Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Putu Setia
@mpujayaprema
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Siapakah presiden untuk masa jabatan 2019-2024? Secara resmi belum ada keputusan. Meski pemilihan presiden dan wakil presiden sudah usai pada 17 April lalu, pelantikan pasangan pemimpin negara ini baru dilakukan pada Oktober nanti. Dan siapa yang dilantik akan diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum pada 22 Mei. Itu pun tak serta-merta sah. Kalau ada yang tidak sependapat dengan keputusan KPU, terbuka sengketa di Mahkamah Konstitusi. Nah, Mahkamah yang memutuskan, siapa presiden dan wakil presiden yang sah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Jika sekarang ada yang mendeklarasikan kemenangan calonnya, anggap itu euforia pemilihan yang sudah berlangsung dengan aman, kecuali sungguh memprihatinkan banyaknya petugas pemilihan yang meninggal dunia karena kelelahan. Begitu pula kalau para calon tiba-tiba disapa sebagai presiden, anggap saja lonjakan kegembiraan dari prediksi awal yang bisa salah. Misalnya, ketika calon presiden Prabowo Subianto menerima kedatangan anggota Persatuan Purnawirawan Indonesia Raya, para sesepuh ini memberi hormat: "Siap, Presiden!" Prabowo pun membalas layaknya mantan jenderal. Tidak ada yang perlu ditertawai.
Namun bangsa kita sangat kreatif dalam membuat lelucon. Adegan Prabowo menerima purnawirawan itu melahirkan parodi, di mana ada orang biasa yang berpura-pura menjadi presiden, lalu menerima salam dari orang-orang biasa lain dengan: "Siap, Presiden!" Kita bisa tertawa sejenak.
Bahwa kemudian Jokowi menirukan adegan itu ketika menerima tim relawannya, kita seharusnya masih bisa tertawa. Sayang, tertawa kita sudah di ujung, sehingga yang muncul justru rasa heran, "Lho, kok Jokowi ikut-ikutan seperti itu?" Meski ada pembenaran (bukankah Jokowi memang presiden?), rasanya tertawa kita terganjal, jelas ada niat membuat olok-olok.
Seharusnya kita santai saja setelah begitu lama diaduk-aduk oleh nafsu yang bergelora untuk menjagokan pasangan masing-masing sehingga berbeda dukungan seperti berbeda segalanya. Masyarakat terbelah. "Garis keras" dalam pengertian menghidupkan fanatisme kepada calon presiden dan calon wakil presiden seharusnya hilang ketika kita mencoblos jagoan kita. Kenapa "garis keras" itu tidak kita ubah menjadi "garis lucu" dan kita kembali bersenda gurau? Bahwa Prabowo-Sandi merasa menang sembari berjoget bersama pengikutnya, biarkan sajalah. Mereka punya bukti bakal menang. Begitu pula dengan Jokowi-Amin beserta pendukungnya yang yakin akan menang. Tak usah kita cela, mereka pun punya bukti. Bukti-bukti itu yang nanti diadu ketika KPU memutuskan siapa pemenangnya. Dan ketika pembuktian itu diabaikan KPU, bawalah bukti itu ke sidang MK. Sederhana sekali, kenapa harus menyebut ada kecurangan dan bahkan kesan curang itu jauh-jauh dikatakan sebelum pembuktian dibeberkan?
Juga terasa aneh kalau ada sekelompok ulama berkumpul dan menghasilkan keputusan pemilu curang, lalu meminta capres-cawapres kubu 01 didiskualifikasi. Jelas kelompok ulama itu berada di seberang kubu 01 dan pastilah tidak mewakili ulama. Ada 28 ribu lebih pondok pesantren, 6.000 lembaga pendidikan Islam, dan sejuta lebih masjid, lalu berapa jumlah ulamanya? Tentu tak bisa hanya "diwakilkan" oleh beberapa ratus ulama. Belum lagi bicara bahwa ulama mengayomi umat.
Mari kita sudahi saling curiga. Mari kita doakan 380 korban pemilu-duh, lebih banyak daripada korban penyerangan gereja di Sri Lanka-yang sempat kita kutuk itu. Kita ikuti aturan hukum, lalu setelah presiden terpilih, mari kita bekerja sama membangun negeri dengan tekad: "Siap, Presiden!"