Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
PENCITRAAN politik sangat telanjang dipertontonkan dalam debat impor beras antara Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dan Kepala Badan Urusan Logistik Budi Waseso. Keduanya saling melemparkan pernyataan keras-cenderung kasar-untuk membela pendapat masing-masing soal data beras.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Enggartiasto, politikus Partai NasDem, menyatakan impor beras 2 juta ton itu merupakan keputusan rapat koordinasi kabinet untuk dilaksanakan tahun ini. Bahkan permintaan impor datang sendiri dari Bulog. Sementara itu, Buwas-panggilan Budi Waseso-mengatakan tak pernah meminta impor beras karena stok di gudang Bulog masih bejibun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Silang pendapat keduanya terjadi secara terbuka di media massa. Kedua pejabat tinggi ini memanggil wartawan serta memberikan pernyataan saling menyerang dan menjatuhkan. Kita patut prihatin atas debat terbuka kedua pejabat ini. Keduanya sedang mempermalukan diri sendiri, sekaligus menunjukkan ketidakmampuan manajemen beras pemerintah.
Debat keduanya berpangkal dari tak pernah jelasnya jumlah produksi gabah di Indonesia. Setiap lembaga, dari Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, hingga Kantor Staf Presiden, punya acuan data sendiri yang berbeda-beda. Dasarnya perhitungan satelit dan pencitraan udara terhadap sawah yang tak akurat.
Ketidakjelasan data produksi itu berimbas pada debat soal cadangan beras. Ketika Bulog masih dipimpin Djarot Kusumayakti, pada Maret lalu, secara resmi lembaga ini merilis bahwa cadangan beras pada Februari 2018 tinggal 642.612 ton, minus 27.888 dari batas aman.
Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian juga menyatakan cadangan beras menipis sehingga mereka sepakat mengimpor 2 juta ton tahun ini. Buwas, hingga dua bulan setelah dilantik menjadi Kepala Bulog pada 24 April lalu, juga tak frontal menolak impor beras. Pendiriannya berubah setelah partai koalisi pendukung Presiden Joko Widodo menyoal rencana impor karena bisa menggerus suara dukungan petani dalam pemilihan presiden.
Alasan pendukung impor sebetulnya juga bersandar pada kekhawatiran menurunnya popularitas politik. Kubu ini khawatir, jika stok beras kurang, inflasi akan naik, apalagi pada September Badan Pusat Statistik akan menggelar Survei Sosial Ekonomi Nasional. Jika harga beras tinggi, tingkat kemiskinan akan naik dan menjadi catatan buruk bagi pemerintah.
Faktanya, impor ataupun tak impor, stok beras berada dalam batas tak aman. Untuk mengantisipasi musim kering pada triwulan pertama tahun depan, Bulog harus memiliki stok beras 2-2,5 juta ton. Sementara itu, hingga kini, seperti yang diakui Bulog sendiri, mereka hanya punya cadangan 1,5 juta ton.
Ketiadaan stok ini pada akhirnya akan berimbas pada harga. Petani dan masyarakat miskin yang akan paling terpengaruh. Karena itu, Presiden harus menghentikan silat lidah anak buahnya di muka publik dan memastikan cadangan beras aman saat musim kering nanti. Lupakan urusan elektoral karena beras menyangkut hajat hidup orang banyak.