Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Pemburu Rente dalam Perkara Benur

Penangkapan Menteri Edhy Prabowo harus menjadi momentum membenahi kesalahan ganda pengelolaan ekonomi Indonesia: kebijakan mengeruk sumber daya alam serta praktik perburuan rente oleh pejabat dan birokrat.

28 November 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUAP ekspor benur yang diduga diterima Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo merupakan contoh nyata kejahatan yang diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan ekonomi Indonesia. Pejabat seperti Edhy sengaja membuat peraturan berlapis agar pengusaha tak punya pilihan selain membayar rente kepada birokrat dan pejabat. Tanpa menyuap, jangan harap izin, kuota, atau lisensi yang dibutuhkan pelaku usaha bisa terbit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Modus korupsi ala Edhy Prabowo di Kementerian Kelautan dan Perikanan sebenarnya juga terjadi di banyak lembaga dan kementerian. Praktik pemburu rente ini sudah lekat dalam mentalitas birokrasi Indonesia sejak masa Orde Baru. Selama mekanisme izin, kuota, tarif, dan seleksi diberlakukan, celah rasuah selalu terbuka. Umumnya banyak pejabat mengerti soal ini, tapi memalingkan muka karena diam-diam menikmati manfaat. Kelakuan petinggi negara bermental maling semacam ini baru terungkap terang setelah ada aksi penegakan hukum seperti dalam kasus Edhy.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kita berharap langkah KPK tak berhenti setelah menetapkan Menteri Edhy, dua anggota staf khususnya, dan empat pelaku lain sebagai tersangka. Kuat diduga duit miliaran rupiah hasil setoran eksportir benur mengalir jauh sampai para pembesar partai. Pernyataan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang meminta KPK tak berlebihan dalam mengungkap kasus ini harus dikecam sebagai laku petantang-petenteng pejabat negara di hadapan penegak hukum. Patut disayangkan, tak lama setelah Edhy ditangkap, Presiden Joko Widodo menetapkan Luhut sebagai Menteri Kelautan ad interim.

KPK tak perlu ragu menelisik keterkaitan PT Aero Citra Kargo, perusahaan yang ditunjuk anggota staf khusus Menteri Edhy sebagai satu-satunya perusahaan yang boleh mengekspor benur. Semua penerima uang dari perusahaan yang dimiliki sejumlah politikus itu harus pula dicokok. Para pemilik perusahaan ekspor benur yang secara bergiliran membayar sogokan untuk PT Aero patut pula ditangkap.

Ketika Menteri Edhy meneken Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 pada 5 Mei 2020, aroma busuk korupsi sebenarnya sudah terdeteksi. Kita ingat, tak sampai sebulan setelah aturan itu diumumkan, sejumlah perusahaan telah terdaftar sebagai eksportir—sebagian merupakan perseroan lama yang pernah dipidana karena menyelundupkan benur di masa lalu. Ada juga perusahaan yang dimiliki politikus yang dekat dengan Menteri Edhy.

Kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh kebijakan sungguh alang kepalang. Benur adalah plasma nutfah yang hanya ada di alam bebas. Sejak Mei lalu, nyaris 50 juta ekor benih lobster diraup dari laut kita untuk diterbangkan ke Vietnam dan negara lain yang menikmati keuntungan berlipat ganda. Nelayan hanya dibayar Rp 5.000-15.000 per ekor, sementara eksportir menjualnya dengan harga sampai Rp 65 ribu. Sudah saatnya kebijakan ekspor benur ini disetop karena tak memberikan nilai tambah kepada nelayan dan pengusaha perikanan dalam negeri.

Pelbagai tanda bahaya itu sayangnya diabaikan begitu saja oleh sistem pengawasan internal di Kementerian Kelautan. Padahal Inspektur Jenderal Kementerian—unit yang diberi wewenang melakukan kontrol internal—dipegang oleh Muhammad Yusuf, mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Sejumlah ahli duduk pula di kursi penasihat Menteri Kelautan. Mereka di antaranya ahli hukum Hikmahanto Juwana dan mantan diplomat maritim Hasyim Djalal. Mantan Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia, Inspektur Jenderal Antam Novambar, yang ditunjuk sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian, tak banyak perannya dalam mencegah korupsi terjadi—jika bukan malah menutup mata bagi perbuatan lancung tersebut.

Penangkapan Menteri Edhy Prabowo harus menjadi momentum membenahi kesalahan ganda pengelolaan ekonomi Indonesia. Selain memberantas praktik perburuan rente yang difasilitasi berbagai kementerian, Presiden Joko Widodo harus meninggalkan pola ekonomi zaman batu yang sekadar mengeruk sumber daya alam. Kasus ini seharusnya membuka mata kita bahwa penegakan hukum yang efektif adalah prasyarat mutlak pembangunan ekonomi yang berkeadilan.

Kita patut bersyukur ada penyidik Komisi yang bekerja keras mengungkap perkara ini betapapun KPK remuk redam setelah undang-undang yang mengatur lembaga itu diobrak-abrik Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah tahun lalu. Pengungkapan kasus lewat operasi senyap para penyidik harus dilihat sebagai ikhtiar gigih mereka melawan korupsi. Pernyataan sementara orang yang menyebut penangkapan Edhy merupakan komitmen pemerintah Jokowi pada pemberantasan korupsi harus diterima dengan skeptis. Hingga perkara ini tanpa intervensi diusut sampai ke akar-akarnya, pernyataan itu harus dianggap sebagai klaim sepihak.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus