Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KONPERENSI Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu
Sosial (HIPIS) pada ujung tahun di Malang memilih tema yang
jitu: kemiskinan struktural. Bagi para ahli ilmu-ilmu sosial
dan para pengamat yang tertarik itu jelas gong yang tepat untuk
menutup tahun 1979 dan juga sekaligus menutup Tahun Kanak-kanak
Sedunia.
Mengikuti tulisan dan ulasan dalam koran, banyak sekali yang
mengesankan perihal kemiskinan struktural. Konon ada sarjana
yang bilang di kawasan Tanah Air tertentu kemiskinan mengambil
bentuk: manusia lahir, hidup dalam penderitaan, lalu mati.
Ungkapan seperti itu menyayat hati, apalagi diuraikan pada ujung
tahun kanak-kanak. Lahir konyol, hidup konyol mati konyol.
Siklus kehidupan yang konyol.
Maka dikupaslah beragam-ragam persoalan. Soal kemiskinan
alamiah, kemiskinan buatan, miskin informasi dan pelbagai hal
yang laun. Studi kasus dibahas. Metodologi digugat. Kegandrungan
yang berlarut terhadap metodologi kena tuding. Jalan-jalan
keluar dari perangkap kemiskinan juga diperbincangkan. Sayang
ada yang menamakannya semacam anti-klimaks tapi itu tidak
apa-apa. Biasa.
Di ujung tahun itu juga, dalam sebuah ceramah yang menyangkut
kemiskinan, saya dengar seorang sarjana dengan kesungguhan hati
bicara: "Apakah gunanya lagi berkaok-kaok soal kemiskinan?
Bukankah kita sudah dengar, sudah maklum, tapi jalan keluar
hampir tidak ada? Bukankah sudah jenuh?" Seruannya begitu polos.
Tidak bermaksud menyindir konperensi Malang dan studi-studi
kemiskinan lainnya. Namun, sudah cukuplah dulu.
Tahun 1980 saya sambut dengan tidur lelap. Tidak saksikan ritual
pergulingan tahun berupa bunyi lonceng, klakson, salam, cium,
toast apalagi ajojing. Saya kepingin tahun baru datang diam-diam
tanpa suara dan bersamaan dengan itu persoalan-persoalan
kemiskinan pun menyelinap tanpa suara, habis ditelan tahun yang
berlalu. Ingin ganti acara. Semoga enyah kisah lama -- kisah
kemiskinan dan jurang pendapatan -- setidaknya untuk sementara.
Saya ingin tahun baru membawa cerita baru yang lebih
menggairahkan daripada kemiskinan, sembari menikmati rezeki yang
nomplok: gaji bulan keempat belas yang disusul oleh kenaikan
gaji.
Namun sayang seribu sayang, tahun baru belum berumur seminggu,
gaji tambahan belum diterima, sudah lagi muncul di koran:
seputar dua ribu buruh dipekerjakan secara menyedihkan pada
sebuah industri di Jawa Barat. Kurang lebih lima ratus di
antaranya anak-anak dalam usia 10-14 tahun. Dengan upah yang
rendah mereka dipekerjakan 10 jam sehari. Sekaligus gambar buruh
bocah ini ditampilkan, jajan di warung terbuka di bawah pohon
waktu istirahat.
Adakah ini pemerasan? Melanggar peraturan yang berlaku? Menusuk
perasaan orang Indonesia yang begitu halus? Tapi juga mengapa
tidak bersekolah? Bukankah sudah jelas-jelas tercantum pada
Pasal 30 WD 1945: "Tiap-tiap warga negara berhak mendapat
pengajaran"?
Alangkah tragisnya dari sudut analisa ketenaga-kerjaan.
Anak-anak dipekerjakan di pabrik pada zaman negeri dilanda
masalah pengangguran, ketika demikian banyaknya orang dewasa
sulit memperoleh pekerjaan yang diperlukan untuk mengisi periuk
di rumah.
* * *
Sudah terpasang lima grafik di papan tulis dan juga diedarkan
10 halaman fotokopi tabel dan grafik. semuanya menyangkut upah
dan pendapatan, tingkat pendapatan dan perbedaan pendapatan para
karyawan. Tingkat dan perbedaan berdasarkan jenis industri,
berdasarkan pemiliknya (asing atau pribumi), berdasarkan padat
modal atau padat karya berdasarkan letaknya (di daerah pekotaan
atau pedesaan), berdasarkan latar belakang karyawan (pendidikan
dan pengalaman kerja) dan berdasarkan jenis kelamin.
Disoroti dari semua segi. Variabel-variabel dihubung-hubungkan
secara rapi sekali dan masalah yang begitu pelik menjadi
gamblang, mudah dimengerti. Diuraikan hukum permintaan dan
penawaran dan tak lupa dibahas model "surplus labour" Arthur
Lewis. Menurut Lewis pendapatan akan konstan di daerah
pertanian selama tenaga kerja yang berlebihan belum terserap di
sektor non-pertanian. Dengan kata lain, kenaikan upah (turning
point) bagi golongan miskin di pedesaan baru terjadi secara
berarti setelah masalah kelebihan tenaga kerja dapat dipecahkan.
Model yang begitu sederhana dan penting.
Semua terurai begitu sistematis, begitu meyakinkan. Bayaran pada
perusahaan asing lebih tinggi dari perusahaan pribumi pekotaan
lebih tinggi dari pedesaan lakilaki lebih tinggi dari
perempuan. Selaras dengan yang bergaji rendah lebih banyak
absen, begitu pun orang desa lebih kerap absen dibanding orang
kota.
Masuknya industri modern dan modal asing membuat selisih gaji
yang rendah dan tinggi semakin besar. Dan ini logis sekali.
ukankah tenaga yang "unskilled" melimpah ruah dan upah, betapa
pun rendahnya, diterkam berebutan? Sebaliknya yang "skilled" --
apalagi yang produktip, imajinatip, punya latihan luar negeri --
begitu langka dan layak sekali dilimpahi upah yang tinggi dan
fasilitas yang sepadan. Dan pula, mengingat pola konsumsi yang
semakin mutakhir, tingkat hidup mereka patut disejajarkan sejauh
mungkin dengan luar negeri.
Akhirnya sampailah kepada pemerataan. Kapan jarak pendapatan itu
menciut? Pembicara membanding-bandingkan pengalaman Amerika
Serikat dan Jepang dan suasana pun menjadi lebih serius. Jurang
pendapatan di Jepang termasuk relatip kecil dibandingkan dengan
di Amerika Serikat. Itu karena sifat perusahaan Jepang yang
khas, di mana terdapat kesetiaan kelompok yang dalam dan
kesejahteraan para karyawan mendapat perhatian yang layak. Namun
di Jepang sendiri jurang itu baru menciut dengan pesat
akhir-akhir ini, pada tahun enam puluhan dan tujuh puluhan,
setelah lebih 40 tahun mengalami industrialisasi. Prosesnya
cukup lambat, walaupun jelas lebih cepat dari beberapa negara
industri lainnya. Memakan waktu lebih 40 tahun walaupun mereka
waktu itu tidak mengalami masalah pengangguran yang parah,
seperti yang dialami Indonesia sekarang. Tidak menghadapi
masalah tenaga kerja yang melimpah ruah yang selalu siap
menerkam gaji yang rendah.
Seorang peserta nyeletuk: "Kalau begini, mengingat perkembangan
dan tendensi di Indonesia sekarang, pemerataan yang layak tidak
bisa dicapai sampai saya mati, atau katakanlah sepuluh atau dua
puluh tahun lagi." Suasana menjadi sunyi sejenak. Terasa sekali
bahwa kisah lama ini, kisah kemiskinan dan pemerataan. masih
terpaksa berulang kali dikisahkan untuk berpuluh tahun
mendatang. Kiranya jalan masih panjang, amat panjang, dan
dukacarita tak kenal bulan baru dan tahun baru.
Sayang, tahun baru dimulai dengan cerita begini. Apa boleh buat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo