Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Menyoal Dana Sosialisasi Bulog

Ketika Bulog menjelma jadi Perum Pangan, ikut terlibas dana puluhan miliar. Mengapa tidak lebih hemat? Mengapa perlu Rp 4,9 miliar hanya untuk rapat?

6 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Badan Urusan Logistik?lebih sering disebut Bulog?akan bersalin rupa menjadi Perusahaan Umum Logistik Pangan Nasional pada Januari 2003. Perubahan jatidiri adalah satu hal yang biasa di lingkungan badan usaha milik negara (BUMN); misalnya dari perjan (perusahaan jawatan) berubah menjadi persero, atau dari perum (perusahaan umum) berganti rupa menjadi perjan. Tapi bagi Bulog, yang berstatus sebagai lembaga non-departemental, perubahan itu rupanya memerlukan dana puluhan miliar rupiah.

Informasi seputar pembentukan Perum Pangan baru terungkap pada September 2002. Saat itu pun yang dipersoalkan bukan perubahan statusnya, melainkan biaya untuk menyosialisasi perubahan tersebut. Menurut Bulog, semula biayanya Rp 33 miliar, tapi kemudian bisa ditekan menjadi Rp 26 miliar. Anggota DPR yang mendengar perihal angka-angka itu awal September lalu menegaskan, biaya miliaran rupiah itu terlalu mahal. Mereka pun langsung mewanti-wanti agar pemakaian dana harus jelas dan transparan.

Sejauh ini nama kondang Bulog memang terkait dengan banyak skandal. Tak bisa lain, Bulog harus berusaha agar segala hal yang menyangkut perubahan statusnya tidak menimbulkan kesalahpahaman. Masalahnya, apa saja yang harus di-cover oleh program sosialisasi Bulog tersebut sehingga biayanya sama dengan ongkos untuk mendirikan sejumlah perusahaan baru. Ini pertanyaan mudah, tapi jawabannya agak sukar. Memang disebut-sebut dalam Rp 26 miliar itu sudah tercakup honorarium konsultan, ongkos launching, biaya pembuatan logo baru, uang untuk rapat-rapat koordinasi dengan berbagai instansi, dana sekretariat, dan biaya iklan di sejumlah stasiun televisi. Tapi, benarkah untuk rapat koordinasi saja diperlukan Rp 4,9 miliar? Salah hitungkah Bulog, atau majalah ini salah catat?

Secara bodoh sekalipun bisa diketahui bahwa honor konsultan semestinya tidaklah terlalu besar, bahkan mungkin tidak diperlukan. Soalnya, pembentukan Perum Pangan tinggal mengikuti mekanisme dan aturan main yang sudah baku. Persetujuan DPR tidak diperlukan, sehingga Bulog pun tidak mesti menyediakan dana sosialisasi yang tinggi bagi para wakil rakyat. Pembuatan logo bisa diserahkan kepada desainer Indonesia (yang tidak harus dibayar dengan dolar), sedangkan biaya peluncuran Perum Pangan?di hotel paling mewah sekalipun?paling banyak menghabiskan Rp 1 miliar.

Dari berbagai paket acara penahbisan Perum Pangan, biaya paling besar kabarnya dialokasikan untuk membayar iklan televisi. Dan biaya iklan, yang dipatok sebesar Rp 15 miliar, cukup realistis. Masalahnya, hingga pekan ini tidak sepotong pun iklan Bulog muncul di layar kaca. Kalau benar perusahaan itu akan dilahirkan pada Januari 2003, profilnya tentu sudah harus diberitakan sejak Desember lalu. Janganlah masyarakat hanya dicekoki informasi seputar dana miliaran rupiah, tanpa bukti-bukti yang kasatmata. Terlebih, dalam kondisi ekonomi yang mencekik seperti sekarang, sangatlah tidak patriotik kalau Bulog menghamburkan uang tanpa ada kejelasan dalam penyalurannya.

Tentu, sebagai peristiwa bisnis, pembentukan Perum Pangan harus disosialisasi sebaik-baiknya. Namun pembaca juga akan sependapat kalau dikatakan bahwa yang lebih penting ialah perusahaan itu terlahir sebagai bayi sehat, tanpa embel-embel KKN ala Bulog. Perum Pangan juga harus bebas dari utang-utang Bulog?jadi, audit BPKP mutlak dilakukan. Dan karena masalah pangan adalah masalah strategis, siapa pun yang memimpin Perum Pangan kelak hendaknya bekerja secara profesional, bersih, tepercaya. Dengan era perdagangan bebas AFTA yang dimulai Januari 2003 ini, tak bisa tidak urusan pangan perlu ditangani secara lebih cerdik, tapi juga lebih terbuka. Indonesia adalah konsumen beras terbesar di dunia, dan adalah tugas utama Perum Pangan untuk menjadikan pasar beras dunia sebagai buyer's market, bukan seller's market.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus