Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka yang sewot oleh gaya wawancara Harrison Ford tentang hutan di Indonesia mirip orang yang setuju berbuka-buka baju tapi lalu marah lantaran kudisnya jadi terdedahkan. Mengumbar kegusaran, apalagi dengan mengancam akan mengusulkan deportasi terhadap aktor Hollywood itu, hanya memperlihatkan keputusasaan yang menyedihkan. Justru dengan begitu kian telanjanglah salah urus hutan yang kronis di negeri ini.
Wawancara itu dilakukan untuk film dokumenter mengenai perubahan iklim berjudul Years of Living Dangerously. Indonesia menjadi bagian cerita. Ford, yang dikenal antara lain berkat perannya sebagai Indiana Jones, sebelumnya mengunjungi beberapa tempat, termasuk Taman Nasional Tesso Nilo, Riau. Selain mewawancarai Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, dia menginterviu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Seperti lazimnya dokumenter, film produksi jaringan televisi Showtime itu bukan iklan. Dengan setuju diwawancarai, Menteri Kehutanan dan Presiden pasti tahu ini bukan tanya-jawab yang diatur. Mereka tentu mengantisipasi pertanyaan kejutan, tentang hal baik dan hal buruk, yang berkaitan dengan kondisi hutan di Indonesia. Kalaupun yang diajukan lebih banyak tentang hal buruk, ya, itu toh pertunjukan mereka.
Karena melihat kerusakan parah Tesso Nilo, dan tahu pelakunya tak tersentuh hukum, Ford membawa keprihatinannya saat bermuka-muka dengan Zulkifli. Dia mencecar Pak Menteri untuk mencari jawaban mengapa tak ada cukup tindakan. Belakangan, menganggap Ford mengabaikan tata krama bertamu dan menggambarkan cara bertanyanya sebagai emosional, Zulkifli menyampaikan kekecewaan dan keluhan kepada wartawan. Seperti menyambut bola umpan, tak lama kemudian Andi Arief, Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana Alam, muncul hendak menjadi pahlawan dengan ancaman deportasi.
Sejauh ini seruan Andi memang tak bergema. Tapi seluruh kejadian itu mau tak mau menunjukkan, lagi-lagi, ketidakpedulian Kementerian Kehutanan pada fakta yang sudah teramat genting: kerusakan hutan mengharuskan tindakan tegas. Bagi yang pintar, pertanyaan Ford mengapa para pelaku perusakan tak ditangkap bisa dipahami bukan sebagai desakan agar seketika itu juga bertindak. Jawaban yang diharapkan barangkali adalah penjelasan tentang apa yang sebenarnya menghalangi.
Di situlah masalahnya. Begitu banyak kasus penggundulan hutan ilegal, nyatanya hanya sedikit yang diproses secara hukum—itu pun dengan segelintir saja pelakunya yang berakhir mendekam di penjara. Ketika gambaran semacam ini diusik, tak perlu oleh Ford, situasinya pastilah sama: Kementerian Kehutanan akan defensif, atau cenderung normatif, tanpa penjelasan yang memuaskan.
Ketidakmampuan pemerintah mengelola Tesso Nilo, misalnya, diakui oleh Kuntoro Mangkusubroto, Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan. Data Balai Taman Nasional Tesso Nilo menunjukkan total luas kawasan hutan di sana yang semula 83 ribu hektare kini tinggal 20 ribu hektare. Sebagian besar sudah berubah menjadi perkebunan sawit liar. Padahal Tesso Nilo termasuk pilot project program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+).
Ford dan film yang sedang dia buat, melalui pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya merupakan uji kompetensi bagi Kementerian Kehutanan dan pejabat-pejabatnya, pasti menelanjangi Indonesia. Jika hal ini tak juga mengubah cara Kementerian merespons persoalan, dan mereka memilih gaduh hanya untuk perkara sepele, jelas tak seorang pun di sana yang lulus.
wawancara terkait di halaman 124
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo