Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KIAN seretnya kredit bank untuk sektor riil menjadi alarm bagi perekonomian. Bila dibiarkan, hal itu akan memperlambat pertumbuhan ekonomi yang akhirnya bisa mengerek naik angka pengangguran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pertemuan tahunan Bank Indonesia pekan lalu, Presiden Joko Widodo mengkritik perilaku perbankan yang lebih senang menempatkan dana di Surat Berharga Negara (SBN) dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) ketimbang menyalurkan kredit ke sektor riil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kritik Jokowi bahwa perbankan pelit menyalurkan kredit ke sektor riil seperti menampar wajah pemerintah sendiri. Pasalnya, selama ini justru pemerintah yang aktif mendorong perbankan membeli SBN untuk membiayai defisit anggaran.
Pemerintah memang memerlukan dana cepat dan besar untuk menanggulangi pandemi Covid-19 serta membiayai proyek-proyek mercusuar di bidang infrastruktur. Masalahnya, pemerintah lebih mengandalkan utang, antara lain lewat penerbitan SBN, alih-alih menggenjot penerimaan negara dari sektor yang lebih produktif.
Kepemilikan SBN oleh perbankan saat ini jauh melampaui kepemilikan sebelum masa pandemi. Sebelum masa pandemi Covid-19, perbankan menguasai 20 persen dari total SBN yang diterbitkan pemerintah. Pada 2019, kepemilikan SBN oleh perbankan adalah Rp 581 triliun atau sekitar 21,1 persen dari total outstanding SBN sebesar Rp 2.750 triliun. Pada 2020, penempatan dana perbankan di SBN mencapai Rp 1.375 triliun, lalu terus naik menjadi Rp 1.697 triliun pada akhir 2022.
Kebijakan pemerintah yang jorjoran menerbitkan SBN membuat pendanaan ke sektor riil menyusut. Pada saat yang sama, likuiditas juga turun karena dana pihak ketiga yang dihimpun bank merosot. Duit masyarakat, terutama nasabah retail, juga banyak yang masuk ke SBN, meninggalkan deposito.
Selain pemerintah, Bank Indonesia berperan membuat likuiditas makin ketat dengan penerbitan SRBI. Ada dua kemungkinan mengapa bank sentral melakukan ini. Pertama, untuk mengatasi fluktuasi kurs rupiah terhadap dolar AS. Kedua, untuk menjaga nilai tukar rupiah tanpa harus menaikkan suku bunga acuan.
Jumlah dana perbankan dan pihak ketiga yang terserap lewat SRBI pun sangat besar. Dalam waktu kurang dari tiga bulan, sejak pertama kali diterbitkan pada 15 September 2023, instrumen baru Bank Indonesia ini mampu meraup dana hingga Rp 168,81 triliun pada 21 November lalu.
Bank saling berebut menempatkan dana di SBN dan SRBI karena imbal hasil yang ditawarkan relatif tinggi. Dengan imbal hasil SBN dan SRBI yang rata-rata di atas 6 persen, perbankan jelas lebih suka membeli surat berharga ini ketimbang repot-repot menyalurkan kredit ke sektor riil, terutama usaha mikro, kecil, dan menengah, yang berisiko macet. Walhasil, selama periode Januari hingga Oktober 2023, pertumbuhan kredit hanya 7,46 persen. Angka itu lebih rendah dibanding pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu, yaitu 9,79 persen.
Perlu kebijakan yang lebih tegas untuk mendorong perbankan menyalurkan lebih banyak kredit ke sektor riil. Bila tidak, aktivitas produksi pelaku usaha dan konsumsi masyarakat akan semakin lesu. Pada gilirannya, tren itu akan mengancam stabilitas ekonomi yang sudah rapuh.*
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo