Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERTEMUAN musim semi Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional dua minggu lalu di Washington, Amerika Serikat, datang dengan pesan: ketidakpastian ekonomi global masih tinggi akibat potensi perang dagang. Selain itu, ada pertanda bahwa inflasi mulai meningkat. The Fed mungkin harus menaikkan bunga lebih cepat. Ini disebabkan juga oleh meningkatnya defisit anggaran di Amerika Serikat akibat kebijakan pemotongan pajak oleh pemerintah Donald Trump.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peningkatan defisit anggaran di Amerika harus dibiayai dengan utang melalui penjualan obligasi (US Treasury Bills/US T-Bills). Bisa diduga: imbal dari US T-Bills meningkat, bahkan dalam beberapa hari lalu menembus tiga persen. Hal ini membentuk persepsi pasar bahwa The Fed akan menaikkan bunga empat kali tahun ini (masing-masing 25 basis point). Implikasinya, dolar Amerika akan menguat. Dan benar, sebagian besar mata uang, termasuk rupiah, mengalami pelemahan terhadap dolar Amerika.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, bila dibandingkan dengan India, Brasil, Turki, dan Afrika Selatan-yang bersama Indonesia pernah diklasifikasikan sebagai the fragile five countries ketika Taper Tantrum terjadi pada 2013-pelemahan rupiah bukan yang terburuk. Meski begitu, jika dibandingkan dengan mata uang negara-negara ASEAN lain, rupiah memang termasuk yang paling lemah bersama dengan peso Filipina.
Persoalannya bukan paling buruk atau tidak, melainkan bagaimana ke depannya. Di sini kita perlu memperhatikan beberapa hal. Pertama, jika pasar memiliki ekspektasi adanya kenaikan suku bunga, obligasi akan ditransaksikan pada imbal yang lebih tinggi. Kita memang menangkap adanya ekspektasi pasar terhadap kenaikan bunga. Bank Indonesia sendiri, dalam rilisnya, membuka kemungkinan itu. Perlukah suku bunga dinaikkan? Dalam konsep ekonomi internasional, kita mengenal istilah trinitas yang mustahil (the impossible trinity) atau trinitas yang tak suci (the unholy trinity). Konsep ini menyatakan sebuah negara mustahil menerapkan tiga kebijakan (nilai tukar yang stabil, keterbukaan arus modal, dan kebijakan moneter yang mandiri) sekaligus. Mudahnya: jika tidak ingin mengikuti tren kenaikan bunga di Amerika karena ingin memiliki independensi kebijakan moneter, Bank Indonesia harus memilih apakah akan menerapkan pembatasan arus modal atau membiarkan nilai rupiah bergerak mengikuti pasar (dalam kasus ini depresiasi rupiah). Jika menginginkan nilai tukarnya stabil, BI harus memilih menerapkan pembatasan arus modal atau menaikkan bunga. Dalam kondisi rezim devisa bebas seperti saat ini, Bank Indonesia harus memilih apakah membiarkan rupiah mengikuti pasar (depresiasi rupiah) atau menaikkan bunga. Tentu ada kombinasi di antara ketiganya, yakni saat tingkat bunga dinaikkan sedikit, nilai tukar melemah sedikit, dan kebijakan pembatasan modal dilakukan secara terbatas melalui kebijakan macroprudential.
Kedua, dengan opsi-opsi di atas, seberapa drastis kebijakan harus diambil? Saya kira, dengan kondisi transaksi berjalan yang berada pada kisaran 2 persen terhadap produk domestik bruto serta inflasi yang berada di bawah 4 persen, kebijakan yang perlu diambil tidaklah sedrastis ketika Indonesia menghadapi Taper Tantrum pada 2013. Saat itu, defisit transaksi berjalan kita memang 4,4 persen terhadap PDB dan inflasi di atas 7 persen. Untuk menghindarkan Indonesia dari krisis finansial yang dipicu oleh besarnya defisit transaksi berjalan saat itu, pemerintah dan Bank Indonesia harus memotong subsidi bahan bakar minyak dengan menaikkan harga BBM rata-rata 40 persen, menaikkan BI Rate 200 basis point, dan membiarkan rupiah bergerak mengikuti pasar. Kombinasi kebijakan ini dalam konsep ekonomi dikenal dengan nama expenditure reducing dan expenditure switching policy. Dan dalam waktu tujuh bulan, Indonesia-bersama India-berhasil menstabilkan perekonomiannya. Arus modal lalu kembali mengalir masuk, defisit transaksi berjalan menurun hingga hari ini, dan bersama India, Indonesia keluar dari fragile five countries. Saya melihat situasi saat ini tak segenting pada 2013.
Ketiga, situasi yang ada sekarang memang masih normal dan tak perlu menimbulkan kepanikan di pasar. Sayangnya, tak semua pelaku pasar rasional. Di sini letak soalnya. Di dalam ilmu ekonomi, salah satu variabel yang tak bisa sepenuhnya dikendalikan adalah ekspektasi yang tak rasional. Ekonom terbesar pada abad ke-20, John Maynard Keynes, menyebutnya sebagai animal spirits. Intinya, pelaku ekonomi tak hanya bergerak karena didorong oleh motif ekonomi dan perilaku rasional, tapi juga perilaku tak rasional seperti animal spirits. Dalam situasi yang tak pasti, individu dalam sebuah kelompok akan mencoba mengurangi risiko dengan bergerak mengikuti pola kelompoknya (herd behavior). Tindakan ini dilakukan bersama-sama tanpa koordinasi. Kita bisa melihat pola ini di pasar keuangan. Dalam situasi panik, orang bisa berduyun-duyun menjual investasi portofolionya atau membeli mata uang asing. Hal ini bisa dipicu oleh informasi yang tak lengkap, oleh kekhawatiran akan risiko kebijakan yang tak ramah pasar, atau oleh hilangnya kepercayaan terhadap kebijakan ekonomi. Animal spirits, dengan kata lain, adalah komponen emosional yang tecermin dalam kepercayaan konsumen. Di sini peran dari confidence-akar katanya fido, yang berarti saya percaya-menjadi amat penting. Kebijakan yang dipersepsikan menimbulkan risiko oleh pelaku pasar akan memperburuk situasi, lalu mendorong keluarnya arus modal. Memang ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian. Agen pemeringkat (rating agency) seperti S&P, misalnya, secara khusus menyoroti masalah neraca perusahaan badan usaha milik negara infrastruktur yang menurut mereka berisiko. Mereka menyoroti peningkatan utang yang agresif dari sejumlah BUMN tersebut. Ini berisiko meningkatkan kewajiban kontijensi (contingent liabilities) pada anggaran pemerintah. Hal lain adalah kembalinya subsidi BBM dan adanya kecenderungan pemerintah untuk mulai mengatur harga di berbagai sektor. Ini juga menimbulkan beban pada fiskal. Padahal harga minyak terus meningkat. Hal-hal seperti ini bisa menimbulkan persepsi negatif pada pasar dan ketidakpastian usaha. Bagi mereka yang paham Indonesia secara baik, mungkin kebijakan populis ini dapat dipahami sebagai "biaya politik" (political cost) menjelang Pemilihan Umum 2019. Sayangnya, tak semuanya begitu. Ada masalah informasi yang tak simetris di sini.
Saya teringat pada sebuah diskusi informal dengan ekonom Carmen Reinhart di Harvard University beberapa tahun lalu. Reinhart mengingatkan salah satu hal yang bisa memperburuk arus modal keluar adalah adanya kreditor yang sama (common creditors) yang memiliki investasi di beberapa negara. Jika terjadi kejutan keuangan-walau hanya di satu negara-mereka akan mengkaji ulang portofolio investasinya di semua negara. Untuk menghindari kerugian, mereka akan mengurangi investasi di negara yang dianggap berisiko. Sayangnya, para manajer investasi kerap tak memiliki informasi yang lengkap tentang risiko. Dan tak jarang mereka harus mengelola investasi di puluhan negara, sehingga tak mungkin mengerti semua hal dengan rinci. Karena itu, mereka sangat memperhatikan pandangan agen pemeringkat dan sinyal-sinyal kebijakan yang dianggap menimbulkan risiko, seperti defisit transaksi berjalan, inflasi, dan fiskal defisit dengan kewajiban kontijensinya. Mereka amat menggantungkan keputusan investasi pada kredibilitas dari pembuat kebijakan. Jika kehilangan kepercayaan, mereka akan menarik portofolionya dari negara tersebut. Dan Reinhart benar: begitu banyak krisis keuangan dipicu oleh hilangnya kepercayaan. Saya tak melihat itu terjadi pada Indonesia saat ini, tapi bukan berarti bahwa ada ruang untuk membuat kesalahan. Justru dalam situasi seperti inilah kredibilitas kebijakan menjadi penting.
Pada hari-hari ini, ketika situasi eksternal tak bersahabat, kita memang dihadapkan pada pilihan sulit. Pilihan ini mungkin terkesan tak populer, sebuah pilihan yang sepi, tak ramai dijejaki orang. Mirip bait akhir puisi Rober Frost, "The Road Not Taken": I took the one less travelled by/ And that has made all the difference.
Muhamad Chatib Basri
Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo