Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Indosat dan Hutchison segera merger.
Pemerintah mesti memanfaatkan merger ini sebagai konsolidasi industri telekomunikasi.
Memacu implementasi segera jaringan 5G.
PEMERINTAH mesti memetik manfaat dari keputusan Ooredoo QPSC dan CK Hutchison Holdings Limited menggabungkan unit bisnis mereka di Indonesia. Konsolidasi sektor telekomunikasi Tanah Air yang masih tersendat bisa makin terarah dengan merger tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penggabungan dua operator seluler, Indosat Ooredoo dan Hutchison 3 Indonesia, tersebut bukan langkah bisnis yang mudah. Dua perusahaan yang berasal dari Qatar dan Hong Kong itu memerlukan waktu hampir setahun guna bersepakat dalam aksi korporasi bernilai US$ 6 miliar (sekitar Rp 80 triliun) tersebut. Saking alotnya, nota kesepahaman yang diteken pada Desember 2020 sempat diperpanjang beberapa kali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah sudah sedari dulu mendorong konsolidasi bisnis telekomunikasi nasional. Namun upaya tersebut tak kunjung tercapai. Salah satu penyebabnya: terlalu banyak pemain di industri ini yang cenderung menimbulkan inefisiensi.
Konsolidasi yang berhasil bisa mendorong perusahaan telekomunikasi memiliki struktur keuangan yang kuat dan mampu melakukan investasi untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Salah satu indikatornya tecermin dari kemampuan pengembangan jaringan infrastruktur.
Namun pelbagai upaya itu tidak boleh kontraproduktif. Sebab, jika penggabungan antarperusahaan telekomunikasi terus berlanjut, hal tersebut berpeluang menciptakan pasar monopoli atau oligopoli. Maka pemerintah harus memastikan konsolidasi itu tetap dalam koridor untuk melahirkan kompetisi yang sehat.
Perbaikan struktur industri juga dapat memicu pengembangan teknologi jaringan Internet generasi kelima (5G). Teknologi baru yang di banyak negara lain sudah sedemikian populer itu tak kunjung bisa dikejar oleh perusahaan telekomunikasi Indonesia karena kendala terbatasnya modal.
Laporan yang dirilis perusahaan penyedia jaringan asal Amerika Serikat, Cisco dan A.T. Kearney Analysis, pada Oktober 2019 memperkirakan investasi yang diperlukan semua operator di Asia Tenggara untuk menyediakan jaringan 5G mencapai US$ 10 miliar (setara dengan Rp 142 triliun) hingga 2025. Kebutuhan dana yang besar tersebut yang membuat banyak perusahaan membangun jaringan 5G secara bertahap.
Selama ini, terdapat tiga kendala dalam pengembangan jaringan 5G di Tanah Air. Ketiganya meliputi frekuensi yang terbagi untuk banyak operator, modernisasi base transceiver station, dan kesiapan koneksi fiber optik yang belum tersedia secara merata. Kondisi ini ironis untuk Indonesia, negara dengan jumlah pengguna telepon Internet terbesar keempat di dunia.
Sulit dimungkiri keterlambatan pemerintah karena faktor “politis” lantaran teknologi 5G dikembangkan oleh Cina dan tidak disukai Amerika Serikat. Sikap gamang itu berdampak pada tertinggalnya Indonesia menikmati beragam manfaat dari teknologi 5G.
Menurut laporan indeks Adopsi 5G pada September 2020, Indonesia berada di belakang Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam dalam pengembangan teknologi tersebut. Capaian ini wajar karena pemerintah baru meresmikan peluncuran jaringan 5G secara terbatas pada Mei 2021. Targetnya, pada 2024, teknologi 5G bisa dinikmati setidaknya di 13 lokasi di sejumlah daerah.
Pemerintah mesti mengompensasi ketertinggalan itu dengan melahirkan kebijakan yang komprehensif. Selain membuat regulasi ramah investasi, bersama pelaku bisnis, pemerintah bisa mencari solusi mendorong naiknya permintaan masyarakat atas layanan tersebut. Tanpa itu, target pemerintah agar teknologi telekomunikasi 5G berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi nasional sulit tercapai.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo