Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Editorial Tempo.co
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
—
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
NYARIS tidak ada tempat aman bagi anak-anak dari incaran predator seksual, bahkan di sekolah. Gelar “sekolah ramah anak” kini jadi sekadar merek jualan lembaga pendidikan karena belum tentu sekolah ramah anak benar-benar bebas dari tindakan pelecehan seksual. Sebab, faktanya, pelecehan seksual anak di sekolah makin marak.
Kasus terbaru terungkap pekan lalu. Di sebuah sekolah dasar negeri di Jatiasih, Kota Bekasi, Jawa Barat, seorang guru kontrak melakukan pelecehan seksual kepada delapan siswa setahun silam. Orang tua tiga siswa sudah melaporkannya ke Kepolisian Resor Metro Kota Bekasi. Polisi kini memburu pelakunya yang diduga kabur ke Sumatera Utara.
Semestinya polisi tak sulit menangkapnya. Polisi tak perlu ragu menindaknya secara hukum karena pelecehan seksual adalah kejahatan paling biadab, apalagi kepada anak-anak. Jangan menunggu kasusnya viral di media sosial baru polisi bertindak. Menangani pelecehan seksual bahkan seharusnya terselubung karena ada hak korban yang harus dilindungi.
Jangan ada lagi dalih “restorative justice” menangani pelecehan seksual. Perintah Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo agar polisi mengedepankan keadilan restoratif menangani pengaduan hukum, tak berlaku bagi kejahatan seksual. Undang-Undang Perlindungan Anak sudah menetapkan sanksi bui 15 tahun bagi predator seksual.
Tapi menangani pelecehan seksual tak cukup dengan pidana, terutama di sekolah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mesti membuat database pelaku pedofilia, terutama dari kalangan pengajar. Seleksi guru mesti lebih ketat lagi. Tak hanya mereka harus pintar dan cerdas secara intelektual, seleksi guru mesti melacak latar belakang dan perilakunya.
Pendidikan seksual, terutama pengenalan terhadap jenis-jenis pelecehan, mesti mulai diajarkan di sekolah dasar. Tak hanya kepada murid, juga penataran kepada guru. Sehingga sekolah bisa menjadi tempat aman bagi siswa yang durasi jam belajarnya kian panjang.
Sekolah juga bisa menjadi tempat pengaduan pertama jika terjadi kekerasan seksual kepada siswa. Orang tua siswa tak mesti melulu mengandalkan jalan terakhir, yakni polisi dan semesta media sosial untuk mendapatkan perhatian penanganan pelecehan seksual yang menimpa anak-anak mereka.
Pendidikan seksual di sekolah juga mesti komplet dengan tata cara pendampingan kepada korban: dari perlindungan pengaduan, penanganan, hingga pelaporannya kepada penegak hukum. Tanpa sistem yang komprehensif, sekolah akan menjadi tempat paling tidak aman bagi anak-anak terlindung dari predator seksual.
Trauma pelecehan seksual di usia belia bukan perkara remeh. Sekolah mesti jadi benteng utama melindungi generasi muda agar bonus demografi yang digadang-gadang bisa menjadi basis Indonesia Emas 2045 benar-benar berkualitas.