Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Putu Setia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
ROMO Imam mengundang saya berbuka puasa. Tak ada yang khusus, juga makanan yang dibuat Bu Imam. Cuma kangen lama tak bertemu. "Apa Romo yakin saya berpuasa hari ini?" tanya saya. Azan mengalun. Romo segera membatalkan puasanya dengan minum teh hangat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Apa pentingnya saya tahu kalau sampean berpuasa atau tidak? Kalaupun sampean tidak berpuasa lalu menyebut berpuasa, siapa yang sampean tipu? Puasa itu urusan sampean sama Yang di Atas," ujaran Romo ini saya sambut dengan tertawa. Kami mengambil makanan.
Di sela-sela makan, Romo menceritakan masa kecilnya. Suatu hari dia begitu haus di siang yang panas, lalu masuk kamar. Diam-diam dia meneguk minuman dan keluar dari kamar seolah-olah tak pernah membatalkan puasanya. Saat berbuka bersama keluarga, ayahnya memberi wejangan: "Puasa itu adalah keikhlasan dan kejujuran, hanya Allah yang tahu apa kita melakukannya dengan benar untuk membersihkan hati."
Romo minum seteguk. "Pengalaman masa kecil membuat saya paham bahwa puasa adalah urusan yang sangat pribadi. Kalau kita berdusta, untuk apa dusta itu kalau Tuhan maha tahu? Kalau ada yang tidak berpuasa, apa hak kita untuk memaksa orang itu berpuasa? Biarlah mereka berurusan dengan Gusti Allah. Kalau melihat orang makan di restoran, kenapa kita nyinyir apalagi marah-marah? Puasa itu ujian mengendalikan diri, justru godaan itu ibarat menyelesaikan soal-soal ujian. Kalau restoran disuruh tutup hanya untuk menghormati orang berpuasa, berarti ujiannya ditiadakan, kapan kita lulus sebagai manusia beriman?"
Sambil bersantap, saya memberi tanggapan: "Kalau puasa untuk membersihkan hati dan mengendalikan nafsu, apakah kita bisa berharap mendapat pahala dari puasa itu? Misalnya, kelak kalau kita tiada, mendapat surga."
Romo langsung menghentikan santapannya. "Sampean ini kayak teroris saja. Apa pun dilakukan demi janji mendapat surga. Membunuh orang pun disebut mendapat surga, mana ada ajaran agama seperti itu. Pahala itu biarlah Tuhan yang menentukan, tergantung amal kita. Puasa hanya salah satu amal dari keikhlasan kita."
Romo meneruskan. "Puasa dan surga terlalu jauh dikait-kaitkan. Dalam kitab agama memang banyak disebutkan bagaimana alam surga dan alam neraka. Surga penuh kedamaian, neraka penuh siksaan. Di agama sampean juga begitu, kan?"
"Betul, Romo," saya menjawab. "Tapi deskripsi surga-neraka itu kebanyakan imajinasi para dalang dan tetua yang diwariskan turun-menurun. Lalu jadi keyakinan, sulit diperdebatkan. Padahal, kalau dirunut, surga itu berasal dari kata Sanskerta, svarga yang dibaca swarga. Svar artinya cahaya dan ga artinya pergi. Svarga artinya pergi menemui cahaya. Kalau cahaya berhasil ditemui, segala kegelapan tak ada lagi. Itulah kedamaian."
Romo mengambil sebuah buku di rak. "Ini ada kitab warisan leluhur orang Jawa berbahasa Jawa Kuno himpunan Bhagawan Wararuci," dan Romo membuka buku itu membaca sebuah kalimat. "Indriya ikang sinanggah swarga naraka, kramanya yan kawasa kahrtanya, saksat naraka ika. Nafsu itu adalah surga dan neraka. Jika nafsu bisa dikendalikan, itulah surga. Jika lepas kendali, itulah neraka."
Saya nyeletuk: "Kalau begitu, puasa dekat dong sama surga. Berhasil menjalankan ibadah puasa dengan sempurna berarti kita bisa mengendalikan nafsu, bukankah itu surga? Jangan-jangan Lebaran itulah surga, kita kembali menjadi suci, kembali fitri...."
Romo tersenyum: "Saya susah komentar, agama bisa diruwet-ruwetkan bisa pula disederhanakan. Yang penting kita beramal baiklah, itu sudah cukup."