Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ABDURRAHMAN Wahid seperti buku yang tak pernah selesai dipelajari. Ia wafat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Rabu malam pekan lalu, tapi legasi Presiden RI keempat itu semogalah menjadi pelajaran bagi para pemimpin negeri.
Saat hampir semua pemimpin menjadi birokrat pemuja citra, Wahid tak ambil pusing dengan potret dirinya. Dia memilih menegakkan yang dia yakini membuat Indonesia lebih baik. Kontroversi, kecaman, dan musuh politik yang jumlahnya terus membengkak tak membuatnya surut.
Mungkin benar, resep kepemimpinannya tidak sukses untuk membuatnya kokoh di puncak kekuasaan. Ia hanya bertahan di Istana selama 642 hari. Namun ia yang dijuluki ad-dakhil atau sang penakluk itu memiliki sederet kualitas kepemimpinan yang patut diteladankan.
Sebagai penganut Gandhi, Wahid memuja perdamaian. Dedikasinya menegakkan jalan nonkekerasan membuat sosok Wahid mendunia. Perdana Menteri Israel Shimon Peres menghormatinya sebagai sosok pemimpin yang nonkonvensional. Dia bergerak dengan panduan spiritual, tidak sibuk dalam pagar sempit aturan administratif.
Gus Dur, sebutan hormat untuknya, layak dikenang sebagai pendekar keberagaman. Kata pluralisme identik dengannya. Dia membela kalangan minoritas, kaum terpinggirkan, yang berbeda, sing liyan. Dia tempat bersandar korban pelanggaran hak asasi, waria, gay, penganut aliran di luar arus utama, juga musisi yang dituduh menghina agama. Gus Dur, dengan kursi roda, dan mata tak mampu melihat, datang memberikan dukungan kepada Bibit-Chandra di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi.
Jauh sebelum menjadi presiden, dia dihormati kalangan non-Islam lantaran membangun dialog antar-iman. Dia tak memberikan tempat bagi pemahaman keagamaan yang picik. Wahid tak segan mengecam kelompok Islam garis keras yang membela Tuhan dengan jalan anarki.
Wahid melikuidasi Departemen Penerangan dan membuka keran kebebasan pers. Departemen Sosial, yang dinilai tidak akuntabel menyalurkan bantuan, ditutup. Peraturan yang mendiskriminasi warga Tionghoa dicabut. Konghucu diakui eksistensinya. Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional. Barongsai bebas berpentas kapan saja.
Daftar legasi Wahid masih panjang. Lambang bintang kejora, yang di masa Orde Baru dianggap sebagai simbol pemberontakan, ditetapkan sebagai simbol budaya lokal Papua. Pada tahun 2000, Wahid merintis jalan mengakhiri konflik berdarah di Aceh. Konsep damai yang disusun pada saat itulah yang mendasari kesepakatan damai Helsinki, Agustus 2005.
Yang membedakan Wahid dari pemimpin lain, dia berani meminta maaf. Wahid merupakan satu-satunya kepala negara yang meminta maaf atas tragedi pembantaian 1965-1966. Dia juga meminta maaf kepada Timor Leste atas konflik di seputar referendum. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi RI-Timor Leste dibentuknya, meskipun tak terlalu sukses.
Tak semua orang nyaman dengan gaya Wahid. Sang kiai susah dan tak mungkin dikendalikan. Sebuah guyonan menyebutkan ada tiga hal yang tak pasti di Indonesia: hidup, mati, dan Gus Dur. Lepas dari kekurangannya, Gus Dur sudah menaklukkan hati rakyat. Sebuah prestasi yang langka.
Itu terlihat di ujung hidupnya. Banyak yang melepas kepergian sang kiai dengan air mata. Ribuan orang mengalir ke rumah duka di Ciganjur dan di Jombang. Salat jenazah digelar berbilang kali. Doa bersama berkumandang untuknya di masjid, kelenteng, gereja, bahkan di kafe-kafe yang menggelar acara tutup tahun.
Selamat jalan, Gus….
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo