Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pilihan terbaik bagi Prabowo Respatiyo Caturroso, Direktur Jenderal Peternakan Kementerian Pertanian, barangkali harus mundur dari jabatannya. Apalagi kalau benar kegelisahannya sudah membuncah ke titik didih. Ia mengaku tak tahan dijepit dari segala arah dan ditekan para patron di kantornya untuk membikin keputusan yang bertentangan dengan nurani.
Padahal Prabowo belum setahun menempati posisi penting sebagai pengatur lalu lintas kuota impor daging. Kursi ini dia rasakan semakin ”panas” sehingga membuatnya tak betah. Desakan untuk mengutamakan kepentingan kelompok di atas kepentingan negara makin kuat. Kuota impor daging sapi, misalnya, dijadikan bancakan oleh beberapa elite Partai Keadilan Sejahtera, yang terafiliasi dengan Menteri Pertanian.
Di kalangan importir daging, skandal ini kerap digunjingkan sebagai ”daging berjanggut” karena terkait dengan polah sejumlah politikus di partai yang selalu mengklaim sebagai partai bersih itu. Mereka, dengan menggunakan pengaruh yang kuat di kementerian itu, lantas menekan para pejabat di sana, termasuk Dirjen Prabowo, agar memberikan fasilitas kuota kepada pihak tertentu yang menjanjikan keuntungan untuk partai—dan tentu saja buat kantong mereka pribadi.
Intervensi dikeluhkan semakin deras. Hilmi Aminuddin dan Suripto, dua tokoh paling berpengaruh di Partai Keadilan Sejahtera, diduga cawe-cawe atas jatah impor daging. Mereka mendesak agar importir tertentu, konco-konco mereka, diberi jatah impor daging sapi dengan jumlah naudzubillah. Menggunakan kekuatan dua tokoh ini secara langsung, atau lewat perantaraan kerabat dan keluarganya, para makelar sibuk mengutip beberapa ribu rupiah dari setiap kilogram jatah izin impor daging.
Kue daging sapi impor memang amat gurih. Tingkat konsumsi daging per kapita penduduk Indonesia masih amat rendah, yakni tujuh kilogram per tahun. Bandingkan dengan Malaysia, yang konsumsi dagingnya per kapita mencapai 59 kilogram per tahun. Singapura menghabiskan 49,5 kilogram per tahun, dan Filipina 13 kilogram per tahun. Pertambahan penduduk dan meningkatnya kesadaran akan pentingnya gizi membuat ruang menggenjot konsumsi daging di negeri ini masih terbuka amat luas.
Persoalannya, peternak sapi lokal tak sanggup mencukupi kebutuhan domestik yang mencapai 350-400 ribu ton. Impor lalu dijadikan kunci jawaban mudah selama bertahun-tahun. Tahun lalu, 120 ribu ton daging sapi impor didatangkan dengan laba minimal Rp 3 triliun. Margin keuntungan ini tentu saja sangat menggiurkan dan menggoda banyak pihak, baik pemain lama maupun pendatang baru yang punya cantolan dengan elite partai tadi.
Babak baru impor daging dimulai tahun lalu. Ini terjadi ketika Menteri Suswono mencanangkan swasembada daging yang ditargetkan tercapai pada 2014, sebuah tekad yang sebetulnya bagus dan patut dipuji. Celakanya, tak ada program konkret yang memungkinkan swasembada terwujud. Tak ada skema insentif modal bagi peternak. Tak ada program serius untuk mendorong sapi beranak-pinak. Tak ada pula program menyehatkan mekanisme pasar.
Lebih parah lagi, data sahih populasi sapi lokal pun tak tersedia. Coba tanyakan kepada para pejabat di kementerian itu, berapa jumlah induk sapi, pejantan, dan pedet di Indonesia. Wallahualam. Tanpa data sahih, tanpa program nyata, Pak Menteri lalu memainkan gunting intervensi di ujung rantai. Dia memangkas kuota impor daging sapi. Tahun lalu, target impor dilorotkan menjadi 67 ribu ton dan tahun ini 50 ribu ton.
Buntutnya, pasar justru kelimpungan. Restoran, supermarket, dan pedagang retail menjerit. Asosiasi Distributor Daging Indonesia mengeluhkan banyak anggotanya bangkrut. Harga daging melonjak 30 persen dalam satu semester terakhir. Rebutan jatah izin impor menjadi makin seru. Ujungnya, realisasi impor daging tetap tinggi. Tahun lalu tercatat 120 ribu ton. Tahun ini, belum genap satu semester berlalu, sudah terdengar kabar kuota dikerek mencapai 90 ribu ton.
Kisruh impor daging sapi ini seharusnya disikapi serius. Memangkas kuota impor, tanpa diimbangi program riil memacu pertumbuhan ternak, malah mendorong peternak berlomba memotong sapi betina produktif. Padahal sapi betina inilah yang menjamin kelangsungan pertumbuhan populasi sapi lokal. Jika hal ini terus berlangsung, swasembada daging pastilah hanya sebatas mimpi.
Kementerian Pertanian jelas sangat penting dalam mengatasi sengkarut ini. Instansi ini harus bebas dari segala kepentingan pribadi, kelompok, dan juga partai politik. Kalau Dirjen Prabowo akhirnya jadi mundur, jelas ini merupakan tamparan keras bagi Menteri Suswono. Berarti ada masalah serius yang membutuhkan campur tangan Presiden Yudhoyono untuk segera mengevaluasi kinerja di kementerian itu. Jika memang menterinya tak cakap, tak usahlah dipertahankan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo