Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Tolak Undang-Undang Minerba

Langkah Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) menjadi undang-undang sangat melukai rasa keadilan.

14 Mei 2020 | 06.00 WIB

Tolak Undang-Undang Minerba
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Langkah Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) menjadi undang-undang sangat melukai rasa keadilan. Mereka tak hanya mengabaikan aspirasi masyarakat, tapi juga seperti menunggangi kondisi darurat pendemi virus corona untuk mengegolkan undang-undang yang hanya menguntungkan segelintir pihak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Pengesahan UU Minerba ini dilakukan pada 12 Mei 2020, setelah dibahas sejak 17 Februari lalu. Delapan fraksi DPR menyetujui pengesahan tersebut dan hanya Partai Demokrat yang menolak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelumnya, RUU Minerba itu batal dibahas pada September 2019 karena adanya gelombang aksi demonstrasi mahasiswa dan masyarakat umum yang bertajuk "Reformasi Dikorupsi". RUU itu menjadi salah satu dari paket aturan yang ditolak para pendemo.

Penghentian pembahasan itu sempat disambung angin surga lainnya. Pada 20 Januari lalu, Ketua Komisi VII DPR, Sugeng Suparwoto, berkirim surat ke pimpinan DPR dan menyebutkan RUU Minerba tidak memenuhi syarat untuk dilanjutkan pembahasannya (carry over) dan meminta agar tak dimasukkan ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Penyebabnya, RUU inisiatif Dewan itu sudah masuk Prolegnas 2015-2019 tapi belum pernah dibahas bersama pemerintah. Selain itu, adanya omnibus law RUU Cipta Lapangan Kerja yang tengah dibahas dinilai akan berpengaruh pada keseluruhan isi RUU Minerba.

Namun RUU itu ternyata tetap dibahas DPR dan akhirnya mulus disahkan. Kritik patut dilontarkan terhadap proses pengesahan itu yang mengabaikan aspek keterbukaan informasi. Pembahasannya yang dilakukan secara daring di tengah pagebluk Covid-19 telah membatasi partisipasi publik. Ketepatan waktu pembahasan itu juga patut dipertanyakan karena RUU tersebut tidak bersifat mendesak bagi rakyat yang tengah terpukul oleh krisis corona.

Proses seperti itu kemudian bisa memicu kecurigaan soal adanya kepentingan pemilik konsesi tambang yang bermain dalam pengesahan tersebut. Terutama karena saat ini ada tujuh perusahaan besar yang tengah berpacu berusaha melakukan perpanjangan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B).

Bau tak sedap kental terasa bila pasal-pasal di undang-undang yang baru itu ditelaah: banyak pasal yang sangat berpihak pada pengusaha besar. Hal yang paling disorot adalah Pasal 169A, yang mengatur bahwa para pemegang PKP2B dapat diberi perpanjangan izin sebanyak 2 kali 10 tahun, tanpa melalui lelang. Ketentuan ini tidak ada dalam undang-undang yang lama, yang memberi prioritas kepada badan usaha milik negara untuk mendapatkan hak atas wilayah eks PKP2B. Pasal ini sekaligus telah mengkhianati prinsip penguasaan minerba oleh negara demi dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat.

Bila dicermati, UU Minerba baru itu gagal menghadirkan pasal-pasal yang membela kepentingan masyarakat atau yang bisa menjadi kontrol bagi kerakusan pengusaha yang cenderung mengeruk bahan tambang tanpa mempedulikan kelestarian lingkungan dan dampak negatif lainnya. Dengan ngebut menghasilkan undang-undang seperti ini di tengah pandemi Covid-19, DPR bisa dikatakan telah bertindak keterlaluan. Mereka seperti merampok di tengah kebakaran. Karena itu, undang-undang tersebut patut ditolak. Salah satunya dengan melakukan judicial review agar undang-undang itu dibatalkan.

Ali Umar

Ali Umar

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus