Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Tembak Mati, Pilihan Terakhir

Pelaku salah tembak dalam penyergapan tersangka teroris di Sukoharjo perlu dihukum. Hemat peluru, tangkap hidup-hidup tersangka.

23 Mei 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salah tembak yang merenggut nyawa orang tak bersalah menunjukkan operasi penyergapan teroris oleh Detasemen Khusus 88 tidak selalu dijalankan dengan kehati-hatian maksimum.

Kecerobohan dalam mengamankan lokasi sebelum penyerbuan diduga kuat menyebabkan pedagang angkringan Nur Iman tewas di ujung peluru Densus di Sukoharjo, Jawa Tengah, dua pekan lalu. Pedagang malang itu sedang mengemasi barang dagangannya tatkala penyerbuan dimulai. Kritik masyarakat agar unit khusus itu tidak gampang-gampang menarik pelatuk senjata ternyata tidak menghalangi mereka menembak mati dua tersangka teroris, Sigit Qordhowi dan Hendro Yunianto.

Dalam keadaan ekstrem, eksekusi mati mungkin tak terelakkan. Tapi terlalu mudah memuntahkan peluru juga berpotensi melanggar hak asasi manusia. Dalam soal hak asasi manusia ini, catatan unit khusus yang baru berumur tujuh tahun itu tergolong tak terpuji. Tim Investigasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia—yang melakukan penelusuran di Aceh, Medan, dan Jawa Tengah—menduga aksi Densus 88 banyak melanggar undang-undang peradilan hak asasi manusia.

”Bintang” terorisme semacam Noor Din M. Top, Dr Azahari, Ibrohim, dan Dulmatin tumbang di ujung peluru satuan ini. Ketika itu, kritik masyarakat tak terdengar lantaran teroris kelas berat tersebut melakukan perlawanan senjata yang sengit. Mereka bahkan siap meledakkan diri dan mati bersama si penyerbu dengan membalutkan bom rompi di badan.

Teroris ”generasi” berikutnya hanya melawan ala kadarnya. Kalaupun mereka menantang dengan bahan peledak, yang dapat mereka siapkan hanyalah bom berdaya ledak rendah. Seperti diakui polisi sendiri, jumlah dan persenjataan kelompok teroris sudah jauh menurun. Alasan terpaksa menembak untuk membela diri dalam sejumlah kasus terakhir sudah tak bisa dibenarkan. Detasemen Khusus 88 perlu memastikan bahwa tembak mati merupakan pilihan terakhir.

Strategi baru mesti dikembangkan polisi untuk melanjutkan operasi melawan terorisme ini. Bila disadari bahwa yang sekarang bergerak adalah generasi yang kualitasnya tidak setaraf dengan Noor Din atau Dr Azahari, polisi mesti berupaya mematikan ruang gerak mereka. Menangkap pelaku hidup-hidup, menggali informasi seluas mungkin tentang jaringan kejahatan mereka, akan mempercepat pelemahan kelompok teroris itu.

Selanjutnya, upaya deradikalisasi bisa mulai diterapkan untuk pelaku yang umumnya masih muda usia ini. Mereka yang tak lagi bisa ”dibina” tentu perlu diisolasi di dalam penjara, untuk memotong aksesnya dengan jaringan teroris di dalam dan luar negeri.

Prestasi Detasemen 88 dalam menumpas terorisme tentu saja tetap perlu kita apresiasi. Demi mempertahankan prestasi itu, Detasemen perlu menjaga agar jatuhnya korban tidak berulang dalam operasi selanjutnya. Publik menunggu polisi menelusuri dan mengungkap dengan segera kematian Nur Iman, yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia berat. Demi keadilan, polisi yang bersalah perlu mendapat hukuman setimpal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus