Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Maraknya insiden kekerasan terhadap pembantu rumah tangga sekali lagi membuktikan negara perlu turun tangan untuk melindungi kelompok ini. Selama ini perlindungan terhadap pembantu nyaris minim, karena dianggap sektor informal sehingga tak tersentuh regulasi.
Kekejaman yang dialami Sri Siti Marni, yang dilakukan majikannya, Musdalifah, semestinya membuka mata kita. Gadis 20 tahun ini bekerja pada Musdalifah di Utan Kayu Selatan, Matraman, Jakarta Timur. Sejak saat itu pula Marni disekap dan kerap dianiaya oleh Musdalifah dan keluarganya. Ia dipukul dengan gagang sapu, bahkan disetrika. Pekan lalu, Marni berhasil melarikan diri dan mengadu ke polisi berkat bantuan warga. Menurut Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga yang mengadvokasinya, selain Marni, ada tiga pembantu lain di rumah itu yang mengalami penganiayaan serupa. Mereka diperlakukan mirip budak: tak diberi upah, dipukuli, bahkan disekap.
Kasus Marni bak pucuk gunung es. Banyak kekejaman lain yang dialami para pekerja rumah tangga lainnya. Akhir tahun lalu, contohnya, dua orang pembantu tewas diduga karena dianiaya keluarga Syamsul Anwar, di Medan Deli, Kota Medan, Sumatera Utara. Selain Marni dan kasus di Medan itu, banyak lagi kasus penganiayaan pekerja rumah tangga yang tak terungkap di media. Aparat penegak hukum seharusnya menghukum berat para pelaku kekerasan itu agar kasus seperti Marni tak berulang.
Saat ini perlindungan hukum terhadap para pekerja rumah tangga nyaris nol. Tak ada regulasi yang mengaturnya. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan belum mencakup pekerja rumah tangga sebagai kelompok pekerja yang harus mendapat perlindungan. Sudah sejak 2010 usulan Rancangan Undang-Undang Pembantu Rumah Tangga selalu tertolak untuk masuk prioritas Program Legislasi Nasional. Akibatnya, tak ada aturan tentang berapa gaji minimal, berapa lama jam kerja maksimal, kapan hari liburnya, dan tiada perlindungan yang memadai. Dengan maraknya insiden kekerasan terhadap pembantu, kebutuhan agar pemerintah meratifikasi Konvensi Organisasi Buruh Dunia (ILO) Nomor 189 Tahun 2011 tentang Kerja Layak PRT serta mengesahkan RUU Perlindungan PRT sudah semakin mendesak.
Yang disayangkan, pemerintah cenderung tutup mata soal pekerja rumah tangga. Padahal jumlah pekerja di sektor ini tak bisa dianggap enteng, sekitar 10 juta orang menurut data Organisasi Ketenagakerjaan Indonesia. Para asisten rumah tangga tak pernah diurus serius, lantaran dianggap sektor informal yang merupakan katup pengaman bagi para penganggur.
Jalan untuk mencapai cita-cita ideal, yakni mengegolkan undang-undang yang mengatur para pekerja rumah tangga, bukanlah jalan yang lempang dan mudah. Akan banyak pro-kontra soal itu. Perdebatan tersebut setidaknya bisa menjadi sarana untuk mengedukasi masyarakat agar memperlakukan para pekerja rumah tangga lebih manusiawi. Keterlibatan publik dan media perlu lebih didorong untuk mengubah kesadaran terhadap hak-hak pekerja rumah tangga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini