Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagong Suyanto
Guru Besar Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial Universitas Airlangga
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keberhasilan pemerintah menurunkan angka kemiskinan hingga menyentuh satu digit, yakni 9,82 persen, per Maret tahun ini patut diapresiasi. Ini angka terendah dalam 20 tahun terakhir. Namun, di masa depan, upaya untuk menurunkan angka kemiskinan niscaya makin berat karena yang tersisa adalah kelompok masyarakat yang paling miskin. Berbeda dengan keluarga miskin, yang sekadar masuk kategori miskin atau dekat dengan kemiskinan yang kemungkinan usaha produktifnya masih bisa didorong, keluarga paling miskin umumnya adalah kaum papa, tidak berdaya, rentan, dan sama sekali tidak memiliki akses ke sumber-sumber permodalan dan pasar. Mereka kebanyakan adalah buruh tani, buruh nelayan, buruh industri kecil, dan buruh serabutan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
John Friedmann (1992) dalam bukunya, Empowerment, The Politics of Alternative Development, mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasi basis kekuatan sosial. Basis itu meliputi modal produktif atas aset, seperti tanah; sumber keuangan; organisasi sosial-politik untuk mencapai kepentingan bersama, seperti partai politik dan koperasi; dan jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang, pengetahuan, dan keterampilan yang memadai.
Pengalaman selama ini telah banyak membuktikan bahwa program pembangunan dalam bentuk apa pun, entah bantuan modal usaha, teknologi, atau proses pendampingan, sering kali bersifat meritokrasi karena tidak didukung oleh kesiapan basis sosial masyarakat miskin. Bagaimana mungkin buruh tani dapat menikmati kenaikan harga beras jika mereka tidak memiliki lahan?
Seperti dikatakan Vic George dan Paul Wilding (1992), kebijakan yang berorientasi pertumbuhan dan hanya mengutamakan kesamaan kesempatan berkompetisi makin kehilangan daya tariknya karena kebijakan-kebijakan egaliter ternyata telah membuahkan hasil yang tidak egaliter. Kedua ahli ini juga menyatakan kebijakan yang terlalu menekankan unsur persamaan kesempatan saja cenderung bersifat meritokrasi. Penekanan itu lebih ditujukan pada persamaan dalam bersaing daripada persamaan dalam hasil yang dicapai. Jadi, semacam turunan langsung dari individualisme yang dibalut dan dimanusiawikan melalui usaha-usaha negara kesejahteraan atau merupakan hasil konstelasi nilai-nilai yang mencerminkan kompromi antara nilai laissez-faire dan persamaan.
Kemiskinan terjadi sesungguhnya bukan karena tiadanya etos wirausaha atau faktor-faktor internal orang miskin itu sendiri. Fenomena "lingkaran kemiskinan" bukanlah satu kawasan yang tidak terkait dengan fenomena "kawasan berlebihan". Kemiskinan pada dasarnya justru terjadi sebagai akibat dari eksploitasi atau pengambilan hak secara kurang adil atas hak orang-orang miskin. Posisi tawar yang lemah, ketidakberdayaan, dan tidak dimilikinya akses terhadap hukum dan perlindungan sosial adalah faktor utama yang menyebabkan keluarga paling miskin kerap kali mudah diperlakukan tidak adil.
Dengan dukungan dana sekitar Rp 1.443,3 triliun atau 65,5 persen dari total belanja negara tahun 2018, harus diakui telah banyak sumber daya yang dialokasikan pemerintah untuk mempercepat upaya penanganan masyarakat miskin. Tapi sekadar mengandalkan pada program yang sifatnya amal-karitatif, untuk memberdayakan keluarga paling miskin tentu tidaklah cukup.
Menurut David C. Korten (1984), untuk memerangi kemiskinan secara frontal di semua sektor, yang diperlukan sebenarnya adalah kebijakan yang lebih mendasar, sebuah kebijakan anti-kemiskinan yang benar-benar berdimensi kerakyatan. Konsep utamanya adalah memandang inisiatif kreatif dari rakyat sebagai sumber daya pembangunan yang utama dan memandang kesejahteraan material dan spiritual mereka sebagai tujuan.
Pembangunan yang berdimensi kerakyatan memberi peran kepada individu sebagai aktor yang menetapkan tujuan, mengendalikan sumber daya, dan mengarahkan proses yang mempengaruhi kehidupannya. Untuk memastikan mereka memperoleh hak mereka secara adil, yang dibutuhkan adalah bentuk-bentuk perlindungan dan jaminan sosial yang nyata. Penjaminan hak atas tanah, misalnya, adalah bentuk perlindungan tersebut.