Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Kisah Lama Di Tahun Baru

Indonesia kini mengalami masalah pengangguran yang tinggi, akibatnya upah pun rendah & terjadi jurang perbedaan pendapatan. berpuluh tahun lagi akan diseminarkan kembali tentang kemiskinan & pemerataan.

19 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KONPERENSI Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIS) pada ujung tahun di Malang memilih tema yang jitu: kemiskinan struktural. Bagi para ahli ilmu-ilmu sosial dan para pengamat yang tertarik itu jelas gong yang tepat untuk menutup tahun 1979 dan juga sekaligus menutup Tahun Kanak-kanak Sedunia. Mengikuti tulisan dan ulasan dalam koran, banyak sekali yang mengesankan perihal kemiskinan struktural. Konon ada sarjana yang bilang di kawasan Tanah Air tertentu kemiskinan mengambil bentuk: manusia lahir, hidup dalam penderitaan, lalu mati. Ungkapan seperti itu menyayat hati, apalagi diuraikan pada ujung tahun kanak-kanak. Lahir konyol, hidup konyol mati konyol. Siklus kehidupan yang konyol. Maka dikupaslah beragam-ragam persoalan. Soal kemiskinan alamiah, kemiskinan buatan, miskin informasi dan pelbagai hal yang laun. Studi kasus dibahas. Metodologi digugat. Kegandrungan yang berlarut terhadap metodologi kena tuding. Jalan-jalan keluar dari perangkap kemiskinan juga diperbincangkan. Sayang ada yang menamakannya semacam anti-klimaks tapi itu tidak apa-apa. Biasa. Di ujung tahun itu juga, dalam sebuah ceramah yang menyangkut kemiskinan, saya dengar seorang sarjana dengan kesungguhan hati bicara: "Apakah gunanya lagi berkaok-kaok soal kemiskinan? Bukankah kita sudah dengar, sudah maklum, tapi jalan keluar hampir tidak ada? Bukankah sudah jenuh?" Seruannya begitu polos. Tidak bermaksud menyindir konperensi Malang dan studi-studi kemiskinan lainnya. Namun, sudah cukuplah dulu. Tahun 1980 saya sambut dengan tidur lelap. Tidak saksikan ritual pergulingan tahun berupa bunyi lonceng, klakson, salam, cium, toast apalagi ajojing. Saya kepingin tahun baru datang diam-diam tanpa suara dan bersamaan dengan itu persoalan-persoalan kemiskinan pun menyelinap tanpa suara, habis ditelan tahun yang berlalu. Ingin ganti acara. Semoga enyah kisah lama -- kisah kemiskinan dan jurang pendapatan -- setidaknya untuk sementara. Saya ingin tahun baru membawa cerita baru yang lebih menggairahkan daripada kemiskinan, sembari menikmati rezeki yang nomplok: gaji bulan keempat belas yang disusul oleh kenaikan gaji. Namun sayang seribu sayang, tahun baru belum berumur seminggu, gaji tambahan belum diterima, sudah lagi muncul di koran: seputar dua ribu buruh dipekerjakan secara menyedihkan pada sebuah industri di Jawa Barat. Kurang lebih lima ratus di antaranya anak-anak dalam usia 10-14 tahun. Dengan upah yang rendah mereka dipekerjakan 10 jam sehari. Sekaligus gambar buruh bocah ini ditampilkan, jajan di warung terbuka di bawah pohon waktu istirahat. Adakah ini pemerasan? Melanggar peraturan yang berlaku? Menusuk perasaan orang Indonesia yang begitu halus? Tapi juga mengapa tidak bersekolah? Bukankah sudah jelas-jelas tercantum pada Pasal 30 WD 1945: "Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran"? Alangkah tragisnya dari sudut analisa ketenaga-kerjaan. Anak-anak dipekerjakan di pabrik pada zaman negeri dilanda masalah pengangguran, ketika demikian banyaknya orang dewasa sulit memperoleh pekerjaan yang diperlukan untuk mengisi periuk di rumah. * * * Sudah terpasang lima grafik di papan tulis dan juga diedarkan 10 halaman fotokopi tabel dan grafik. semuanya menyangkut upah dan pendapatan, tingkat pendapatan dan perbedaan pendapatan para karyawan. Tingkat dan perbedaan berdasarkan jenis industri, berdasarkan pemiliknya (asing atau pribumi), berdasarkan padat modal atau padat karya berdasarkan letaknya (di daerah pekotaan atau pedesaan), berdasarkan latar belakang karyawan (pendidikan dan pengalaman kerja) dan berdasarkan jenis kelamin. Disoroti dari semua segi. Variabel-variabel dihubung-hubungkan secara rapi sekali dan masalah yang begitu pelik menjadi gamblang, mudah dimengerti. Diuraikan hukum permintaan dan penawaran dan tak lupa dibahas model "surplus labour" Arthur Lewis. Menurut Lewis pendapatan akan konstan di daerah pertanian selama tenaga kerja yang berlebihan belum terserap di sektor non-pertanian. Dengan kata lain, kenaikan upah (turning point) bagi golongan miskin di pedesaan baru terjadi secara berarti setelah masalah kelebihan tenaga kerja dapat dipecahkan. Model yang begitu sederhana dan penting. Semua terurai begitu sistematis, begitu meyakinkan. Bayaran pada perusahaan asing lebih tinggi dari perusahaan pribumi pekotaan lebih tinggi dari pedesaan lakilaki lebih tinggi dari perempuan. Selaras dengan yang bergaji rendah lebih banyak absen, begitu pun orang desa lebih kerap absen dibanding orang kota. Masuknya industri modern dan modal asing membuat selisih gaji yang rendah dan tinggi semakin besar. Dan ini logis sekali. ukankah tenaga yang "unskilled" melimpah ruah dan upah, betapa pun rendahnya, diterkam berebutan? Sebaliknya yang "skilled" -- apalagi yang produktip, imajinatip, punya latihan luar negeri -- begitu langka dan layak sekali dilimpahi upah yang tinggi dan fasilitas yang sepadan. Dan pula, mengingat pola konsumsi yang semakin mutakhir, tingkat hidup mereka patut disejajarkan sejauh mungkin dengan luar negeri. Akhirnya sampailah kepada pemerataan. Kapan jarak pendapatan itu menciut? Pembicara membanding-bandingkan pengalaman Amerika Serikat dan Jepang dan suasana pun menjadi lebih serius. Jurang pendapatan di Jepang termasuk relatip kecil dibandingkan dengan di Amerika Serikat. Itu karena sifat perusahaan Jepang yang khas, di mana terdapat kesetiaan kelompok yang dalam dan kesejahteraan para karyawan mendapat perhatian yang layak. Namun di Jepang sendiri jurang itu baru menciut dengan pesat akhir-akhir ini, pada tahun enam puluhan dan tujuh puluhan, setelah lebih 40 tahun mengalami industrialisasi. Prosesnya cukup lambat, walaupun jelas lebih cepat dari beberapa negara industri lainnya. Memakan waktu lebih 40 tahun walaupun mereka waktu itu tidak mengalami masalah pengangguran yang parah, seperti yang dialami Indonesia sekarang. Tidak menghadapi masalah tenaga kerja yang melimpah ruah yang selalu siap menerkam gaji yang rendah. Seorang peserta nyeletuk: "Kalau begini, mengingat perkembangan dan tendensi di Indonesia sekarang, pemerataan yang layak tidak bisa dicapai sampai saya mati, atau katakanlah sepuluh atau dua puluh tahun lagi." Suasana menjadi sunyi sejenak. Terasa sekali bahwa kisah lama ini, kisah kemiskinan dan pemerataan. masih terpaksa berulang kali dikisahkan untuk berpuluh tahun mendatang. Kiranya jalan masih panjang, amat panjang, dan dukacarita tak kenal bulan baru dan tahun baru. Sayang, tahun baru dimulai dengan cerita begini. Apa boleh buat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus