Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EMPAT pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi yang masih tinggal sebaiknya serentak minta berhenti. Tak perlu lagi menunggu sampai habis masa jabatan tahun depan. Bukan untuk menggembosi atau mengundang kontroversi, saran ini disampaikan justru untuk membangkitkan kembali komisi antikorupsi yang belakangan seakan kehilangan taji. Para pemimpin Komisi periode 2007-2011 Bibit Samad Rianto, Chandra M. Hamzah, M. Jasin, dan Haryo no Umar patut mempertimbangkan anjuran ini.
Melembeknya Komisi Pemberantasan Korupsi bukan akibat kinerja internal semata. Imbas kriminalisasi terhadap Komisi, lewat kasus yang dikenal sebagai ”Cicak versus Buaya”, sangat membebani komisi antikorupsi. Status tersangka Bibit dan Chandra membuat Komisi seperti ”maju-mundur” untuk memproses lebih jauh sejumlah kasus besar. Misalnya kasus suap cek pelawat senilai Rp 24 miliar dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada 2004. Dalam kasus yang melibatkan 41 anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2004-2009 dan sederet figur terkemuka itu, Komisi baru sanggup menjerat empat anggota Dewan. Ada kekhawatiran status tersangka Bibit dan Chandra akan dipakai para tersangka untuk memukul balik Komisi.
Pergulatan di dalam tubuh Komisi, yang membuat peng ambilan keputusan berjalan sangat lamban, berlawanan dengan harapan masyarakat yang ingin melihat kasus-kasus kakap diungkap secepat mungkin. Keadaan yang tidak kondusif itu masih ditambah dengan tekanan bertubi-tubi berbagai pihak. Dewan Perwakilan Rakyat terus mengulur-ulur revisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan mengancam akan memangkas anggaran Komisi. Kepolisian pernah berusaha menarik para penyidiknya. Dari Istana, pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa KPK bukan lembaga superbodi yang kebal hukum menunjukkan sokongan yang ”tak penuh”.
Tanpa dukungan Istana, juga lembaga penegak hukum dan legislatif, sulit berharap KPK mampu bekerja maksimal. Andai tak satu pihak pun menggunakan otoritasnya untuk mengubah keadaan, seperti yang terjadi sekarang ini, tak berlebihan bila dikatakan KPK segera mati suri. Indikasinya sudah mulai terlihat. Berita tentang pengungkapan kasus korupsi kian sepi yang pasti bukan berarti kegiatan menilap duit negara berhenti.
Peringkat korupsi Indonesia pun memburuk. Pada Maret lalu, lembaga konsultan Hong Kong, Political and Economic Risk Consultancy (PERC), meri lis hasil surveinya bahwa tahun ini Indonesia terpilih sebagai negara terkorup di Asia dan Pasifik. Padahal dua tahun lalu, di masa-masa awal kepemimpinan Bibit dan Chandra cs, peringkat Indonesia masih lebih baik dibandingkan dengan Filipina dan Thailand.
Tidak adil menimpakan keadaan buruk ini hanya pada faktor di luar tubuh Komisi. Mesti diakui, sebagian persoalan ada di dalam tubuh KPK sendiri. Para pemimpin Komisi boleh dibilang tak berhasil menggelorakan semangat juang anak buah me reka untuk melewati berbagai tekanan. Ancaman dan intimidasi mestinya sudah dibayangkan ketika memilih bekerja di komisi antikorupsi. Para koruptor sudah pasti akan meng gunakan uang, kuasa, dan gertak untuk melemahkan Komisi. Mereka yang selama ini mendapat ”berkah” dari keadaan yang kolusif tentu berusaha melenyapkan komisi antikorupsi yang berdiri tujuh tahun silam itu. Peng alaman serupa terjadi di Hong Kong dan Nigeria.
Saran untuk serentak mengundurkan diri ini bukan tanpa dasar. Hal itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 32 ayat 1 butir 5 menyebutkan bahwa pemimpin Komisi berhenti atau diberhentikan karena mengundurkan diri. Opsi ini mestinya menjadi pilihan pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi. Selama status tersangka memberatkan langkah Bibit dan Chandra, kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi tak akan beranjak jauh dari keadaan sekarang ini.
Artinya, sampai setahun mendatang, kita sulit berharap ada pengungkapan kasus besar yang dilakukan KPK. ”Ongkos menunggu” ini sangat mahal. Korupsi di negeri ini sudah merasuk jauh ke dalam sendi-sendi pemerintahan. Maka, dengan memilih opsi mundur, dan rela diganti tenaga baru, empat pemimpin KPK itu akan dicatat bukan sebagai orang yang membuat KPK ”mati klinis”, melainkan sebagai orang yang memberi jalan pada kebangkitan kembali gerakan pemberantasan korupsi.
Sekali kita membiarkan Komisi Pemberantasan Korupsi mati suri atau malah benar-benar mati rasanya sulit menghidupkan kembali semangat memberantas korupsi di republik yang sebentar lagi 65 tahun ini. Maka seka ranglah waktunya menyelamatkan KPK. Bila ”orang-orang baik” hanya memilih berdiri di luar Komisi, jangan salahkan bila kelak Komisi jatuh ketangan kaki-tangan bandit dan penyeleweng. Bila itu terjadi, lagi-lagi dengan pahit kita harus mengakui: koruptor juga yang menang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo