Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KASUS Monitor adalah sandi dan sekaligus kunci yang kita perlukan untuk lebih tepat menata hari depan kebhinnekaan bangsa kita. Sandi yang bisa menjelaskan dimensi apa saja sebenarnya yang terkandung dalam "mesiu ledakan" itu, serta kunci yang membukakan pintu dan rumah yang lebih baik, fair dan nyaman, bagi pergaulan nasional kita bersama. Apa yang dilakukan oleh Arswendo barangkali sekadar igauan beberapa puluh detik: imajinasi dan sensasi Arswendo bak orong-orong yang berkeliaran tanpa kode etik, tapi kali itu ia nyasar memasuki telinga seekor lembu sehingga mengamuklah ia. Jika Monitor dan umat Islam sungguh-sungguh hanya orong-orong dan lembu, selesailah sudah persoalannya. Namun, umat Islam adalah suatu kelompok sosial dengan sejarah kebahagiaan dan sakit hatinya yang khas, sementara Monitor adalah sebuah ornamen di tengah setting sebuah panggung yang tata lampunya terang-benderang di satu sisi, namun remang-remang di sisi lain. Dengan demikian, kasus Monitor bukanlah sekadar rasa senang sesudah Arswendo resmi diterdakwakan di pengadilan. Tidak juga rasa puas sesudah bersimbah keringat menyusun barisan demonstran yang menggelombang dan bertriwikrama. Kasus Monitor adalah sandi yang di belakangnya termuat setumpuk bahan koreksi diri bagi semua kelompok yang memiliki potensi rawan yang dipaketkan dalam istilah "SARA". Misalnya, dirintis suatu tawar-menawar panjang dan serius untuk menyepakati "aturan main dakwah", untuk menghindarkan atau mengurangi sekam-sekam antaragama yang terbukti selama ini tidak selalu bisa ditutup-tutupi oleh toleransi semu. Bagi Anda yang jujur terhadap realitas, tak bisa disimpulkan secara lugu bahwa dahsyatnya reaksi terhadap "angket" Monitor hanya dimuati oleh energi dari kasus angket itu saja. Dengan ketulusan hati tulisan ini justru bermaksud menyumbang gagasan bagaimana multienergi konflik SARA itu bisa dikurangi atau dilenyapkan oleh pola penataan baru yang lebih arif dan jujur. Selama ini, untuk menghindarkan konflik SARA, kita lebih mengandalkan retorika eufemistis dan informasi manipulatif, padahal cara seperti itu tidak makin mendekatkan kita kepada penyelesaian substansial, kalau tidak justru memampatkan energi konflik itu sendiri. Kalau pada momen tertentu terjadi benturan Cina pribumi umpamanya, kita hanya menempuh jalan bagaimana media massa jangan sampai memuat berita tentang itu. Kita tak memikirkan suatu penyelesaian yang mendasar terhadap permasalahan yang sebenarnya. Eufemisme dan manipulasi -- melalui blokade pemberitaan -- yang sama kita selenggarakan apabila terjadi konflik-konflik SARA yang lain. Seolah-olah kita tak menginsafi bahwa dengan cara itu kita sesungguhnya sedang merancang kemungkinan ledakan besar di masa datang. Padahal, bahkan banyak kelompok anak-anak muda yang sering diklaim sebagai "puber bernegara", telah sadar sejak dini hari betapa -- misalnya -- sangat diperlukan dialog baik informal maupun formal antara generasi muda sipil dan generasi muda ABRI, demi masa depan kebangsaan yang lebih tertata. Saya kira para ilmuwan benar tatkala berpendapat bahwa yang harus kita lakukan bukanlah menutupi konflik, melainkan belajar mengelolanya. Bangsa kita adalah bangsa bhinneka sehingga tidak bisa sampai kiamat kita mengandalkan satu "kekuatan keikaan" yang represif untuk memapras setiap gejala konflik. Indonesia adalah pesawahan dengan sistem tumpangsari, di mana pengavlingan lahan antartanaman mesti ditata secara adil sedemikian rupa, agar pada saatnya nanti tak usah ada tanaman yang subur dengan cara mematikan tanaman di sebelahnya. Begitu kita menyaksikan bahwa reaksi umat Islam terhadap Monitor berdosis sedemikian tinggi, kita jadi mengerti dua hal. Pertama, permasalahannya sesungguhnya akumulatif dan multidomensional. Kedua, ada yang belum tepat dalam penataan dan kode etik tumpangsari pesawahan antargolongan kebangsaan kita selama ini. Kita tak bisa mengantisipasinya dengan cara-cara jangka pendek belaka, melainkan harus meneliti kembali proporsi galengan-galengan pesawahan itu, lalu lintas irigasinya, serta semua batas aturan mainnya. Yang melakukannya, tentu saja, haruslah pemerintah beserta semua golongan itu, pada angle dan konteks keterkaitan tumpangsarinya masing-masing. Saya mendengar ada sementara kawan atau pihak yang tak lagi bisa percaya kepada efektivitas dialog semacam itu. Yang mengerikan, ketidakpercayaan itu tidak terutama kepada fenomena dialog itu sendiri, melainkan kesalingtakpercayaan antara mereka. Namun, bagi saya ini justru mencerminkan betapa urgen dan mendasarnya dialog mesti diselenggarakan. Pembangunan nasional harus memperbanyak budidaya gugur gunung, yakni kerja bakti di kampung: tak peduli Anda tukang becak atau dosen, ulama atau pedagang kamper, direktur perusahaan atau pendeta, ilmuwan atau tukang ojek -- yang penting bersama-sama membenahi parit dan pagar yang kacau itu. Tetapi sementara parit dibenahi kita juga tetap pegawai, pedagang, pastor, ustad, sipil, militer, turunan Nabi atau cucu cicit Konghucu. Maka, sangat diperlukan upaya redefinisi SARA demi suatu pergaulan nasional yang lebih sehat. Kalau di tengah situasi gugur gunung itu ada yang berbisik-bisik atau menyelipkan uang dan jajan di saku pekerja di sebelahnya untuk kepentingan yang di luar kebersamaan tujuan gugur gunung -- sedangkan hal itu akhirnya pasti diketahui oleh para pekerja lain dan bisa menimbulkan konflik -- pada suatu hari cangkul, yang semestinya dipakai untuk menggali tanah, malah bisa tamasya mampir-mampir di hidung orang lain. Kalau sudah begitu, bisa kita ulangi kekeliruan dengan menuduh "Itu cangkul SARA", padahal sumber SARA yang sebenarnya adalah bisik-bisik dan jajan itu. Demi Allah, redefinisi SARA amat perlu kita selenggarakan. Kecuali kita memang berniat membiarkan mata bisul itu membesar membengkak di bawah permukaan kulit. Atau, kita justru membikin gesekan-gesekan SARA pada tingkat tertentu untuk merawat eksistensi lembaga pengamanan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo