Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM hal perlakuan terhadap buku, Kejaksaan Agung belum beranjak dari tabiat Orde Baru dan Orde Lama. Di zaman yang gelap itu, buku bisa dilarang beredar karena alasan yang samar. Jika bukan mengganggu ketertiban umum, alasan yang lazim diberikan adalah menyebarkan paham komunis/Marxisme-Leninisme. Banyak yang sudah jadi korban. Buku-buku Pramoedya Ananta Toer cuma salah satunya. Boleh tak percaya, Kejaksaan Agung bahkan pernah ”memeriksa dan mengawasi” Atlas Lengkap Indonesia dan Dunia—entah untuk alasan apa.
Tabiat buruk itu berulang sekarang, sebelas tahun setelah Orde Baru ditinggalkan. Kali ini yang jadi korban adalah Dalih Pembunuhan Massal (John Roosa), Suara Gereja bagi Umat Tertindas (Socratez Sofyan Yoman), Lekra Tak Membakar Buku (Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan), Enam Jalan Menuju Tuhan (Darmawan M.M.), dan Mengungkap Misteri Keberagaman Agama (Syahruddin Ahmad).
Alasan pelarangan juga seperti mengulang ”lagu” lama: mengganggu ketertiban umum. Aparat Kejaksaan Agung seperti kehabisan akal untuk mengelaborasi argumen. Kata seorang jaksa: ”Pokoknya, jika mengganggu ketertiban dan menyebarkan paham komunis, pasti kami larang.”
Mengganggu ketertiban? Ambil contoh Dalih Pembunuhan Massal. Buku yang ditulis sejarawan Kanada itu jelas bukan petunjuk menggalang massa untuk menjatuhkan pemerintah, sehingga tak punya potensi mengundang huru-hara. Terpilih sebagai satu di antara tiga buku terbaik dalam International Convention of Asian Scholars di Kuala Lumpur, Malaysia, buku ini dinilai paling lengkap dan meyakinkan dalam menguraikan Tragedi G-30-S. Menyebarkan Marxisme-Leninisme? Setelah ideologi itu masuk liang lahad, khawatir terhadap Marxisme-Leninisme sama absurdnya dengan melihat hantu di siang bolong.
Biang keladi pelarangan buku adalah Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan. Menurut pasal 1 ketentuan itu, Jaksa Agung berwenang melarang beredarnya barang cetakan yang dianggap dapat mengganggu ketertiban umum. Ada pula Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Pasal 30 peraturan ini memberi institusi itu hak mengawasi peredaran barang cetakan. Para algojo buku adalah sebuah tim gabungan yang antara lain beranggota jaksa, polisi, dan detektif dari Badan Intelijen Negara. Tim itu memberikan rekomendasi kepada Jaksa Agung sebelum pisau guillotine jatuh.
Meski secara formal ada dasarnya, Kejaksaan mesti berpikir ulang. Zaman sudah berubah. Era otoritarianisme sudah kita kubur. Indonesia sudah mengesahkan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Di dalam peraturan itu dimuat jaminan kepada warga negara untuk berekspresi, termasuk dengan cara menulis. Buku yang dianggap memfitnah bisa dibawa ke pengadilan perdata. Di sana penulis buku bisa memberikan argumen tentang apa yang ditulisnya. Setelah itu, biarlah hakim yang mengambil keputusan.
Kedua undang-undang harus diamendemen. Tapi, seraya menunggu proses di Dewan Perwakilan Rakyat—yang biasanya cukup lama—gugatan bisa dilayangkan kepada Mahkamah Konstitusi. Para penulis dan penerbit buku yang dilarang harus proaktif—karena menurut peraturan hanya para korbanlah yang berhak mempersoalkan bahwa undang-undang itu merugikan dan melawan konstitusi. Lima buku itu boleh jadi bukan yang terakhir. Tanpa revisi undang-undang, pembredelan buku akan terus berulang—dengan alasan klise yang tak pernah diuji kebenarannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo