Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Jebakan Utang Dana Transisi Energi

Sebagian besar pendanaan transisi energi melalui JETP ternyata berupa utang luar negeri. Dapat memperburuk krisis iklim.

20 Juli 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pendanaan transisi energi melalui JETP telah diluncurkan.

  • Sebagian besar pendanaan ternyata berupa utang luar negeri.

  • Skema itu justru akan menjerat negara berkembang dan mengancam lingkungan.

Firdaus Cahyadi
Mahasiswa Jurusan Ilmu Lingkungan Pascasarjana IPB

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendanaan transisi energi melalui Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai US$ 20 miliar atau sekitar Rp 310 triliun, yang diluncurkan di sela KTT G20 tahun lalu, ternyata didominasi utang luar negeri. Apakah JETP mampu menghadirkan transisi energi yang adil?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Belum lama ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyebutkan besaran porsi hibah (grant) dan bantuan teknis (technical assistant) yang dialokasikan dari komitmen kemitraan JETP masing-masing sekitar US$ 160 juta atau sekitar Rp 2,39 triliun. Secara keseluruhan, total kedua jenis dana itu mencapai Rp 4,79 triliun.

Komposisi dana hibah dalam skema JETP untuk Indonesia ini persentasenya lebih kecil daripada skema yang sama di Afrika Selatan. Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan, apakah negara-negara industri maju serius membantu negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk melakukan transisi energi?

Dominasi utang luar negeri dalam membiayai transisi energi merupakan cermin bahwa skema transisi energi telah menghilangkan aspek keadilan sejak awal. Negara-negara kaya yang menjadi donor JETP tidak serius membayar "dosa-dosa ekologi"-nya pada masa lalu hingga saat ini. Alih-alih menebus dosa tersebut, kini negara-negara kaya itu justru ingin mengambil untung dengan cara memberikan utang kepada negara-negara berkembang dengan dalih transisi energi.

Selain itu, dana hibah dan bantuan teknis biasanya digunakan untuk membiayai studi kelayakan proyek yang akan didanai utang. Celakanya, sering kali studi kelayakan itu menggunakan konsultan yang secara langsung atau tidak (masih berafiliasi) dengan negara-negara donor. Artinya, dana tersebut pun akan kembali ke kantong negara industri maju.

Dominasi utang dalam pembiayaan transisi energi mengakibatkan proyek-proyek yang didanai dari skema JETP adalah proyek-proyek energi terbarukan berskala besar. Proyek-proyek besar ini memiliki risiko sosial dan ekologis yang besar pula bagi masyarakat. Meningkatnya konflik agraria akan menghadang. Risiko kerusakan alam yang dirasakan masyarakat sekitarnya pun berpotensi meningkat.

Pendanaan dengan skema utang ini juga akan menutup mata terhadap energi terbarukan berbasis komunitas. Selama ini, komunitas-komunitas masyarakat yang tidak mendapatkan akses listrik dari PLN telah secara mandiri memanfaatkan energi terbarukan untuk menunjang aktivitas mereka. Berbeda dengan yang berskala besar, energi terbarukan berbasis komunitas ini memiliki risiko sosial dan ekologis yang kecil dan bahkan hampir tidak ada.

Inisiatif energi terbarukan dari komunitas ini seharusnya dikembangkan dan direplikasi di wilayah lain dengan dukungan pendanaan JETP. Namun pemerintah akan melihat bahwa inisiatif komunitas ini tidak menguntungkan secara ekonomi, sehingga tak layak didanai JETP.

Dominasi utang luar negeri juga akan memperpanjang siklus kerusakan alam di negara penerimanya, dalam hal ini Indonesia. Untuk membayar utang luar negeri, pemerintah di negara berkembang harus membuka lebar pintu investasi. Salah satu cara untuk menarik investasi adalah melonggarkan perizinan lingkungan hidup. Dapat dikatakan bahwa jebakan utang luar negeri, termasuk utang yang diberi label hijau untuk transisi energi, malah akan memperpanjang siklus perusakan alam.

Singkat kata, tidak ada keadilan dalam transisi energi yang dibiayai JETP bila skemanya didominasi oleh utang. Transisi energi dalam JETP sekadar transaksi yang didominasi utang. Negara-negara industri maju hanya "berjualan" teknologi energi terbarukan sambil mengamankan pasokan energi bagi industrinya dengan pembiayaan dari negara-negara berkembang.

Perencanaan investasi proyek-proyek transisi energi dalam skema JETP akan diluncurkan pada Agustus nanti. Artinya, hanya ada sedikit waktu untuk mencegah gagasan transisi energi ini tidak dibajak guna kepentingan negara-negara industri maju untuk mencuci dosa ekologi mereka dengan menjebak negara-negara berkembang melalui utang.

Masyarakat harus mendesak pemerintah melakukan negosiasi ulang terhadap komposisi pendanaan dalam JETP. Jangan sampai JETP menjadi instrumen bagi "kolonialisme" baru dengan label hijau yang bertujuan mengakumulasi laba dan mengendalikan energi oleh negara-negara kaya, yang lebih dulu dan masif mencemari atmosfer bumi. Dalam konteks negosiasi ini, pemerintah harus berpihak pada masyarakat, yakni para pembayar pajak, bukan pada kepentingan lembaga-lembaga bisnis bantuan internasional.


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke email: [email protected] disertai dengan nomor kontak, foto profil, dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Firdaus Cahyadi

Firdaus Cahyadi

Mahasiswa pascasarjana program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup IPB.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus