Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Jalan Pagi Menyambut Corona

Di tengah pandemi yang masih berkecamuk, langkah pemerintah mengizinkan kegiatan publik yang memancing kerumunan merupakan tindakan ceroboh.

23 Juni 2020 | 07.30 WIB

Suasana Car Free Day pertama di masa pandemi di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Ahad, 21 Juni 2020. TEMPO/M Taufan Rengganis
Perbesar
Suasana Car Free Day pertama di masa pandemi di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Ahad, 21 Juni 2020. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Di tengah pandemi yang masih berkecamuk, langkah pemerintah mengizinkan kegiatan publik yang memancing kerumunan merupakan tindakan ceroboh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Salah satu kegiatan itu adalah pembukaan jalan protokol M.H. Thamrin dan Sudirman bagi pejalan kaki dan pesepeda--kegiatan pagi yang diterapkan pada hari bebas kendaraan bermotor (car-free day). Dihentikan pada awal pandemi,aktivitasitu kembali dibukapada 21 Juni lalu. Menurut pemerintah, jalan pagi tersebut diperbolehkan asalkan warga mematuhi protokol kesehatan, yaitu menjaga jarak, memakai masker, serta tak melibatkan anak-anak dan kelompok usia rentan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kenyataannya bisa ditebak. Ahad lalu, banyak pejalan kakiyang tidak menggunakan masker. Anak-anak juga disertakan, seperti layaknya situasi sebelum wabah. Anjuranjaga jarakpun sulit diterapkan. Dengan massa yang berjumlah ribuan, kerumunan sulit dihindarkan.

Car-free day dibuka kembali setelah Jakarta memberlakukan kebijakan transisi menuju “normal baru” pada 4 Juni lalu. Masa transisi ini mengakhiri kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk membendung meluasnya Covid-19 yang diterapkan di Ibu Kota sejak 10 April lalu. Kebijakan pelonggaran ini banyak dikritik karena berlaku saat wabah belum mereda, bahkan belum mencapai puncaknya. Dibanding angka pandemi nasional, Jakarta memang relatif lebih baik. Meski demikian, jika diterapkan tanpa berhati-hati, pelonggaran bisa memicu bencana susulan.

Per 21 Juni lalu, jumlah orang terinfeksi Covid-19 di Jakarta mencapai 9.971 orang. DKI merupakan provinsi dengan penambahan jumlah pasien nomor dua terbesar di Indonesia setelah Jawa Timur.Kemarin, jumlah orang terinfeksi naik 127 kasus, sehingga menjadi 10.098 orang.

Patut disayangkan bahwa publik DKI pun tak menunjukkan sikap berhati-hati. Berbondong-bondong memenuhi jalan protokol—seperti juga berolahraga dengan bergerombol di sekitar Gelanggang Olahraga Bung Karno—merupakan sikap tak bertanggung jawab. Jakarta belum bebas dari corona. Di Ibu Kota masih banyak orang yang mati karena Covid-19, meski tidak sedahsyat pada Maret lalu.

Pemerintah pun lengah. Di atas kertas, warga yang keluar-masuk DKI masih diwajibkan memiliki surat izin. Di lapangan, fakta berkata lain. Para pelancong, terutama yang memakai kendaraan pribadi, tak dirazia lagi. Dalam beberapa kasus, penumpang pesawat pun bisa melenggang tanpa kendala.

Meski jumlah kasus Covid-19 di Indonesia tak setinggi di negara lain—peringkat ke-29 dari total 200 negara—banyak pihak yakin bahwa kurva pandemi kita belum mencapai puncak karena jumlah pengetesan belum maksimal. Hingga kemarin, Indonesiabaru mengetes 650.331 orang atau 2,3 persen dari total populasi 273 juta jiwa. Bandingkan dengan Malaysia--berpenduduk 32 juta—yang kini sudah mengetes 683 ribu orang.

Pemerintah harus konsisten menerapkan protokol Covid-19. Publik pun tidak boleh lengah membentengi diri dari penyakit mematikan itu. Jangan lupa, bahkan sejumlah negara maju, seperti Cina, Singapura, dan Australia, kini cemas oleh munculnya pandemi gelombang kedua. Jika tak waspada, kita bukan akan dihadang gelombang susulan, melainkan gelombang pertama yang entah kapan surutnya.

 
Ali Umar

Ali Umar

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus