Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Kembali ke Akar Jurnalisme

18 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arya Gunawan

  • Mantan wartawan Kompas dan BBC di London. Kini bekerja sebagai penanggung jawab program pemberdayaan media untuk UNESCO Indonesia, Malaysia, Filipina, Timor Timur, dan Brunei Darussalam.

    APRIL 2005, di hadapan Perhimpunan Editor Surat Kabar Amerika Serikat, ”raja” media Rupert Murdoch menyampaikan pidato menyengat. Menurut Murdoch, pembaca telah meninggalkan surat kabar karena hilangnya sentuhan editor dan wartawan terhadap para pembaca. Sedangkan calon pembaca baru—yakni kaum muda—tak bisa direngkuh. ”Kaum muda ini jelas tidak menginginkan berita yang disampaikan bagaikan kitab suci,” ujar Murdoch.

    Kecenderungan ditinggalkannya surat kabar sebetulnya sudah lama muncul. Untuk periode 1995-2003, misalnya, data Asosiasi Penerbit Surat Kabar Sedunia menunjukkan jumlah total tiras surat kabar menyusut 2 persen di Jepang, 3 persen di Eropa, dan 5 persen di AS. Pada mulanya industri surat kabar menganggap penurunan tersebut sebagai kecenderungan sesaat. Nyatanya tidak. Data dari Audit Bureau of Circulations di AS mengenai jumlah tiras 20 surat kabar terkemuka di AS untuk periode Oktober 2005 sampai 31 Maret 2006 menunjukkan hanya lima surat kabar yang mengalami kenaikan, selebihnya merosot.

    Dua tahun lalu, guru besar jurnalisme dari AS, Philip Meyer, lewat bukunya The Vanishing Newspaper: Saving Journalism in the Information Age, juga sudah meramalkan bahwa jika tidak ada teroboson untuk merangkul kembali para pembaca, tahun 2040 akan menjadi tahun terakhir terbitnya surat kabar.

    Salah satu yang sering dituding sebagai penyebab merosotnya tiras surat kabar adalah Internet. Kaum muda merasa lebih nyaman mencari informasi lewat Internet. Namun penurunan jumlah tiras surat kabar juga disebabkan perilaku para pengelola surat kabar sendiri yang mengabaikan pembaca. Mereka merasa sebagai penguasa informasi yang sok tahu dan mendikte pembaca. Pendekatan seperti ini, menurut Murdoch, harus diubah total. Pertanyaan yang biasa dilontarkan para editor, ”Berita apa yang kita punya hari ini?” harus diganti menjadi ”Apakah ada orang yang menginginkan berita ini?”

    Kondisi ini diperburuk oleh kian rapuhnya integritas profesi wartawan. Sejumlah skandal terjadi. Bahkan The New York Times, selaku surat kabar paling berpengaruh di AS, pada 2003 pernah ternoda. Seorang repoter mudanya, Jayson Blair, terbukti melakukan 36 tindak plagiat dan fabrikasi berita. Skandal semacam ini, menurut pakar etika jurnalistik Bill Kovach, telah mengikis kepercayaan pembaca terhadap surat kabar.

    Penurunan tiras surat kabar ini sampai juga di Indonesia. Hasil riset AC Nielsen periode April-Juni 2006, misalnya, menunjukkan hampir semua surat kabar di Indonesia mengalami penurunan jumlah pembaca, dengan kisaran hingga 44 persen. Penyebabnya tentulah bukan Internet, mengingat masih rendahnya tingkat penggunaan Internet.

    Kuat dugaan penurunan ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, penurunan daya beli, yang menyebabkan sebagian masyarakat lebih memilih informasi yang gratis (televisi dan radio). Kedua, tergurusnya kredibilitas dan integritas. Kredibilitas terkait dengan lemahnya kemampuan profesional wartawan dan ketidakpedulian terhadap etika jurnalistik. Sedangkan integritas berhubungan dengan sikap sebagian pengelola surat kabar, yang dikaitkan dengan kasus-kasus suap, baik terang-terangan melalui tindak pemerasan maupun dengan menghalalkan praktek ”jurnalisme amplop” ataupun membuka diri untuk ”dibeli” oleh pihak yang berkuasa secara politik maupun finansial.

    Berbagai inovasi telah dilakukan oleh industri surat kabar untuk menyiasati situasi sulit ini. Misalnya dengan mengubah ukuran, kemasan, dan tampilan, melakukan konvergensi (versi cetak, versi online, dilengkapi arsip audio visual yang bisa diakses langsung pada saat yang sama). Inovasi baru ini layak disambut, namun tetap dengan sikap yang hati-hati, karena bukan mustahil bisa terperangkap menghasilkan liputan yang dangkal.

    Itulah juga yang diingatkan majalah berita mingguan The Economist edisi 24 Agustus dalam laporan utamanya bertajuk Who Killed the Newspaper?. Dikatakan bahwa banyak surat kabar mencoba menarik pembaca muda dengan mengalihkan variasi pemberitaan sehingga lebih berat ke hiburan, gaya hidup, dan topik lainnya yang kelihatan lebih relevan untuk kehidupan praktis, ketimbang menyajikan liputan internasional dan politik.

    Kemasan memang perlu diperhatikan, namun jangan melupakan esensi jurnalisme, yang berakar pada niat memburu kebenaran guna memberikan pencerahan dan pemberdayaan bagi masyarakat. Untuk itu, semua standar dan nilai jurnalistik yang kini kian banyak ditinggalkan harus ditegakkan kembali: sikap menggugat, verifikasi, tak malas dan tak lekas berpuas diri, tak surut mempertahankan nilai-nilai etika jurnalistik (keakuratan, keberimbangan, kepatutan, kejujuran, dan keadilan), sembari terus mengasah kecakapan dalam mengumpulkan bahan, melakukan analisis, dan menulis.

    Jika semua hal telah dilakukan dengan sepenuh upaya, masih ada harapan untuk menunda ”kematian” surat kabar sebagaimana diramalkan Philip Meyer. Surat kabar masih akan tetap tegak sebagai salah satu tonggak penting peradaban, untuk memperjuangkan kebenaran.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus