Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
EKSPERIMEN BARU ANG LEE
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sebuah film yang 20 tahun berpindah tangan dan mendarat di tangan Ang Lee. Eksperimen digital yang agak meleset, tetapi adegan laga yang menarik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
GEMINI MAN
Sutradara : Ang Lee
Skenario : David Benioff, Billy Ray, Darren Lemke
Pemain : Will Smith, Clive Owen, Mary Elizabeth Winstead, Benedict Wong
Mari mengingat kembali Crouching Tiger, Hidden Dragon (2000), sebuah film karya Ang Lee yang kemudian menjadi semacam standar untuk membuat film martial art wuxia dengan “gaya Ang Lee”. Atau katakanlah kita kembali ke film Sense and Sensibility (1995); Brockback Mountain (2005) , semua karya-karyanya yang membawanya ke panggung Academy Awards.
Jika kita kemudian meloncat dan menyaksikan karyanya yang terbaru Gemini Man yang sedang beredar ini, mungkin kita akan terkejut. Mungkin juga kita akan bisa melihat sekelumit jejak-jejak sidik jarinya di beberapa bagian, terutama pada bagian laga. Tetapi sejurus kemudian, kita bertanya: kemanakah Ang Lee, si pencerita ulung itu?
Tersebutlah sebuah skenario berjudul Gemini Man di tahun 1997 yang meloncat dari satu sutradara ke sutradara lainnya; dari satu penulis skenario ke penulis skenario lainnya; dari nama Tonny Scott, Curtis Hanson. Pemaianpun berubah-ubah dari nama-nama besar seperti Harrison Ford dan Clint Eastwood . Ringkasnya, akhirnya setelah 20 tahun penuh derita, skenario ‘dibereskan’ David Benioff (kreator serial Game of Thrones), pemain utama Will Smith dan sutradara adalah Ang Lee.
Tentu saja bukan sesuatu yang baru bagi sutradara Taiwan ini untuk menafsir film-film Hollywood atau Inggris. Justru Ang Lee sering mengaku selalu merasa tertantang untuk membuat film-film dengan genre yang berbeda atau dengan tema yang berbeda dengan teknologi yang baru.
Mungkin itu sebabnya dia merasa tertantang menggarap film thriller yang berkisah tentang seorang sniper veteran Henry Brogan (Will Smith)—kaki tangan pemerintah-- yang memutuskan untuk pensiun setelah pembunuhannya yang ke 72. “Karena saya tak bisa melihat wajah diriku di cermin,” katanya ketika ditanya mengapa dia pensiun sementara belum pernah ada pembunuh bayaran yang bisa menandingi kemampuannya.
Tetapi Henry Brogran mengetahui sesuatu yang membahayakan posisi Clay Varris (Clive Owen) , seorang pimpinan pasukan elite bernama Gemini Man. Di hari pertama dia pensiun, tiba-tiba saja Brogran menjadi seorang “Jason Bourne” yang dikejar-kejar kemana saja dia pergi. Bedanya tokoh Bourne didera amnesia, sementara Brogran tahu betul mengapa dia diburu. Kejutan bukan ada pada titik tersebut; melainkan ketika dia berhadapan dengan seorang pembunuh bayaran yang lebih muda, lebih sigap, lebih baru dan…….sangat mirip dengan dirinya 30 tahun silam! Siapakah dia?
Pada 30 menit pertama, kita merasa Ang Lee seolah membawa para penonton thriller pada dunia Ang Lee yang selalu saja menyajikan serangkaian gambar yang mampu berbicara. Adegan kejar mengejar, betapapun fantastisnya, menampilkan keahlian Ang Lee untuk memperlihatkan rangkaian gambar yang bercerita. Si pembunuh bayaran muda di atas atap, dan Brogan bisa melihat kelebatan musuhnya dari pantulan bayangan pada genangan air. Ketika mereka berhadapan dengan dua motor dan saling menghantam, mungkin yang terjadi adalah sebuah gaya pertempuran hiperbolik –sebagaimana Ang Lee menggambarkan tokoh-tokohnya yang mampu berlari di atas dinding vertikal dalam “Crouching Tiger, Hidden Dragon”. Adegan yang nyaris mustahil, tapi siapa peduli?
Problemnya bukan pada betapa fantastis dan hiperboliknya adegan-adegan laga itu; tetapi bagaimana Ang Lee mencoba menggunakan tehnik ‘Digitally de-aging” pada wajah dan tubuh lawan Brogan agar dia terasa seperti Will Smith muda. Berhasilkah?
Kita menyaksikan serial “The Fresh Prince of Bel-Air” dan bagaimana Will Smith sejak muda menjadi pujaan remaja. Karena itu, teknologi digital yang ‘meremajakan’ aktor berusia setengah abad itu menjadi persoalan karena meski wajahnya mirip, dia tak sedang berperan. Kita membutuhkan seorang aktor yang mampu menggenggam seni peran, bukan permainan digital yang membuat wajah itu menjadi aneh tanpa ekspresi.
Persoalan lain adalah : cerita. Ang Lee dan Benniof ingin menampilkan seorang remaja yang dibesarkan ‘bapak angkat’ yang jahat. Ada keinginan menyelipkan drama keluarga yang sayangnya tak kunjung berhasil membuat penonton ikut bersimpati atau tergerak. Kali ini eksperimen Ang Lee agak jauh dari harapan.
Tokoh Baron (Benedict Wong) dan Danny Zakarweski (Mary Elizabeth Winstead) dipasang lebih sebagai kebutuhan alat pelumas plot daripada sebagai dua karakter penting yang bisa dijelajahi.
Tetapi tentu Ang Lee , seperti juga sutradara besar lainnya, tak selalu sukses merenggut perhatian dan batin penonton maupun kritikus. Film “Hulk” (2003) juga menjadi salah satu contoh filmnya yang kurang disambut, meski tak sebegitu buruk dibandingkan dengan main-main digital dalam film “Gemini Man” ini.
Tak mengapa. Kita masih mencintai Ang Lee dan segala eksperimennya. Dan film-film berikutnya akan tetap kita ikuti dengan penuh semangat.
Leila S.Chudori