteri, bukan kelas pengangguran.
Kasus Sumanto adalah serpihan dari berbagai dunia klenik yang marak di negeri ini. Bagaimana kita menyikapinya? Agak kompleks masalahnya. Ada kaitan dengan pendidikan yang rendah di masyarakat pedesaan. Kalau ditelusuri lebih jauh lagi, pangkalnya adalah kemiskinan. Lapangan kerja yang sulit, kehidupan yang makin getir, sementara mereka juga menonton lewat televisi bagaimana kehidupan yang mewah diperagakan setiap hari. Kuis-kuis yang membagikan jutaan rupiah muncul di layar kaca. Dan bagi masyarakat pedesaan, tontonan ini adalah mimpi. Mimpi jadi orang kaya. Mimpi jadi orang pintar. Mimpi jadi orang sukses. Bagaimana cara meraihnya? Mereka tidak mengerti bahwa semua itu membutuhkan pendidikan, atau mereka tahu tentang cara itu, tapi itu sesuatu yang mustahil bagi mereka. Maka ada jalan pintas, yang juga mereka dapatkan "contohnya" dari tontonan televisi. Sejumlah film yang berkedok film laga dan film legenda menampilkan berbagai klenik, bagaimana mendapatkan kesaktian dan pesugihan itu.
Sumanto, sang kanibal, hidup di jagat yang jomplang di negeri ini. Apakah ia psikopat atau bukan, itu lebih urusan psikolog atau psikiater. Yang jelas, perilaku menyimpang Sumanto sejak kecil tak terpantau oleh lapisan yang paling rendah, keluarga dan masyarakat sekelilingnya. Ayahnya merasa tak pernah akrab dengan Sumanto, anak lelakinya ini. Ibunya hampir sama. Sumanto pun tumbuh sebagai anak yang tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Padahal kasih sayang bukan sesuatu yang mewah meskipun hidup ini begitu pahitnya.
Akhirnya Sumanto belajar dari masyarakat, tepatnya belajar dari alam. Pelajaran terbesar itu ia dapatkan ketika mengembara ke Lampung. Di situ ia bergabung dengan kelompok pemburu. Main bunuh binatang buruan, memakan daging binatang mentah-mentah, mempraktekkan ilmu kebal dengan memasukkan daging hewan ke dalam tubuh. Kehidupan yang sadistis menjadi sesuatu yang akrab baginya. Apalagi, begitu ia mengaku, ia pernah dirampok dan sang perampok bisa dibunuhnya. Lalu dagingnya ia makan. Inilah pelajaran-pelajaran awal Sumanto sebagai seorang kanibal sejati, sebelum ia mendapatkan seorang guru yang bagaikan memberi jalan yang sah untuk melakukan kanibalisme yang lebih besar.
Kini Sumanto ditahan. Ia dibawa ke rumah sakit jiwa untuk dilacak kondisi kejiwaannya. Jika ia normal, ia akan dibawa ke sidang pengadilan. Ia dihukum, pasti. Tapi akankah urusan Sumanto selesai begitu saja? Apakah tidak muncul Sumanto yang lain, mungkin lebih sopan, mungkin pula lebih kejam, yang pijakan hidupnya ada dalam mimpi-mimpi khas dunia klenik? Barangkali ada yang memikirkan hal ini, bagaimana kalau "pelajaran klenik" dikurangi. Sesuatu yang tidak mudah, karena persoalannya?seperti disebutkan tadi?begitu kompleks karena akar persoalannya adalah kemiskinan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo