Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Kontinuitas Tradisi Dan Pesanan

Jembatan, masjid, candi, stasiun angkasa luar, dll. Adalah kontinuitas pesanan & tak tahan lama. Kontinuitas tradisi yang tahan lama, contohnya petani yang tahu jika menanam padi terus menerus akan diserang hama

16 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENJELANG tengah hari 13 Oktober 1971, sesuatu yang berumur 2500 tahun dicoba dihidupkan kembali. Ini terjadi di sebuah kota kecil yang indah di Iran, Shiraz. Raja negeri itu, yang sewaktu muda bernama Mohammad Reza dan kini bergelar Raja di Raja Aryamehr, berdiri di depan makam Cyrus Yang Agung. Ia berpidato, memuji "pendahulu"-nya yang wafat 530 tahun sebelum Masehi itu. Lalu ia meletakkan karangan bunga. Angin mengibarkan puluhan bendera Iran modern di udara cerah yang kering. Di belakang makam, pucuk-pucuk cemara mendesau. Di sekeliling, ratusan perwira berseragam kebesaran tegak dan ratusan tamu berpakaian upacara dari pelbagai negara hadir. Mereka adalah saksi: Shahinshah Aryamehr -- yang dulu adalah anak seorang Komandan Brigade tentara Persia yang melakukan kudeta --sedang memanjat tangga sejarah yang jauh. Di hari itu ia memaklumkan diri sebagai pewaris yang sah dari pendiri Pasargadae, "mahligai negeri Pars". Makam Cyrus II di Pasargadae, bekas ibukota kuno Kekaisaran Achaemenia itu, memang mempesona. Sederhana tapi agung, makam setinggi 3 meter itu membisu di atas enam tangga batu marmar yang telah dimakan abad. Iskandar Zulkarnain pernah bersedih 2000 tahun yang lalu di sini, ketika ia pulang dari peperangan di India dan mendapatkan bangunan itu telah terbuka serta rusak. Penakluk Persia itu lalu menyuruh Aristohulus, jenderalnya, buat memperbaiki. Kini di abad ke-20 Shah Iran memugarnya lebih jauh ke dalam dirinya sendiri. Dan di kota Shiraz di hari itu para ahli Iranologi pun tak ketinggalan ikut meramaikan peringatan 2500 tahun berdirinya kekaisaran Persia. 250 sarjana dari 2 5 negeri pada membacakan tulisan mereka tentang "Kontinyuitas Peradaban dan Kebudayaan Iran" .... Kontinyuitas? Itulah yang dicari. Di bekas kota kuno Persepolis, sore harinya, sisa-sisa sejarah yang menakjubkan, batu-batu besar yang ditata dan dipahat di zaman yang telah hilang, dicoba diajak bicara kembali. Satu parade besar dipertunjukkan. Yang berbaris adalah pasukan-pasukan berpakaian seragam dari 10 dinasti selama 2500 tahun -- diakhiri dengan pasukan wangsa Pahlevi yang kini memerintah. Namun sejarah, tentu saja, bukanlah sebuah kreasi show business. Masa lalu yang begitu jauh belum tentu punya sambungan dengan masa kini, tidak seperti lakon ketoprak yang bertautan dari adegan demi adegan. "Semua kisah sejarah," kata sejarawan Belgia Henri Pirenne, "sekaligus suatu sintesa dan juga hipotesa". Ia sintesa karena menggabungkan fakta-fakta yang diketahui dalam satu keseluruhan yang padu. Ia hipotesa karena hubungan antara fakta-fakta itu belum tentu dapat dibuktikan. Seringkali, kita memilih hipotesa yang paling menyenangkan. Shah Iran memilih hubungan antara dirinya dengan Cyrus yang Agung. Raja-raja Mataram Islam, yang sebenarnya berawal pada seorang petani yang bernama Ki Ageng Pemanahan, menghubungkan diri dengan Majapahit. Kontinyuitas dibikin, dan lahirlah-sejenis dongeng. Tapi ada sebenarnya kontinyuitas yang tak dibangun oleh dongeng, yang tak dipupuk oleh mithos. Ia berjalan sembari menghimpun pengalaman yang berharga. Ia nampak pada seorang petani Jawa tua, yang tahu kenapa kini banyak hama dan berbicara begini kepada anaknya: "Tanah itu, nak, perlu istirahat, tidak boleh ditanami padi terus-menerus." Kontinyuitas itu juga terlihat pada para petani Bali, yang pandai membangun rumah tahan gempa -- karena mereka, berbeda dengan para arsitek yang baru lulus, kenal betul akan bumi mereka. Berabad-abad. Kontinyuitas itulah yang mungkin disebut tradisi. Tapi ia tak terdiri dari benda-benda: Prambanan, Persepolis atau piramid. Lebih hebat dari Persepolis, lebih menakjubkan dari Prambanan, ialah proses kelahiran semua itu. Apa boleh buat. Jembatan, jalan, mesjid, candi, Persepolis, Jagorawi, atau stasiun angkasa luar, hanyalah hasil akhir. Mereka bisa dibeli, dipesan dari negeri asing atau diadakan dengan paksa. Mereka suatu saat perlu diperbaiki, atau bahkan ditinggalkan. Maka haruskah kita lebih menyukai bangunan-bangunan mati itu di atas segalanya, juga di atas semangat dan kreatifitas sendiri yang tahan lama?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus