Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Seno Gumira Ajidarma
panajournal.com
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Namanya juga Multatuli, yang gaya penulisannya meletup-letup dan topiknya bisa meloncat kian kemari, sehingga profesor seperti J.T. Buys bahkan bisa menilai Max Havelaar (1860) pada tahun terbitnya bahwa karya itu "tidak memiliki disiplin penulisan" (Peransi, 2005: 66). Bagaimanapun, bahasa dan komposisi karya itu sebagai teks susastra telah membuat nama Multatuli menjulang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Tulisan "tanpa disiplin" pun terbentuk dalam "Surat-surat Cinta", yang terdapat pada Buah Renungan (1974) terjemahan Asrul Sani atas seleksi dari kumpulan Volledige Werken 1-7 (1950-1953). Dalam surat-surat kepada Tine (faktual) dan Fancy (fiktif), terselip perbincangan sejarah kekuasaan yang sebetulnya "dongeng asal-usul" kekuasaan. Dongeng-dongeng ini merupakan satire atas pembenaran kekuasaan. Tepatnya, kibul kekuasaan. Semuanya delapan kibul:
Kibul Kesempurnaan. Seorang adik meminta kakaknya mengambil buah karena badannya lebih besar dan jangkauannya lebih panjang. Lantas, kakaknya melihat kambing gunung minta tolong kepada singa untuk mencari anaknya karena tubuh singa lebih sempurna. Singa itu memakan si kambing. "Mengapa?" Tanya sang kakak. "Adil ia kumakan," jawab singa, "cakar dan gigiku memenuhi syarat." Ketika adiknya minta diambilkan buah lagi, kakaknya berkata, "Jadilah abdiku supaya kau tidak kumakan." Adiknya mengabdi dengan sedih karena kakaknya mendengar gagasan ini dari singa.
Kibul Penjeratan. Seorang musafir kaya membawa harta dengan pengawal yang lebih banyak dari gerombolan perampok. Para perampok pun tewas ketika menyerangnya. Seorang perampok menanyakan cara terbaik agar berhasil kepada seorang suci. "Gampang," katanya, "lemparkan jeratku ke lehernya, nanti akan ia perintahkan semua pengawalnya menyerahkan apa saja yang menjadi kehendakmu." Memang malang musafir itu karena jeratnya bernama Kepercayaan.
Kibul Penghukuman. Ada anak bertanya kepada bapaknya, mengapa matahari tidak jatuh. Tidak tahu dan malu membuat bapaknya menghukum si anak, yang lantas tidak pernah bertanya lagi tentang apa pun. Anak itu hidup 6.000 tahun, bahkan lebih, dengan tetap dungu dan bodoh.
Kibul Kemabukan. Philoinos mabuk tapi ia mau minum tiga guci lagi. Hudoor berkata jangan tapi, kata Philoinos, gurunya yang menyuruh minum. Hudoor berkata gurunya tidak akan menyuruh seperti itu. Philoinos hanya berkata, "Tiga... tiga... tiga!" Maka untuk ketiga kalinya ia rebah di jalanan, tidak bangkit lagi sampai hari ini.
Kibul Kehormatan. Ada ibu khawatir anak bayinya kelak pergi. "Berikanlah cinta," kata Genius, "tentu ia tak akan pergi." Ketika anak menjadi banyak, sulit untuk mencintai semua sehingga perintah saja yang diberikan. "Hormatilah kami!" kata orang tuanya. Setelah pandai berjalan, anak-anak pergi. Pada perintah itu ada janji "Supaya kalian selamat!" Ada juga yang tetap tinggal tapi bukan karena mendapatkan cinta. Sampai sekarang masih begitu.
Kibul Pewarisan. Krates luar biasa kuat, tapi Krates II, anaknya, sakit tulang namun mesti menduduki singgasana. Rakyatnya cukup bodoh untuk tahu bahwa anak menggantikan bapak. Kalau Krates II bilang "Mari!", mereka pergi dan kalau diperintah "Pergi!" malah datang berlari-lari. Krates II tak kalah bodoh sehingga tak mampu memberi perintah terbalik.
Kibul Pembodohan. Thugater, gadis pemerah susu yang sabar, mampu mendapat kepala susu dari sapi-sapi susu. Kakak-kakak lelakinya tidak karena ingin menggunakan waktu untuk yang lain. "Siapa akan memerah susu?" tanya ayahnya. "Thugater saja," kata mereka, "jangan ajarkan apa pun agar ia memerah sampai tua." Ayahnya tak setuju karena Thugather tidak bodoh. "Katakan saja: pengetahuan, pengertian, dan keinginan adalah dosa bagi gadis," jawab kakak-kakaknya. Itu disampaikan. Thugater hanya tahu memerah susu sampai sekarang.
Siasat Pendustaan. Kurma Hasan kecil, kurma Aouled besar, maka kurma Hasan tak pernah laku. Seorang darwis yang membawa burung dari Timur Jauh menasehati: "Katakan pada burung ini, kurmamu tiga kali lebih besar dari kurma Aouled." Burung itu mengulangnya terus dan orang-orang membeli kurma Hasan. Sekarang kurma Aouled hanya dibeli oleh Hasan.
Itulah pandangan Multatuli tentang kekuasaan dalam cara-cara merebut, mempertahankan, dan mensahihkan kekuasaan.