Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengunduran diri Sepp Blatter dari kursi Presiden Federation Internationale de Football Association (FIFA) menandai babak baru upaya memperbaiki manajemen sepak bola di muka bumi ini. Tak terkecuali di Indonesia.
Momen ini mesti dimaknai sebagai pintu masuk untuk mengungkap skandal suap, pemerasan, dan pencucian uang di tubuh FIFA yang diduga terjadi selama dua masa kepengurusan terakhir Blatter. Dunia olahraga menjunjung tinggi sportivitas, sehingga keterbukaan dan kejujuran harus menjadi fondasi.
Blatter, yang selama empat periode memimpin organisasi sepak bola sejagat itu, mundur di tengah ketidakpercayaan internasional. Aparat hukum Amerika Serikat membidik Blatter setelah pada Rabu pekan lalu tujuh petinggi FIFA, dari total 14 yang diduga terlibat, ditangkap kepolisian Swiss di Hotel Baur Au Lac, Zurich. Mereka dicokok lantaran terlibat suap dalam pemilihan tuan rumah Piala Dunia 2010 dan pemilihan Presiden FIFA pada 2011.
Amerika juga mengendus keterlibatan Sekretaris Jenderal FIFA Jerome Valcke dalam penyuapan Presiden Konfederasi Sepak Bola Amerika Utara dan Tengah (CONCACAF), Jack Warner, untuk melicinkan jalan Afrika Selatan menjadi tuan rumah Piala Dunia 2010. Suap sebesar US$ 10 juta ini diduga diberikan pada 2008. FIFA memecat Valcke. Tapi, delapan bulan kemudian, Blatter menjadikan dia sekretaris jenderal sejak akhir Mei lalu.
Valcke dikenal dekat dengan para petinggi Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) yang sekarang sedang disorot dalam kaitan isu mafia sepak bola nasional. Hubungan Valcke dengan PSSI kembali menjadi isu hangat setelah muncul dugaan bahwa surat sanksi FIFA berupa larangan Indonesia berlaga di perhelatan internasional tanpa batas waktu dibikin di Indonesia, bukan di Swiss, kantor pusat FIFA.
Ada baiknya petinggi PSSI mencontoh Blatter. Kiblat terhadap FIFA, yang selama ini selalu dipegang teguh oleh PSSI, semestinya tak hanya menyangkut aturan organisasi, tapi juga etika dan norma. Mundur dari jabatan untuk memberi kesempatan mengevaluasi PSSI dan pengusutan hukum terhadap petingginya bukan tindakan hina. Hal ini justru bisa menjadi acuan baru bagi tata kelola dan etika organisasi olahraga.
Seperti halnya Blatter, publik kebanyakan tak mempercayai kepengurusan PSSI hasil kongres di Surabaya pada April lalu. Pembekuan PSSI oleh pemerintah juga tak lepas dari soal kepercayaan, selain soal pelaksanaan aturan sepak bola nasional. Kasus hukum yang menimpa La Nyalla Mattalitti sudah dipersoalkan publik sebelum dia terpilih menjadi Ketua Umum PSSI. Bahkan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi sudah menyampaikan masalah itu kepada FIFA. Toh, FIFA diam saja.
Sekarang, FIFA dan PSSI menghadapi tantangan yang sama. Para petinggi kedua organisasi itu diuji untuk bertindak sportif dan transparan. Seperti yang dilakukan Blatter.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini