Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Vonis Janggal Syafruddin Temenggung

Putusan majelis hakim kasasi Mahkamah Agung membebaskan Syafruddin Arsyad Temenggung mencederai semangat pemberantasan korupsi di Tanah Air.

11 Juli 2019 | 07.30 WIB

Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung mengacungkan ibu jari saat meninggalkan Rutan KPK, Jakarta, Selasa, 9 Juli 2019. Hakim juga membatalkan putusan pengadilan tingkat banding yang memvonis Syafruddin 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 3 bulan kurungan. TEMPO/Imam Sukamto
Perbesar
Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung mengacungkan ibu jari saat meninggalkan Rutan KPK, Jakarta, Selasa, 9 Juli 2019. Hakim juga membatalkan putusan pengadilan tingkat banding yang memvonis Syafruddin 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 3 bulan kurungan. TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Putusan majelis hakim kasasi Mahkamah Agung membebaskan Syafruddin Arsyad Temenggung mencederai semangat pemberantasan korupsi di Tanah Air. Sikap para hakim agung ini akan mempengaruhi penuntasan penyidikan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan Sjamsul Nursalim yang telah melarikan diri ke Singapura.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Syafruddin adalah mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional yang memberikan surat keterangan lunas kepada pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia, Sjamsul Nursalim. Surat keterangan lunas itu merugikan negara hingga Rp 4,58 triliun. Komisi Pemberantasan Korupsi telah menetapkan Sjamsul dan istrinya, Itjih Nursalim, sebagai tersangka pada 13 Mei lalu. Sjamsul pasti memanfaatkan vonis bebas Syafruddin untuk melepaskan diri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Vonis itu terasa janggal. Tiga hakim agung yang menyidangkan kasasi Syafruddin mengeluarkan tiga pendapat berbeda. Ketua majelis hakim kasasi, Salman Luthan, sependapat dengan putusan majelis hakim banding yang menyimpulkan tindakan Syafruddin termasuk perbuatan pidana. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menghukum Syafruddin dengan hukuman 15 tahun penjara. Sebelumnya, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Syafruddin dihukum 13 tahun penjara.

Anggota majelis hakim kasasi, Syamsul Rakan Chaniago, menganggap tindakan Syafruddin adalah pelanggaran perdata. Anggota majelis hakim kasasi lainnya, Mohamad Askin, memberi kesimpulan yang lebih aneh. Ia menganggap perbuatan Syafruddin hanya pelanggaran administrasi. Itu sebabnya, Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif menyebutkan tiga pendapat dalam satu putusan kasasi ini baru pertama kali terjadi.

Vonis bebas Syafruddin merupakan kekalahan pertama komisi antirasuah tersebut di tingkat kasasi. Meski KPK pernah kalah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan pengadilan tinggi, para hakim agung selalu mengabulkan kasasi komisi antirasuah itu dengan menghukum lebih berat para koruptor. Vonis untuk Syafruddin ini akan memberi angin segar bagi narapidana korupsi lain.

Padahal penyidikan kasus BLBI memakan waktu panjang dan berliku. Sejak KPK menangani kasus ini pada 2012, baru lima tahun kemudian penyidik menetapkan Syafruddin sebagai tersangka. Artinya, pembuktian terhadap pelanggaran kasus BLBI sudah melewati proses berlapis dengan bukti yang kuat. Vonis Syafruddin di tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi adalah buktinya.

Komisi Yudisial sudah sepantasnya menginvestigasi vonis dagelan Syafruddin Temenggung. Kejanggalan putusan majelis hakim kasasi semakin beraroma tak sedap karena rekam jejak para hakim. Nama Syamsul Rakan Chaniago, misalnya, muncul di pengadilan korupsi pejabat Mahkamah Agung, Andri Tristianto Sutrisna. KPK menangkap Andri karena memperdagangkan kasasi kasus korupsi di Bengkulu. Syamsul adalah salah satu anggota majelis hakim kasasi itu.

Mahkamah Agung harus berbenah diri. Vonis terhadap Syafruddin kian mengecilkan kepercayaan publik kepada para "wakil Tuhan". Komisi Yudisial baru saja merilis ada 740 laporan dugaan pelanggaran kode etik para hakim di semester pertama 2019, pada Senin lalu. Dari 58 rekomendasi pelanggaran kode etik, Mahkamah Agung baru menindaklanjuti tiga rekomendasi Komisi Yudisial. Jumlah yang membuat publik harap-harap cemas terhadap masa depan hukum di negeri ini.

Ali Umar

Ali Umar

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus