Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Digitalisasi Bukan Panacea Pemberantasan Korupsi

Ide digitalisasi Luhut Binsar Pandjaitan tak cukup untuk pemberantasan korupsi, seperti pada pengadaan barang dan jasa pemerintah.

29 Desember 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wana Alamsyah
Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“OTT-OTT itu kan tidak bagus sebenarnya. Buat negeri ini jelek banget. Tapi, kalau kita digitalize, siapa yang mau lawan kita,” kata Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan belum lama ini. Pernyataan Luhut, yang pernah memegang sekitar 13 jabatan pada masa pemerintahan Presiden Jokowi, itu mengirim pesan yang jelas bahwa penindakan korupsi melalui operasi tangkap tangan (OTT) telah membuat citra buruk Indonesia di mata dunia. Luhut menganggap upaya digitalisasi sebagai solusi untuk menyelesaikan permasalahan korupsi di negeri ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Klaim tersebut tidak sepenuhnya tepat dan berpotensi memberi kesan bahwa digitalisasi adalah silver bullet untuk persoalan korupsi di Indonesia. Luhut patut diduga sengaja melontarkan pernyataan tersebut untuk mengarahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar meminimalkan kerja penindakan.

Luhut gagal memahami bahwa korupsi merupakan kejahatan sistemis yang terjadi dari hulu hingga hilir dan melibatkan sejumlah aktor, dari pengambil kebijakan hingga pelaksana teknis. Artinya, kerja pemberantasan korupsi harus dilakukan secara holistik, dari pendidikan, pencegahan, hingga penindakan. Digitalisasi hanya berada pada area untuk mendeteksi potensi korupsi dan masuk ke dalam bagian pencegahan.

Digitalisasi sebagai salah satu upaya untuk pencegahan korupsi telah dilakukan di sejumlah negara. Salah satu praktik baiknya adalah situs web Visor Urbano, yang dirancang untuk mencegah suap-menyuap dalam pengurusan sertifikat lahan di Kota Guadalajara, Meksiko. Situs web tersebut mampu menekan permintaan suap dari pegawai negeri ke masyarakat hingga 74 persen.

Program Guadalajara tersebut tidaklah semudah membalikkan tangan. Perlu ada komitmen dari pemerintah untuk mendigitalkan atau mengkonversi seluruh dokumen ke format digital dan memasukkannya ke dalam sistem sehingga proses digitalisasi dapat berjalan sebagaimana mestinya. Artinya, faktor penting yang harus dilakukan pemerintah adalah membuka akses informasi kepada publik.

Saat ini proses digitalisasi telah cukup baik dilakukan di sektor pengadaan barang dan jasa pemerintah (PBJP). Sejak 2010, pemerintah berupaya untuk menyediakan informasi mengenai PBJP melalui layanan pengadaan secara elektronik (LPSE) di kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. Hal ini dilakukan sebagai salah satu cara pemerintah untuk mengajak masyarakat melakukan check and balances terhadap belanja negara yang digunakan oleh setiap institusi dalam proses pengadaan.

Ada tiga alasan mengapa digitalisasi bukan panacea pemberantasan korupsi. Pertama, berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch, 51 persen dari 2.669 kasus korupsi yang ditindak oleh penegak hukum selama 2016-2021 berkaitan dengan PBJP. Sedangkan berdasarkan data KPK selama 2004-2022, PBJP merupakan kasus kedua paling banyak yang ditindak. Artinya, meskipun telah ada upaya untuk mendigitalkan proses PBJP, tidak ada jaminan bahwa tingkat korupsi akan turun.

Dengan melihat data di atas, operasi tangkap tangan masih relevan untuk dilakukan oleh KPK. Pada 2022, misalnya, KPK meringkus dua kepala daerah dari Kota Bekasi dan Kabupaten Pemalang karena korupsi yang berkaitan dengan PBJP. Jika KPK tidak menjalankan tugas penindakan, pemerintah sedang menormalkan praktik korupsi. Jargon "zero tolerance" terhadap korupsi pada akhirnya lips service semata.

Kedua, digitalisasi tanpa perencanaan yang matang malah berpotensi menimbulkan pemborosan keuangan negara atau bahkan menjadi ladang cuan saat proses pembuatan aplikasi. Pada pertengahan 2022, Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan mengeluh mengenai 24 ribu aplikasi yang tersebar di berbagai kementerian/lembaga karena tidak berjalan sesuai dengan fungsinya. Banyaknya aplikasi yang dibuat mengindikasikan bahwa pemerintah kerap kali keliru dalam menafsir makna inovasi karena inovasi tidak selamanya harus berbuah aplikasi.

Ketiga, implementasi digitalisasi di Indonesia masih bersifat tebang pilih untuk beberapa sektor. Sebagai contoh, digitalisasi di sektor pertanahan spesifik dalam pengurusan hak guna usaha (HGU). Dalam beberapa bulan terakhir saja, KPK telah menindak dua kasus korupsi yang berkaitan dengan pengurusan dan perpanjangan HGU. Apabila pemerintah memang berkomitmen untuk mencegah korupsi dengan digitalisasi, langkah pertama yang patut untuk dilakukan adalah memberi akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mengawasi proses perizinan pertanahan. Ini tidak hanya dapat menekan angka korupsi, tapi pemerintah juga dapat menekan angka konflik agraria.

Euforia digitalisasi yang kerap diucapkan oleh pejabat publik perlu dikurangi. Tanpa peta jalan yang matang, infrastruktur yang memadai, sumber daya manusia yang mumpuni dan berintegritas, serta anggaran yang cukup, proses digitalisasi hanya menjadi proyek yang mengikuti tren tanpa mengubah substansi tata kelola pemerintahan menjadi efektif, efisien, transparan, akuntabel, dan bebas korupsi.



PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus