Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Langkah Presiden Joko Widodo menolak wacana kenaikan gaji presiden menjadi Rp 200 juta per bulan adalah tindakan tepat. Usulan dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat ini seperti menjadi "jebakan batman" di tengah banjir kritik soal kenaikan tunjangan politikus Senayan. Sebab, jika Presiden menyetujui kenaikan gajinya, itu artinya anggota Dewan makin punya alasan menuntut kenaikan tunjangan.
Kenaikan tunjangan di tengah kondisi ekonomi negara sedang melambat memang sangat tidak pantas. Dalil pimpinan DPR bahwa tambahan tunjangan bagi anggota Dewan wajar saja karena tak pernah naik selama 12 tahun juga tidak sepatutnya. Bahkan, tanpa kenaikan nilai tunjangan pun, seorang anggota DPR sudah mengantongi penghasilan sebesar Rp 51 juta setiap bulan.
Rencana kenaikan itu juga terkesan "disembunyikan" dari APBN. Selama pembicaraan alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2015, tidak pernah terungkap adanya alokasi untuk kenaikan tunjangan. Tiba-tiba saja ada pengumuman penambahan tunjangan, dengan rincian untuk anggota menjadi Rp 31 juta, Wakil Ketua Rp 34 juta, dan Ketua mendapat Rp 35 juta. Semua itu akan cair pada bulan depan.
Jika ditelaah, jenis tunjangan yang mendapat kenaikan juga tak sebanding dengan kiprah kinerja para anggota Dewan selama ini. Sebut saja tunjangan kehormatan, tunjangan komunikasi intensif, dan tunjangan peningkatan fungsi pengawasan. Tak hanya itu, tunjangan langganan listrik dan telepon juga ikut-ikutan naik. Lalu dari mana mereka mendapat alasan menaikkan tunjangan, sementara kinerjanya masih mengecewakan?
Dewan semestinya tak menyalahgunakan wewenang budgeting untuk mempergemuk anggaran mereka sendiri. Apalagi politikus Senayan selama ini cenderung menghamburkan anggaran untuk jalan-jalan ke luar negeri. Sebagian di antara mereka juga terperosok dalam praktek permainan proyek.
Bisa diibaratkan, langkah DPR menaikkan tunjangan seperti anak sekolah yang tidak naik kelas tapi meminta hadiah. Selain banyak kontroversi, seperti ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena menerima suap, dari sisi kinerja pun para anggota Dewan tidak memuaskan. Misalnya, kinerja legislasi, yang menjadi salah satu tugas utama mereka sebagai wakil rakyat. Sejak dilantik, DPR hanya berhasil merampungkan tiga undang-undang dari 39 rancangan undang-undang yang masuk Program Legislasi Nasional Prioritas 2015.
Alasan bahwa tunjangan DPR sudah lama tidak naik juga tak sepenuhnya benar. Menurut perhitungan Center for Budget Analysis, setiap tahun penghasilan anggota Dewan selalu naik. Misalnya pada 2014 sebesar Rp 243,2 miliar menjadi Rp 696,9 miliar pada tahun ini. Kenaikan yang diterima jauh lebih besar dibanding tunjangan pegawai negeri, yang hanya naik 6 persen setiap tahun.
Penolakan dari sejumlah fraksi semestinya menjadi perhatian bagi pimpinan DPR untuk segera membatalkan kenaikan tunjangan tersebut. Sudah jelas, kenaikan itu merupakan penghamburan uang negara. Itu juga menunjukkan sikap tak peduli terhadap kondisi keuangan negara yang sedang sulit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini